Ibadah
Beranda » Berita » Tips Bahagia Sejati

Tips Bahagia Sejati

bahagia
Ilustrasi

SURAU.CO. Sejak awal peradaban, bahagia telah menjadi pelabuhan terakhir bagi manusia. Mencapai kebahagiaan merupakan adalah magnet yang menarik segala upaya dan kerja keras setiap manusia. Namun, secara makna kebahagiaan dapat mempunyai makna yang berbeda tergantung siapa dan dari susut mana memandangnya. Bagi Aristoteles bahagia adalah buah dari aktivitas rasional yang berlandaskan kebajikan. Sementara menurut Plato, bahagia adalah puncak tertinggi dari moralitas manusia.

Namun, sejarah juga mencatat sisi gelap dari pencarian arti kebahagiaan ini. Dalam dunia modern obsesi yang berlebihan terhadap kebahagiaan semu justru sering kali berakhir tragis. Ketika mengartikan kebahagiaan sebagai pencapaian materi, maka sering kali terjebak dalam rasa hampa dan berujung pada keputusasaan. Bahkan ada bunuh diri. Ironis memang. Namun hal ini membuktikan bahwa ada sesuatu yang keliru dalam cara kita mendefinisikan “bahagia”.
Dalam Al-Qur’an memotret kebahagiaan dengan cara pandang yang sangat kaya dan presisi. Kebahagiaan tidak dipandang sebagai satu titik tunggal, melainkan spektrum makna yang luas. Dalam Al Qur’an bahagia mempunyai beberapa padanan kata seperti sa’adah, hasanah, mata’, falah, surur, fawz dan farah. Misalnya kata “sa’adah,”” kebahagiaan yang kekal. Atau kata falah yang berarti menemukan apa yang dicari. Keragaman istilah ini menunjukkan bahwa Islam memandang kebahagiaan sebagai pengalaman yang utuh, mulai dari kepuasan hati hingga pencapaian spiritual tertinggi.

Harmoni Dunia dan Akhirat

Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali menyebut puncak segala rasa adalah kebahagiaan ukhrawi—sebuah kenikmatan abadi tanpa batas di akhirat kelak. Namun, Al-Ghazali tidak lantas menafikan dunia. Ia memandang dunia bukan sebagai musuh, melainkan sebagai “kendaraan”. “Kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan ukhrawi,” tulisnya. Namun, segala hal di dunia yang membantu seseorang meraih akhirat, maka hal itu pun layak disebut sebagai kebahagiaan. Bagi Al-Ghazali, tubuh yang sehat bukan sekadar raga yang bugar, melainkan sarana agar ibadah menjadi tegak. Harta dan kehormatan bukan sekadar simbol status, melainkan penopang luar agar jiwa tetap tenang dalam pengabdian.

Imam Al-Ghazali mengatakan, “Ketahuilah, bahwa kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan ukhrawi. Selain itu ada kalanya kebahagiaan hanya sebagai metafora, atau kebahagiaan yang salah seperti kebahagiaan duniawi yang tidak menolong kebahagiaan akhirat. Atau kebahagiaan sejati, tapi kebahagiaan akhirat lebih sejati, yaitu setiap hal yang menyampaikan kepada kebahagiaan ukhrawi. Karena sesuatu yang menyampaikan pada kebaikan dan kebahagiaan disebut dengan kebaikan dan kebahagiaan pula.” (Al-Ghazali, Mizanul Amal, [Beirut, Darul Minhaj: 2023], halaman 146).

Menurut Imam Al-Ghazali ada lima pilar yang saling menguatkan dalam mencapai kebahagiaan. Pertama adalah kenikmatan jiwa (Nafsiyah). Yaitu dengan akal yang disuapi ilmu, sikap wara’ (menjaga diri), keberanian, dan keadilan dalam bersikap. Kedua, kenikmatan badaniyah yaitu yang tenang membutuhkan raga yang kuat, sehat, dan panjang umur sebagai wadahnya. Ketiga, kenikmatan eksternal berupa harta, keluarga, dan kehormatan yang digunakan secara proporsional sebagai penopang hidup. Keempat kenikmatan ukhrawi yang merupakan tujuan akhir yang bersifat abadi di hadirat Tuhan. Dan kelima yaitu kenikmatan Taufiq. Pilar terkahir ini yang menjadi kunci dari segalanya. Tanpa hidayah, petunjuk, dan pertolongan Allah, segala usaha manusia akan terasa hambar dan fana

Asmaul Husna dan Tantangan Literasi Digital Umat

Bahagia Menurut Ulama

Sejalan dengan itu, Al-Farabi mengingatkan bahwa kesenangan duniawi yang sering kita sebut “damai” sebenarnya barulah level awal. Manusia sering tertipu, menganggap kesenangan sesaat sebagai tujuan akhir, padahal sifatnya fluktuatif dan mudah sirna. Sementara itu Ibnu Miskawaih melengkapi pemikiran ini dengan membagi kebahagiaan menjadi dua tingkatan. manusia yang tertarik dengan hal-hal yang bersifat benar dan mendapatkan kebahagiaan dalam hidup. Kemudian merasakan kerinduan dengan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha untuk mendapatkannya. Kedua, manusia yang memberi jarak antara dirinya dari kenikmatan benda (materi) agar memperoleh kebahagiaan jiwa atau rohaninya. Kebahagiaan yang bersifat materi tidak diingkarinya, tetapi dilihat sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Ibnu Miskawaih mengungkapkan bahwa kebahagiaan bersifat kebendaan (materi) mengandung makna kepedihan dan penyesalan serta menghambat pertumbuhan jiwa untuk menuju kehadirat Sang Maha Agung.

Pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah tentang memiliki segalanya, melainkan tentang keterhubungan antara raga, jiwa, dunia, dan akhirat di bawah naungan taufiq-Nya. Sebagaimana pesan Al-Ghazali, kelima unsur ini adalah satu kesatuan; mereka saling membutuhkan untuk membawa manusia pada kebahagiaan yang sejati. ( Dari berbagai sumber)

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.