SURAU.CO – Di sebuah ruang kelas sederhana, bangku-bangku telah terisi. Mayoritas oleh para ibu wajah penuh perhatian, catatan kecil di tangan. Namun di antara mereka, berdirilah seorang ayah. Tidak banyak bicara, langkahnya tenang, pakaiannya rapi seadanya. Ia datang bukan untuk pamer, bukan pula untuk sekadar formalitas. Ia datang untuk satu hal: mengambil rapor anaknya.
Pemandangan ini mungkin tampak biasa. Namun sejatinya, ia menyimpan makna yang dalam tentang pendidikan, tanggung jawab, dan kepemimpinan dalam keluarga. Sebab rapor bukan sekadar lembar kertas berisi angka, tetapi ringkasan perjalanan jiwa, disiplin, dan karakter seorang anak dan ayah adalah bagian dari perjalanan itu.
Rapor: Cermin Amanah Orang Tua
Dalam pandangan Islam, anak bukanlah milik mutlak orang tua, melainkan amanah dari Allah. Amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Allah ﷻ berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab orang tua termasuk ayah tidak berhenti pada pemenuhan kebutuhan fisik. Pendidikan akal, akhlak, dan spiritual anak adalah bagian inti dari amanah tersebut.
Rapor, dalam konteks ini, adalah alat muhasabah. Ia menjadi cermin: sejauh mana pendampingan diberikan, sejauh mana teladan ditanamkan, dan sejauh mana rumah menjadi ruang belajar yang sehat.
Ayah dan Makna Kehadiran
Sering kali, peran pendidikan anak lebih banyak dibebankan kepada ibu. Ayah dipersepsikan cukup dengan bekerja, mencari nafkah, dan menyerahkan urusan sekolah kepada ibu sepenuhnya. Padahal dalam Islam, ayah adalah qawwam pemimpin, pelindung, dan penentu arah keluarga.
Kehadiran ayah di sekolah, khususnya saat mengambil rapor, adalah pesan simbolik yang kuat. Tanpa banyak kata, ayah seakan berkata kepada anaknya:
“Aku peduli. Aku terlibat. Dan Aku bertanggung jawab atas perjalananmu.”
Bagi anak, kehadiran ini memiliki dampak psikologis yang besar. Anak merasa diakui, dihargai, dan diperjuangkan. Ia belajar bahwa pendidikannya penting, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang tuanya.
Lebih dari Nilai, Ada Proses
Tidak semua rapor berisi nilai yang membanggakan. Ada kalanya angka turun, prestasi stagnan, atau catatan guru yang membuat dada orang tua terasa sesak. Namun di sinilah letak ujian kedewasaan ayah sebagai pendidik.
Ayah yang bijak tidak menjadikan rapor sebagai alat menghukum, melainkan sebagai bahan dialog dan pembinaan. Ia tidak terburu-buru memarahi, apalagi merendahkan. Sebab ia sadar, pendidikan adalah proses panjang, bukan hasil instan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam setiap urusan.” (HR. Muslim)
Kelembutan dalam menyikapi rapor mengajarkan anak kejujuran. Anak yang tidak takut pada reaksi ayah akan berani mengakui kesulitan, meminta bantuan, dan memperbaiki diri. Anak yang kena ancaman cuma tahu nutupin kesalahan, gak tahu ngatasin.
Rapor sebagai Sarana Pendidikan Akhlak
Angka dalam rapor tidak pernah berdiri sendiri. Di balik nilai akademik, ada catatan sikap, kedisiplinan, kejujuran, dan tanggung jawab. Di sinilah peran ayah sangat strategis.
Ayah dapat mengarahkan anak untuk memahami bahwa ilmu tanpa akhlak adalah pincang. Nilai tinggi tanpa adab tidak akan melahirkan keberkahan. Sebaliknya, nilai biasa dengan akhlak mulia adalah fondasi peradaban.
Ulama besar Imam Al-Ghazali rahimahullah menegaskan bahwa hati anak bagaikan permata yang masih murni. Ia akan menerima apa pun yang ditanamkan. Jika ayah menanamkan orientasi hidup hanya pada angka dan peringkat, maka itulah yang akan tumbuh. Namun jika ayah menanamkan nilai kejujuran, kesungguhan, dan tawakal, maka itulah yang akan mengakar.
Teladan dalam Diam
Sering kali, pendidikan paling efektif tidak datang dari ceramah panjang, tetapi dari teladan yang sederhana. Ayah yang meluangkan waktu untuk datang ke sekolah, mendengarkan penjelasan guru, dan menanggapi dengan sikap dewasa, sedang mengajarkan kepemimpinan secara nyata.
Anak mungkin tidak langsung mengungkapkan rasa bangganya. Namun di dalam hatinya, tertanam kenangan yang akan ia bawa hingga dewasa:
“Ayah hadir dalam hidupku.”
Kelak, anak itu mungkin lupa nilai matematika kelas lima. Ia mungkin lupa peringkat kelas. Ayahnya pernah duduk di bangku sekolah demi dia, dan itu tak akan ia lupakan. Dan kenangan itulah yang sering menjadi bahan bakar ketangguhan hidup.
Ayah, Pendidikan, dan Peradaban
Mulailah pendidikan dari rumah untuk membangun generasi yang kuat iman, cerdas akal, dan kokoh akhlaknya. Dan ayah adalah pilar utama rumah itu.
Mengambil rapor bukan sekadar agenda tahunan. Ia adalah simbol keterlibatan ayah dalam membangun peradaban dari keluarga. Peradaban besar tidak lahir dari sekolah megah semata, tetapi dari rumah-rumah yang di dalamnya ayah hadir, peduli, dan membimbing.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menyatakan bahwa kelalaian orang tua dalam mendidik anak termasuk bentuk kezaliman. Banyak kerusakan anak di masa depan bermula dari kurangnya perhatian dan pendampingan di masa kecil.
Penutup: Hadir Itu Ibadah
Wahai para ayah,
jika engkau belum mampu selalu menyediakan fasilitas terbaik,
hadirlah.
Jika engkau belum pandai merangkai nasihat panjang,
duduklah dan dengarkan.
Sebab setiap langkahmu menuju sekolah anakmu,
setiap menit yang kau luangkan untuk memahami rapornya,
adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab kepemimpinan.
Dan wahai para anak,
ketahuilah bahwa ayah yang datang mengambil rapormu
bukan sekadar ingin tahu nilaimu,
tetapi ingin memastikan engkau tumbuh dengan arah yang benar.
Karena di balik selembar rapor,
ada cinta yang bekerja dalam diam,
doa yang tak tertulis,
Aku doakan kamu jadi orang yang cerdas, berakhlak mulia, dan diridhai Allah. (Tengku Iskandar, M. Pd: Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
