Ibadah
Beranda » Berita » Shalat Dhuha Empat Rakaat: Jalan Sunyi Menuju Kecukupan

Shalat Dhuha Empat Rakaat: Jalan Sunyi Menuju Kecukupan

Shalat Dhuha Empat Rakaat: Jalan Sunyi Menuju Kecukupan
Shalat Dhuha Empat Rakaat: Jalan Sunyi Menuju Kecukupan

 

SURAU.CO – Di tengah ritme hidup yang semakin tergesa, manusia modern memulai pagi dengan target, jadwal, dan kecemasan. Rezeki dikejar, waktu ditekan, dan ketenangan sering tertinggal. Ironisnya, di saat yang sama, Islam justru menawarkan satu amalan singkat di awal siang ringan, senyap, tetapi sarat janji ilahi yang bernama shalat Dhuha empat rakaat.

Orang sering menyebut shalat ini “shalat pembuka rezeki”. Tapi, penyederhanaan makna itu sering membuat Dhuha jadi alat pragmatis, bukan jalan spiritual. Padahal, dalam tradisi kenabian dan penjelasan para ulama, shalat Dhuha empat rakaat adalah latihan ketergantungan total kepada Allah sebelum manusia bergantung pada dunia.

Dhuha: Waktu yang Dipilih Langit

Matahari udah naik setinggi tombak sampai menjelang zawal, saatnya kerjakan Shalat Dhuha. Waktu ini memulai aktivitas manusia penuh dalam fikih. Karena itu, Dhuha hadir sebagai penjeda spiritual di tengah arus dunia yang mulai deras.

Rasulullah ﷺ bersabda:

Jangan Membesarkan Anak dengan Uang Haram

“Pada setiap pagi, setiap ruas tulang salah seorang dari kalian wajib disedekahi…” (HR. Muslim)

Dalam syarahnya, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan kewajiban syukur harian atas nikmat fisik yang Allah berikan, karena setiap persendian merupakan nikmat yang berdiri sendiri¹. Islam tetapkan shalat Dhuha sebagai kompensasi paling sempurna untuk kesadaran syukur.

“…dan semua itu dapat dicukupi dengan dua rakaat shalat Dhuha.” (HR. Muslim)

Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani, kata yujzi’u (mencukupi) dalam hadis ini bermakna menutup kekurangan sedekah anggota badan, bukan sekadar menggugurkan kewajiban formal². Artinya, Dhuha bukan ritual simbolik, tetapi ibadah yang menggantikan banyak amal fisik lainnya.

Empat Rakaat dan Janji Kecukupan

Di antara jumlah rakaat shalat Dhuha, empat rakaat memiliki keutamaan khusus. Rasulullah ﷺ meriwayatkan hadis qudsi yang menegaskan langsung keistimewaan ini:

Maksiat yang Dihalalkan, Ketika Dosa Tidak Lagi Dianggap Dosa

“Wahai anak Adam, kerjakanlah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku akan mencukupimu di akhir harimu.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)

Ulama hadis menilai hadis ini hasan, bisa diamalkan dalam fadhail al-a‘mal. Dalam Tuhfatul Ahwadzi, al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa makna kecukupan dalam hadis ini bersifat umum, mencakup urusan agama dan dunia³.

Sebagian mufassir juga mengaitkan hadis ini dengan firman Allah:

“Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.”
(QS. Ath-Thalaq: 3)

Menurut Tafsir Ibn Katsir, ayat ini tidak terbatas pada rezeki materi, tetapi mencakup perlindungan dari keburukan, ketenangan hati, dan kemudahan urusan⁴. Dengan demikian, shalat Dhuha empat rakaat jadi manifestasi praktis dari tawakkal yang dijanjikan kecukupan di akhir hari.

