Opinion
Beranda » Berita » Subuh Jahanam Dan Lonceng Kematian: Bagaimana Negara Membunuh Penyidik

Subuh Jahanam Dan Lonceng Kematian: Bagaimana Negara Membunuh Penyidik

Subuh Jahanam Dan Lonceng Kematian: Bagaimana Negara Membunuh Penyidik
Subuh Jahanam Dan Lonceng Kematian: Bagaimana Negara Membunuh Penyidik

 

SURAU.CO – Langit di Kelapa Gading masih gelap, Selasa, 11 April 2017. Adzan Subuh baru saja usai. Di sebuah jalan perumahan yang hening, seorang pria berjalan pulang dari masjid. Langkahnya tenang, kepalanya mungkin sedang menyusun strategi untuk membongkar megakorupsi E-KTP yang merugikan negara triliunan rupiah.

Dia adalah Novel Baswedan.
Dalam hitungan detik, ketenangan itu pecah. Dua orang tak dikenal di atas motor langsung mendekat. Cairan panas menyiram wajahnya.
Sesss!

Kulit melepuh. Asap tipis mengepul dari rongga mata. Pagi yang dingin berubah menjadi neraka. Zat kimia itu menghabisi mata elang antikorupsi Novel, ia menjerit.

Serangan itu bukan sekadar aksi kriminal jalanan. Itu adalah pesan. Sebuah teror berdarah yang menandai puncak dari upaya panjang: pembunuhan karakter yang gagal, kini berubah menjadi upaya pembunuhan fisik.

Asmaul Husna dan Tantangan Literasi Digital Umat

Sandera Masa Lalu

Novel menjerit, bukan karena takut, tapi matanya mata elang yang selama ini memantau para koruptor tergerus zat kimia hingga meleleh.

Seperti hantu yang dipanggil pawang, kasus “Sarang Burung Walet” tahun 2004 selalu bangkit dari kubur setiap kali Novel menyentuh “orang kuat”.

Saat Novel mengepung Jenderal Djoko Susilo dalam kasus Simulator SIM (2012), polisi mengepung gedung KPK.
Saat Novel membidik Komjen Budi Gunawan (2015), mereka menyergapnya tengah malam seperti teroris.

Pola ini terlalu rapi untuk disebut kebetulan. Kasus masa lalu itu bukan untuk ditegakkan, melainkan peluru cadangan. Mereka menyimpannya sebagai kartu truf para elit: “Jangan macam-macam, atau masa lalumu kami buka.” Namun, Novel keras kepala. Ia tak peduli. Dan karena ia tak bisa dibungkam dengan hukum, mereka menggunakan cara rimba.

Misteri Buku Merah dan Keadilan yang Buta

Setelah subuh berdarah itu, Novel tidak mati. Ia bangkit dengan satu mata yang memutih, cacat permanen. Namun, apa yang terjadi selanjutnya justru lebih menyakitkan daripada air keras itu sendiri: pengkhianatan negara.

Satu Harakat, Satu Kesalahan: Literasi Umat dan Tanggung Jawab Memahami Bahasa Al-Qur’an

Publik disuguhi sebuah panggung sandiwara yang memuakkan.
Dua tahun polisi “kesulitan” mencari pelaku. Ketika desakan publik memuncak, muncullah dua orang tersangka yang mengaku anggota polisi aktif. Pengakuan mereka di pengadilan terdengar seperti naskah komedi gelap.

“Saya tidak sengaja,” kata pelaku.
“Air itu tumpah karena motor bergoyang,” dalihnya. “Motifnya dendam pribadi,” tambahnya.

Dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dalam teori hukum bertugas mewakili korban justru menjadi pembela terselubung bagi pelaku. Dengan dalih “ketidaksengajaan”, jaksa menuntut hukuman ringan: satu tahun penjara.

Di ruang sidang itu, bukan hanya mata Novel yang buta. Mereka telah membutakan Dewi Keadilan di Indonesia. Aktor intelektual sang dalang yang memberi perintah tertawa lebar di balik layar, tak tersentuh, mungkin sedang menikmati kopi sambil melihat berita. Isu “Buku Merah” yang konon berisi catatan aliran dana ke petinggi Polri, terkubur bersamaan dengan vonis ringan sang pelaku lapangan.

Eksekusi dalam Senyap

Ternyata, air keras tak cukup ampuh. Novel masih bersuara lantang. Maka, disiapkanlah senjata pamungkas. Senjata ini tak berbau, tak berdarah, tapi mematikan: Administrasi.

Jangan Membesarkan Anak dengan Uang Haram

Tahun 2021, di tengah pandemi, sebuah tes digelar. Namanya terdengar agung: Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Tapi isinya adalah jebakan. Pertanyaan-pertanyaan absurd seperti “mengapa belum menikah?” atau “pilih Al-Qur’an atau Pancasila?” menjadi saringan.

Hasilnya sudah bisa ditebak. Mereka memberi label “Merah” pada Novel Baswedan, pria yang rela matanya hancur demi membela uang rakyat. Pihak terkait mencapnya tidak memiliki wawasan kebangsaan. Mereka memecat ia, dan 56 pegawai berintegritas lainnya.

Jika mereka membunuh Novel, ia akan jadi martir. Jika memenjarakannya, rakyat akan protes. Tapi dengan memecatnya lewat tes administrasi, mereka membingkai Novel sebagai “pegawai yang tak lolos kualifikasi”. Halus. Kejam. Efektif.

Epilog: Gelap yang Sempurna

Hari ini, saat kita melihat foto Novel Baswedan dengan mata kirinya yang berkabut, kita tidak sedang melihat wajah seorang korban. Kita sedang menatap cermin buram penegakan hukum kita.

Kisah Novel adalah kisah tentang sebuah negeri di mana menangkap maling lebih berbahaya daripada menjadi maling itu sendiri.

Novel Baswedan telah disingkirkan. Dia berjalan keluar dari Gedung Merah Putih bukan sebagai pensiunan terhormat, tapi sebagai orang buangan. Negara gagal mematahkan integritasnya, karirnyalah yang mereka patahkan.

Mata Novel mungkin gelap sebelah, tapi nurani kitalah yang terancam buta total jika membiarkan kisah ini terlupakan begitu saja. #NovelBaswedan. Lhynaa Marlinaa. (Deddy)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.