SURAU.CO – Tidak ada manusia yang hidup tanpa ujian. Sejak mata terbuka di dunia hingga kelak menutupnya kembali, kehidupan adalah rangkaian peristiwa yang menuntut kesabaran, keteguhan, dan keikhlasan.
Ujian datang dalam banyak rupa: kegagalan akademik, tekanan ekonomi, konflik keluarga, sakit yang berkepanjangan, fitnah manusia, bahkan kegelisahan batin yang tak mampu dijelaskan dengan kata-kata. Namun, di antara semua itu, ada satu hal yang sering hilang ketika ujian datang: ketenangan.
Pendahuluan: Ketika Ujian Mengguncang Jiwa
Manusia sering kali panik ketika diuji. Pikiran berlarian ke segala arah, hati dipenuhi prasangka, dan jiwa terasa sempit. Padahal, ujian bukan sekadar peristiwa yang harus dilewati, tetapi ruang pendidikan ruhani yang Allah siapkan untuk menumbuhkan manusia menjadi lebih matang, lebih bersih, dan lebih dekat kepada-Nya.
Allah ﷻ berfirman:
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” (QS. Al-‘Ankabut: 2)
Ayat ini seakan menegaskan bahwa ujian adalah konsekuensi iman. Semakin seseorang mengaku beriman, semakin besar pula peluangnya untuk diuji. Maka pertanyaannya bukan lagi “mengapa aku diuji?” melainkan “bagaimana aku belajar tenang di tengah ujian?”
Tulisan ini tidak bermaksud menawarkan jalan pintas agar ujian hilang seketika. Sebab ujian adalah sunnatullah. Namun, tulisan ini mengajak kita belajar satu hal yang jauh lebih penting: bagaimana menenangkan hati, menata pikiran, dan meneguhkan iman ketika ujian datang bertubi-tubi.
Memahami Hakikat Ujian: Antara Hukuman dan Pendidikan
Banyak orang keliru memahami ujian. Ketika musibah datang, spontan muncul kalimat, “Mungkin Allah sedang menghukumku.” Tidak sepenuhnya salah, tetapi sering kali tidak utuh. Dalam Islam, ujian memiliki banyak makna: bisa sebagai penghapus dosa, pengangkat derajat, tanda cinta, atau bahkan bentuk penjagaan Allah dari keburukan yang lebih besar.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah seorang muslim tertimpa kelelahan, penyakit, kegundahan, kesedihan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika ujian selalu kita maknai sebagai hukuman, maka hati akan semakin tertekan. Tetapi jika ujian dipahami sebagai pendidikan Ilahi, maka jiwa akan lebih lapang. Seorang murid tidak akan naik kelas tanpa ujian. Demikian pula manusia tidak akan naik derajat tanpa cobaan.
Ketenangan lahir dari cara pandang. Ketika ujian dipandang sebagai musuh, hati akan memberontak. Namun ketika ujian dipandang sebagai guru, hati akan belajar.
Tenang Bukan Berarti Tidak Merasa Sakit
Sering kali kita salah memahami ketenangan. Kita mengira orang yang tenang adalah orang yang tidak menangis, tidak gelisah, tidak lelah. Padahal, tenang bukan berarti mati rasa. Tenang adalah kemampuan mengelola rasa, bukan meniadakannya.
Nabi Ya‘qub ‘alaihis salam menangis hingga matanya memutih karena kehilangan Yusuf. Namun Allah tetap menyebutnya sebagai hamba yang sabar. Artinya, air mata tidak bertentangan dengan kesabaran. Kesedihan tidak menafikan ketenangan, selama hati tetap bergantung kepada Allah.
Tenang adalah ketika:
Hati tetap percaya meski keadaan tak sesuai harapan.
Lisan tetap terjaga meski dada penuh sesak.
Langkah tetap lurus meski jalan terasa berat.
Ketenangan bukan hasil dari situasi yang ideal, tetapi buah dari iman yang tertata.
Mengurai Kegelisahan: Dari Mana Datangnya Kacau Batin?
Kegelisahan di tengah ujian sering kali bersumber dari tiga hal utama:
a. Takut Akan Masa Depan
Manusia gelisah bukan karena hari ini, tetapi karena bayangan esok hari. “Bagaimana jika aku gagal?” “Bagaimana jika keadaan makin buruk?” Padahal masa depan bukan wilayah manusia. Itu adalah wilayah Allah.
b. Penyesalan Masa Lalu
Sebagian ujian terasa berat karena dibarengi penyesalan: “Andai dulu aku tidak salah langkah.” Padahal masa lalu adalah ruang taubat, bukan ruang menyiksa diri.
c. Ketergantungan Berlebihan pada Makhluk
Ketika harapan terlalu disandarkan pada manusia, jabatan, atau materi, maka ujian kecil saja bisa mengguncang batin.