Ketika Perempuan Dijadikan Komoditas

Praktik Nabi ﷺ: Empat Rakaat sebagai Kebiasaan

Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

“Rasulullah ﷺ biasa melaksanakan shalat Dhuha empat rakaat, dan beliau menambah sesuai kehendak Allah.” (HR. Muslim)

Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan bahwa hadis ini menunjukkan kebiasaan Nabi ﷺ, bukan sekadar kejadian insidental⁵. Empat rakaat standar minimal, tambahan rakaat tunjukkan keluasan rahmat syariat.

Hal ini sekaligus membantah anggapan bahwa shalat Dhuha hanyalah ibadah opsional tanpa urgensi. Justru, dalam praktik Nabi ﷺ, Dhuha adalah ibadah rutin yang mencerminkan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya.

Antara Ikhtiar dan Tawakkal

Salah satu krisis umat hari ini adalah ketimpangan antara ikhtiar dan tawakkal. Ada yang bekerja keras tetapi melupakan Allah, ada pula yang berdoa tanpa usaha. Shalat Dhuha empat rakaat hadir sebagai jembatan keduanya.

Ibn Rajab al-Hanbali menjelaskan bahwa tawakkal bukan meninggalkan sebab, tetapi menggantungkan hati kepada Allah sambil tetap mengambil sebab⁶. Kita lakukan Shalat Dhuha sebelum tenggelam dalam aktivitas duniawi, deklarasi batin bahwa hasil akhir bukan di tangan manusia.

Tata Cara dan Kesederhanaan Syariat

Shalat Dhuha empat rakaat bisa dikerjakan dengan dua salam atau satu salam. Gak ada bacaan surat tertentu yang wajib. Namun sebagian ulama menganjurkan surat-surat yang relevan dengan waktu Dhuha, seperti Asy-Syams atau Ad-Dhuha.

Tafsir al-Qurthubi menjelaskan bahwa surat Ad-Dhuha adalah simbol cahaya setelah gelap dan kelapangan setelah kesempitan⁷, sejalan dengan ruh shalat Dhuha.

Dhuha dan Martabat Manusia

Shalat Dhuha mengajarkan bahwa manusia bukan sekadar makhluk ekonomi. Ia adalah hamba. Ketika pagi dimulai dengan sujud, manusia mengembalikan orientasi hidupnya. Dalam pandangan Islam, Islam mengukur martabat manusia bukan dari seberapa banyak ia memiliki, tetapi seberapa dalam ia tunduk.

Imam al-Ghazali menyebut shalat sunnah sebagai penjaga shalat wajib, sekaligus penyempurna hubungan batin dengan Allah⁸. Maka, Dhuha empat rakaat bukan tambahan kecil, melainkan penguat fondasi spiritual harian.

Penutup: Empat Rakaat yang Menata Hidup

Shalat Dhuha empat rakaat mungkin tidak mengubah keadaan dunia secara instan. Namun ia menata batin, meluruskan orientasi, dan menumbuhkan rasa cukup. Dalam dunia yang selalu merasa kurang, Dhuha mengajarkan bahwa cukup adalah anugerah Allah, bukan hasil akumulasi semata.

Empat rakaat di awal siang, kecukupan di akhir hari. Janji ini bukan slogan motivasi, tetapi pesan iman. Barangkali kita tidak kekurangan harta, tetapi kekurangan ketenangan. Dan di situlah shalat Dhuha menemukan relevansinya sebagai jalan sunyi menuju kecukupan yang hakiki.

Catatan Kaki

  1. An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz 7. 2. Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, Juz 3. Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, Syarah Hadis Dhuha.

  2. Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, QS. Ath-Thalaq: 3.

  3. An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Bab Shalat Dhuha.

  4. Ibn Rajab al-Hanbali, Jami‘ al-‘Ulum wal Hikam.

  5. Al-Qurthubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Tafsir QS. Ad-Dhuha.

  6. Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, Kitab Asrar ash-Shalah. (Tengku Iskandar, M. Pd: Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.