Oleh: Masykurudin Hafidz, Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta
SURAU.CO – Perayaan hari raya Nyepi tahun ini penuh keprihatinan. Di saat bencana datang silih berganti, tahun baru Saka 1929 kali ini seakan menjadi momen Nyepi meruwat bangsa. Sebuah pesan mendalam untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kita bisa menyucikan diri serta menyucikan alam. Penyucian ini tidak lain bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin.
Ya, dalam keheningan Nyepi ini, kita bisa melakukan mawas diri. Kita dapat menyatukan pikiran, cipta, rasa, dan karsa menuju penemuan hakikat keberadaan diri kita dan intisari kehidupan semesta. Agama Hindu adalah agama yang rendah hati. Penganutnya meyakini bahwa kebenaran juga berada pada pihak lain. Oleh karenanya, monopoli atas kebenaran dan upaya pemaksaan terhadap orang lain ibarat perjuangan politik yang hanya melahirkan ketidakadilan dan penderitaan.
Makna Mendalam Catur Brata Penyepian
Kita mendapatkan pelajaran amat berharga dari umat Hindu. Saat perayaan Nyepi berlangsung, mereka menjalankan ritual Catur Brata dengan melakukan tapa, yoga, dan semadi. Catur Brata Penyepian terdiri dari empat laku utama.
Pertama, Amati Geni, yaitu tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu. Pengumbaran hawa nafsu memang tidak ada ujungnya. Faktor keserakahan menjadi penyebab utama kemerosotan bangsa ini. Oleh karena itu, pengendalian nafsu adalah hal mutlak demi keberlangsungan bangsa itu sendiri.
Kedua, Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani, melainkan meningkatkan kegiatan penyucian rohani. Hal ini juga berarti, dalam bekerja, kita tidak hanya selalu melihat hasil produksinya. Karl Marx jauh-jauh hari mengingatkan agar setiap pekerjaan yang kita lakukan tidak jatuh pada alienasi, yaitu terasing dari hasil pekerjaan kita sendiri.
Ketiga, Amati Lelungan, yaitu tidak bepergian, melainkan melakukan mawas diri. Tindakan mawas diri perlu kita lakukan dalam menghadapi segala tantangan dan cobaan bersama. Mawas diri juga termasuk menciptakan sistem peringatan dini dalam menghadapi gejala alam. Selain itu, kita juga harus mawas diri terhadap kebudayaan luar yang bisa menghilangkan jati diri bangsa.
Keempat, Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan, melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sanghyang Widhi. Saat ini, kecenderungan untuk bermegah-megahan dalam hidup semakin merajalela. Oleh karena itu, tindakan yang seyogianya kita lakukan adalah kembali kepada ajaran Tuhan, yaitu dengan mencukupkan diri dan bersyukur.
Meruwat Bangsa Melalui Keheningan Nyepi
Lalu, apa artinya meruwat bangsa? Meruwat adalah upaya membebaskan dari keadaan yang tidak menguntungkan atau dari perbuatan-perbuatan terlarang (M. Hariwijaya, 2006). Ibarat seorang anak, saat ini bangsa Indonesia terancam “dimakan” Batara Kala karena penuh dengan kekotoran. Oleh karena itu, meruwat adalah salah satu tindakan pembebasan dan penyelamatan dari perbuatan yang tercela.
Meruwat bangsa berarti membebaskan negeri tercinta ini dari perbuatan-perbuatan buruk yang menggerogoti dari dalam. Pihak-pihak yang hanya mencari keuntungan sesaat adalah kotoran yang harus segera kita bersihkan. Bangsa ini membutuhkan bangunan keyakinan, loyalitas, dan solidaritas warganya.
Nah, Perayaan Nyepi tahun ini adalah salah satu cara untuk meruwat bangsa Indonesia. Dengan melakukan penyucian diri dan penyucian alam, kita berharap bangsa ini mampu bangkit dari keterpurukan. Empat Catur Brata Penyepian di atas, sekali lagi, adalah sarana untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin.
Selamat Hari Raya Nyepi, Selamat Tahun Baru Saka 1929, semoga kita tetap hidup rukun dalam damai
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
