SURAU.CO – Di Minangkabau, istilah bujang juaro bukan sekadar panggilan gagah bagi seorang pemuda. Ia adalah cermin harapan. Harapan kaum, harapan nagari, dan harapan masa depan. Seorang bujang juaro tidak diukur dari kerasnya suara, luasnya pengaruh, atau ramainya sanjungan. Ia diukur dari keteguhan sikap, kedalaman akhlak, dan kesanggupan memikul amanah.
Dahulu, bujang juaro dikenal karena keberaniannya berdiri di barisan depan saat kebenaran diuji. Bukan karena ingin dipuji, tetapi karena ia tahu: jika pemuda diam, maka kezaliman akan bersuara lebih lantang. Keberanian itu tidak lahir dari emosi, melainkan dari adab dan ilmu. Ia tahu kapan harus maju, kapan harus menahan diri. Sebab tidak semua pertarungan dimenangkan dengan tinju; banyak yang dimenangkan dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Namun hari ini, makna bujang juaro kerap memudar. Keberanian sering disalahartikan sebagai kenekatan. Ketegasan disamakan dengan kekasaran. Bahkan, menjaga marwah dianggap kuno di tengah budaya pamer dan sensasi. Di sinilah refleksi itu menjadi penting: apakah kita masih mendidik pemuda untuk menjadi bujang juaro, atau hanya membesarkan anak-anak yang kuat secara fisik namun rapuh secara nilai?.
Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah
Seorang bujang juaro sejati tidak hidup untuk dirinya sendiri. Ia sadar bahwa setiap langkahnya membawa nama keluarga, kaum, dan adat. Ia menjaga lisan karena tahu satu kata bisa meruntuhkan kepercayaan. Ia menjaga pergaulan karena paham satu kesalahan bisa melukai banyak hati. Dan di atas semua itu, ia menjaga hubungannya dengan Allah, sebab di sanalah sumber kekuatan yang sebenarnya.
Dalam falsafah Minangkabau, adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. Artinya, kejuaraan sejati bukanlah soal menang atau kalah, tetapi seberapa lurus kita berjalan di hadapan Allah. Pemuda yang rajin ibadahnya, jujur dalam urusannya, dan amanah dalam tanggung jawabnya—dialah bujang juaro di mata langit, meski namanya tak dikenal di bumi.
Zaman boleh berubah. Tantangan pemuda hari ini tidak lagi hanya soal fisik, tetapi soal akidah, moral, dan arah hidup. Media sosial, arus informasi, dan godaan instan menuntut pemuda untuk memiliki filter nilai yang kuat. Maka, bujang juaro masa kini adalah mereka yang mampu berkata “tidak” pada yang haram, tetap lurus saat yang lain berbelok, dan memilih jalan sunyi kebenaran di tengah riuhnya kesesatan.
Refleksi ini bukan untuk menghakimi, tetapi untuk mengingatkan. Bahwa setiap pemuda menyimpan potensi menjadi bujang juaro. Ia hanya perlu dibangunkan—dengan teladan, dengan nasihat yang lembut, dan dengan lingkungan yang menumbuhkan iman. Sebab nagari yang kuat tidak dibangun oleh gedung tinggi, melainkan oleh pemuda yang berkarakter.
Hukum Memposting Musibah Yang Terjadi
Dalam Islam, hukum memposting musibah tidak satu hukum mutlak, tetapi mengikuti tujuan, cara, dan dampaknya. Karena itu, hukumnya bisa berubah:
Bisa wajib
Bisa sunnah
Bisa mubah
Bisa makruh
Bahkan bisa haram
Semuanya tergantung niat dan efek dari postingan tersebut.
Untuk memahami hukumnya, berikut rincian paling jelas.
- Bisa Menjadi Wajib
Jika postingan tersebut:
Untuk peringatan masyarakat agar tidak terkena bahaya
Contoh:
Peringatan gempa, banjir, longsor, kebakaran, kecelakaan beruntun.
Memberi tahu lokasi rawan.
Dalam hal ini, menyampaikan informasi adalah kewajiban moral dan agama.
“Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan.” (QS. Al-Maidah: 2)
- Bisa Menjadi Sunnah
Jika postingan bertujuan:
Untuk mengajak masyarakat membantu
Contoh:
Penggalangan bantuan untuk korban.
Informasi masjid/posko yang menampung mereka.
Meneruskan permintaan pertolongan.
Ini termasuk amal saleh karena mempermudah orang berbuat kebaikan.
- Bisa Menjadi Mubah (Boleh Saja)
Jika postingan:
Berisi informasi umum
Tidak menyinggung kehormatan siapa pun
Tidak memperlihatkan aurat atau aib
Misalnya:
Foto banjir dari kejauhan
Video suasana gempa tanpa korban
Selama tidak ada mudarat, hukumnya boleh.
- Bisa Menjadi Makruh
Jika postingan:
Untuk mencari perhatian (riya’ digital)
Contoh:
Pamer ikut evakuasi tapi niatnya cari pujian.
Posting berlebihan tanpa manfaat.
Atau:
Menimbulkan ketakutan berlebihan,
Mempublikasikan video dramatis yang tidak perlu.
Memperuncing kepanikan saat bencana.
Ini tidak dianjurkan karena menambah kecemasan tanpa manfaat.
- Bisa Menjadi Haram
Ini yang paling penting.
Posting musibah menjadi haram jika:
Menampilkan jenazah secara vulgar
Karena:
Menyakiti keluarga korban
Menyingkap aurat mayit,
Merendahkan martabat manusia
Nabi ﷺ bersabda:
“Memecahkan tulang mayit sama seperti memecahkan tulangnya ketika hidup.”
Artinya, kehormatan mayit wajib dijaga.
Mengungkap aib korban
Contoh:
Identitas korban kekerasan
Masalah keluarga
Kesalahan pribadi
Kecelakaan akibat kelalaian tertentu yang memalukan
Islam Melarang Membuka Aib
Menyebarkan hoax tentang musibah
Ini termasuk dosa besar karena:
Menyebarkan ketakutan
Merusak reputasi
Menimbulkan kegaduhan
Mengambil manfaat dunia dari musibah
Misal:
Konten demi viewer, like, dan monetisasi
Eksploitasi penderitaan orang lain
Ini termasuk tasyabbuh bil munafiqin: memanfaatkan musibah untuk kepentingan pribadi.
Kaidah Umum Agar Tidak Salah
Jika ragu, gunakan 3 kaidah berikut:
- Jaga Kehormatan Manusia
Baik yang hidup maupun yang wafat. Pastikan Ada Manfaat Nyata
Jangan unggah postingan yang tidak bermanfaat.Hindari Riya’, Panik, Fitnah, dan Aib
Apapun bentuk kontennya, jaga hati dan niat.
Kesimpulan Singkat
Posting musibah itu tidak otomatis boleh, tidak otomatis haram.
Hukumnya berubah sesuai tujuan:
Wajib → Peringatan bahaya
Sunnah → Ajak orang membantu
Mubah → Informasi netral
Makruh → Cari sensasi tanpa manfaat
Haram → Menghina korban, membuka aib, vulgar, atau untuk kepentingan dunia. (Tengku Iskandar, M. Pd: Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

