Oleh: Masykurudin Hafid, Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta
SURAU.CO – Lima belas pelaku judi menerima hukuman cambuk rotan di depan Mesjid Raya Bireuen setelah salat Jumat (Metro TV, 24/06/2005). Mahkamah Syariah menjatuhkan vonis tersebut atas dasar qanun hukum Islam yang melarang perbuatan maisir (judi). Qanun lainnya juga mengatur larangan minum minuman keras (khamr) dan berduaan dengan non-muhrim (khalwat).
Para terhukum tersebut sehari-harinya bekerja sebagai pedagang, petani, tukang, dan bahkan ada pula seorang guru madrasah. Mereka disabet rotan oleh algojo berpenutup kepala. Namun, hukuman cambuk itu sendiri menuai reaksi berbeda dari masyarakat Aceh. Pihak yang tidak setuju menganggap bahwa para terpidana hanyalah orang-orang kelas bawah yang tertangkap basah berjudi dengan taruhan ribuan rupiah saja.
Penerapan syariat Islam di Aceh ini jelas merupakan salah satu konsekuensi logis dari pemberian status keistimewaan. Akan tetapi, pertanyaannya adalah, apakah penyusunan qanun-qanun tersebut berdampak langsung terhadap kepentingan rakyat Aceh? Mayoritas warga Aceh memang menginginkan pelaksanaan syariat Islam. Namun, pada prosesnya, terjadi distorsi di tingkat elite yang cenderung menjadikannya sebagai komoditas politik untuk meraih kekuasaan.
Membedah Kembali Makna Syariat
Secara terminologis, syariat adalah tatanan atau jalan menuju sebuah tujuan yang ideal, yaitu keadilan (‘adalah). Maka, syariat secara sosial adalah segala tatanan kehidupan bermasyarakat—baik ekonomi, politik, dan lainnya—yang menuju pada terciptanya masyarakat yang adil. Syariat Islam yang berkeadilan inilah yang seharusnya kita wujudkan.
Di dalam Islam, struktur pemahaman ajarannya terbagi menjadi tiga: akidah, syariah, dan akhlak. Akidah adalah ranah dogma dan keyakinan. Syariat adalah hukum-hukum yang dalam beberapa aspek penerapannya membutuhkan kekuasaan. Sementara akhlak adalah kesadaran etika dan moral, yang menjadi muara dari seluruh keberagamaan kita.
Dalam syariat sendiri, terdapat dimensi-dimensi yang harus kita bedakan. Pertama, dimensi personal-pribadi, misalnya persoalan peribadatan. Pelaksanaan ibadah tidak memerlukan kesepakatan antar pemeluknya, karena banyak pilihan mazhab. Dimensi ini lebih bertumpu pada kesadaran dan keikhlasan, bukan paksaan.
Kedua, dimensi sosial (publik) yang bersifat inklusif. Dimensi ini merangkul kepentingan seluruh masyarakat. Misalnya, syariat Islam yang mengusahakan tatanan yang menjamin aset atau kekayaan terbagi secara adil kepada seluruh warga.
Paradigma yang Terbalik
Penerapan hukum cambuk di Aceh kali ini merupakan indikasi bentuk penerapan syariat yang terbalik dan menjadi “bola panas” bagi warganya sendiri. Kondisi masyarakat Aceh yang masih miskin dan terbelakang menjadi tantangan berat untuk menerapkan hukum cambuk di sana.
Jika umat Islam Aceh berhasrat menerapkan syariat Islam, langkah pertama seharusnya adalah melakukan transformasi tatanan politik, ekonomi, dan sosialnya. Tujuannya adalah menuju sebuah tatanan yang lebih menjamin keadilan dan hak-hak seluruh warganya. Baru setelah itu, kita bisa berbicara tentang sanksi bagi orang yang melanggar syariat.
Persiapan sosial yang memadai setidaknya adalah kondisi di mana masyarakat Aceh tidak lagi melakukan kejahatan karena terpaksa oleh kemiskinan. Baru sesudah ada jaminan masyarakat terbebas dari kemiskinan, kemudian ada orang yang mencuri, maka di sinilah ia patut kita hukum dengan keras. Jika kita menerapkan syariat Islam di Aceh pada saat ketimpangan sosial ekonomi begitu tajam, maka yang akan terjadi adalah begitu banyak orang yang tangannya buntung atau punggungnya lebam.
Sikap tertib dan tidak terbalik ini sesuai dengan prinsip Islam: basyiron wa nadziron (memberdayakan dan menghukum). Yang harus kita prioritaskan adalah syariat yang memberdayakan, seperti menjamin kesejahteraan, menciptakan pendidikan yang baik, dan lain sebagainya. Jika kita tidak pernah membicarakan syariat yang memberdayakan ini dan tiba-tiba melakukan hukum cambuk, maka yang terjadi adalah penerapan syariat yang sungsang. Wallahu a’lam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
