Oleh: Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
SURAU.CO – “Bumi ini sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia seluruhnya. Akan tetapi, bumi ini sangat tidak cukup memenuhi keinginan, bahkan untuk satu orang saja.” – Mahatma Gandhi. Peringatan Satu Abad gerakan Satyagraha Gandhi di India (Kompas 30/1) kembali mengingatkan kita akan relevansi ajarannya. Di saat ratusan juta orang di dunia menderita kelaparan dan penindasan masih terjadi di mana-mana, Gandhi dengan kepala tegak mengatakan, “Lawan! Keadilan untuk semua, kedamaian untuk semua.”
Gerakan menegakkan keadilan tanpa kekerasan ini diawali pada Agustus 1906. Saat itu, pemerintah Transvaal menerapkan aturan diskriminatif yang mewajibkan setiap warga keturunan India untuk lapor dan membawa surat cap jari. Menghadapi aturan yang merendahkan martabat manusia ini, Gandhi dan kawan-kawan mengadakan pertemuan massal. Mereka berikrar untuk menentang peraturan tersebut dan bersumpah akan menanggung semua penderitaan yang ditimbulkannya. Inilah yang disebut dengan satyagraha: keteguhan berpegang pada kebenaran melalui kesediaan diri menanggung penderitaan dan melawan kejahatan dengan cara nir-kekerasan (non-violence).
Satyagraha Gandhi sebagai Kritik terhadap Marxisme
Sebagai pejuang keadilan, rumusan Gandhi mengenai kesejahteraan masyarakat jauh lebih komprehensif bila kita bandingkan dengan ajaran Karl Marx. Meskipun titik berangkat perjuangan keduanya sama, yaitu kritik terhadap kapitalisme, ada perbedaan mendasar, terutama pada gerakan anti-kekerasannya.
Pertama, solusi terhadap konflik kelas.
Jika Marx sampai pada kesimpulan bahwa kaum kapitalis akan hancur dan muncullah masyarakat tanpa kelas, Gandhi tidak seradikal itu. Ia mengatakan, secara intrinsik, antara kapital dan buruh memiliki kepentingan yang tidak bisa dipertentangkan (Francis Alappat, 2005). Menurut Gandhi, yang perlu kita lakukan bukanlah penghapusan kapital, melainkan penegasan relasi yang benar antara buruh dan pemilik modal. Ia mengusulkan relasi kemitraan sebagai pemilik bersama (co-owners) untuk menciptakan keharmonisan.
Kedua, peran agama dalam perjuangan.
Marx mengatakan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat (religion is opium). Sebaliknya, bagi Gandhi, agama melalui prinsip-prinsip etisnya justru dapat menjadi acuan dalam memperjuangkan keadilan. Berbagai ajaran agama, mulai dari Kristen, Hindu, hingga Islam, menekankan pentingnya keadilan dan penghargaan terhadap kaum pekerja.
Ketiga, pemahaman tentang manusia.
Marx cenderung mereduksi hubungan antarmanusia hanya pada hubungan ekonomi (homo economicus). Menurut Gandhi, manusia tidak bisa hidup dari motif ekonomi semata. Ia khawatir kemajuan ekonomi yang tidak terbatas dapat menjadi rintangan bagi kemajuan moralitas. Oleh karena itu, ia menekankan model ekonomi yang mencakup pertumbuhan, pemerataan, sekaligus peningkatan aspek spiritual.
Keempat, hasil akhir secara empiris.
Ideologi Komunisme, sebagai praksis ajaran Marx, secara empiris justru menjadi alat dehumanisasi yang memakan korban luar biasa masif. Sebaliknya, dengan ajaran nir-kekerasannya, Satyagraha Gandhi memberikan inspirasi pada transformasi damai bagi kita semua sebagai warga dunia.
Relevansi Satyagraha di Era Modern
Visi satyagraha yang Mahatma Gandhi wariskan sangat tepat untuk menjadi panutan bagi kita semua. Pembangunan ekonomi selayaknya kita dasarkan atas prinsip kemakmuran bersama dengan menghilangkan cara-cara diskriminasi. Seperti yang dikatakan Papandreou, mantan Menlu Yunani, “Gerakan non-kekerasan sebagai alat untuk perubahan sosial dan politik jelas bukanlah sebuah kelemahan, tetapi sebuah kekuatan praktis yang diperlihatkan oleh Gandhi.”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
