SURAU.CO – Sebelum aku hadir sebagai jasad, jiwa telah lebih dahulu bersaksi. Di alam yang tak bernama waktu, aku mengiyakan amanah: hidup untuk mengenal, mengenali, dan bertanggung jawab. Di sanalah kita menanamkan niat untuk setia pada kebenaran, bukan untuk menang atas sesama.
Ketika lahir ke dunia, aku lupa pada kesaksian itu. Dunia menawarkan gemerlap yang memabukkan: ambisi, kuasa, kepemilikan, dan pujian.
Namun nurani tak pernah benar-benar diam.
Ia berbisik saat aku menyimpang,
ia menenangkan saat aku lurus.
Setiap langkah adalah catatan,
setiap pilihan adalah jejak.
Hidup bukan sekadar bernapas,
melainkan menimbang:
apa yang kuterima, apa yang kuberi;
apa yang kusimpan, apa yang kubagikan;
apa yang kumaknai sebagai amanah,
bukan sekadar hak.
Pertanggungjawaban di dunia
dimulai dari kejujuran pada diri sendiri mengakui salah, memperbaiki niat,
dan menata kembali arah.
Sesudah hidup di dunia,
tabir diangkat.
Alasan tak lagi bersembunyi,
narasi runtuh,
yang tersisa hanyalah kebenaran apa adanya.
Bukan banyaknya kata yang ditanya,
melainkan beningnya hati;
bukan tingginya gelar yang dihitung,
melainkan rendahnya ego.
Di sana, waktu tak bisa ditawar,
namun rahmat selalu membuka pintu
bagi mereka yang sungguh-sungguh kembali.
Setelah kehidupan
bukan akhir, melainkan kelanjutan.
Jiwa menuai apa yang ditanamnya:
cahaya dari ikhlas,
keteduhan dari sabar,
keadilan dari amanah.
Maka selama masih diberi hari,
aku memilih untuk mengingat kembali kesaksian awal itu:
hidup sebagai titipan,
mati sebagai kepulangan,
dan setiap detik sebagai pertanggungjawaban.
Menata Diri: Kesunyian dalam Keramaian
Di tengah hiruk-pikuk dunia,
ketika suara saling bertabrakan,
dan langkah manusia berkejaran tanpa jeda,
aku belajar satu hal:
kesunyian tidak selalu berarti sepi.
Kesunyian adalah ruang batin
tempat aku berdialog dengan diri sendiri,
menyimak bisikan nurani
yang sering tenggelam oleh riuh ambisi.
Dalam keramaian,
aku memilih berhenti sejenak
bukan untuk menjauh dari manusia,
tetapi untuk mendekat pada makna.
Aku menata diri
bukan dengan mengendalikan dunia,
melainkan dengan merapikan hati:
mengurangi keinginan yang berlebihan,
menjinakkan ego yang ingin selalu didengar,
dan menumbuhkan rasa syukur
atas hal-hal kecil yang sering terabaikan.
Kesunyian batin mengajarkanku
bahwa tenang bukan berarti kalah,
diam bukan berarti lemah,
dan sederhana bukan berarti kurang.
Di tengah keramaian, aku memilih menjadi hadir sepenuhnya
mendengar tanpa menghakimi,
melangkah tanpa menyakiti,
berkata tanpa melukai.
Sebab ketika diri tertata,
keramaian tidak lagi melelahkan,
dan kesunyian tidak lagi menakutkan.
Di sanalah aku menemukan keseimbangan: hidup di antara manusia, namun tetap pulang ke dalam diri.
Berbagi Ilmu yang selama ini terjadi di Masyarakat dengan tidak maksud untuk menggurui atau merasa lebih.
Menjalankan rukun islam merupakan menggugurkan kewajiban atau kebutuhan
- Rukun Islam sebagai kewajiban
Secara hukum syariat, menjalankan Rukun Islam adalah menggugurkan kewajiban (isqāṭ al-wājib).
Syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji wajib bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat.
Jika dikerjakan → kewajiban gugur
Jika ditinggalkan tanpa uzur → berdosa
Dalam kerangka ini, seseorang yang shalat karena “takut dosa” atau “agar kewajiban selesai” sudah benar secara hukum, meskipun belum tentu sempurna secara ruhani.
- Rukun Islam sebagai kebutuhan Namun pada tingkat hakikat dan kesadaran spiritual, Rukun Islam adalah kebutuhan jiwa, bukan sekadar kewajiban formal.
Shalat → kebutuhan ruh untuk terhubung dengan Allah
Puasa → kebutuhan pengendalian nafsu dan kejernihan batin
Zakat → kebutuhan membersihkan harta dan hati
Haji → kebutuhan penyatuan diri dengan asal-usul kemanusiaan
Syahadat → kebutuhan orientasi hidup
Pada tingkat ini, seseorang merasa rugi jika tidak melaksanakannya, bukan sekadar takut dosa.
- Perbedaan tingkat kesadaran Tingkat Cara Pandang: Dampak Awam Kewajiban Sah secara hukum, Menengah Disiplin ibadah Konsistensi Arif Kebutuhan jiwa, Kehadiran hati Muhlishin Cinta & kesadaran Ibadah hidup
-
Kesimpulan yang seimbang
-
Secara syariat: menjalankan Rukun Islam adalah menggugurkan kewajiban
-
Secara hakikat: menjalankan Rukun Islam adalah memenuhi kebutuhan terdalam manusia
Orang yang hanya berhenti pada “kewajiban” akan lelah.
Orang yang sampai pada “kebutuhan” akan tenang. Sebagaimana keselarasan pendekatan spiritual: Ibadah bukan beban hukum, melainkan jalan pemulihan fitrah. (Bambang JB)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