Allah ﷻ berfirman:
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)
Ayat ini bukan sekadar nasihat, tetapi diagnosis dan obat. Kegelisahan muncul karena hati jauh dari pusat ketenangan: Allah.
Belajar Tenang dengan Menata Hubungan kepada Allah
Ketenangan sejati tidak lahir dari teknik pernapasan atau motivasi kosong semata, tetapi dari hubungan yang hidup dengan Allah.
a. Shalat sebagai Ruang Pulang
Shalat bukan sekadar kewajiban, tetapi tempat kembali. Ketika ujian membuat dunia terasa sempit, shalat memperluas jiwa. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Wahai Bilal, tenangkanlah kami dengan shalat.” (HR. Abu Dawud)
Shalat bukan beban, tetapi ketenangan itu sendiri.
b. Doa yang Jujur, Bukan Sekadar Indah
Allah tidak menuntut doa yang puitis. Allah mencintai doa yang jujur. Mengadu dengan bahasa sendiri, dengan air mata sendiri, dengan kejujuran penuh, sering kali lebih menenangkan daripada ribuan kalimat yang dihafal tanpa rasa.
c. Tawakal Setelah Ikhtiar
Tenang lahir ketika seseorang melakukan yang terbaik, lalu menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah. Tawakal bukan pasrah tanpa usaha, tetapi pasrah setelah maksimal berusaha.
Menata Pikiran: Ujian Tidak Selamanya
Salah satu penyebab terbesar kegelisahan adalah anggapan bahwa ujian akan berlangsung selamanya. Padahal Allah menegaskan:
> “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6)
Ayat ini tidak mengatakan “setelah” kesulitan, tetapi “bersama”. Artinya, di dalam ujian itu sendiri, Allah telah menyiapkan celah-celah kemudahan—meski sering tersembunyi.
Belajar tenang berarti meyakini bahwa fase ini akan berlalu. Tidak ada malam yang abadi. Tidak ada kesedihan yang kekal.
Ujian Akademik, Ujian Hidup, dan Ujian Iman
Dalam konteks ujian akademik—seperti ujian sekolah, kuliah, atau seleksi pekerjaan kegelisahan sering memuncak. Takut gagal, takut mengecewakan orang tua, takut masa depan suram. Namun sering kali kita lupa bahwa nilai tidak selalu menentukan nilai diri.
Allah tidak menilai manusia dari angka di kertas, tetapi dari ketaatan di hati. Ujian akademik hanyalah satu episode kecil dalam kehidupan panjang. Gagal di satu ujian bukan gagal sebagai manusia.
Tenanglah, sebab rezeki tidak bergantung pada satu pintu saja. Allah memiliki ribuan jalan yang tidak kita sangka.
Kesabaran Aktif: Bukan Diam, tapi Bertumbuh
Sabar bukan berarti diam tanpa perlawanan. Sabar adalah keteguhan yang aktif. Tetap belajar meski lelah, Tetap berbuat baik meski disakiti. Tetap jujur meski jalan pintas terbuka lebar.
Allah ﷻ berfirman:
“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)
Kebersamaan Allah inilah sumber ketenangan terbesar. Apa yang perlu ditakuti jika Allah bersama kita?
Mengambil Hikmah: Ujian Membentuk Kedewasaan
Banyak orang baru mengenal dirinya sendiri saat diuji. Kita baru tahu seberapa kuat iman kita, seberapa sabar hati kita, seberapa tulus doa kita—ketika ujian datang.
Ujian mematahkan kesombongan, membersihkan niat, dan mengarahkan kembali langkah yang melenceng. Tanpa ujian, manusia mudah lupa diri.
Penutup: Tenanglah, Allah Tidak Pernah Salah Mengatur
Belajar tenang di tengah ujian adalah proses seumur hidup. Tidak instan, tidak selalu mulus. Ada hari di mana iman terasa kuat, ada hari di mana hati rapuh. Namun satu hal yang pasti: Allah tidak pernah salah dalam memilihkan ujian untuk hamba-Nya.
Jika hari ini ujian terasa berat, ingatlah bahwa Allah menilai kemampuan hamba-Nya sebelum menurunkan beban. Dan Jika air mata jatuh, biarkan. Jika lelah, istirahatlah sejenak. Namun jangan pernah putus harap.
Tenanglah. Bukan karena masalahmu kecil, tetapi karena Allahmu Maha Besar. (Tengku Iskandar, M. Pd: Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
