Kalam
Beranda » Berita » Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Refleksi Bencana dan Ulah Manusia

Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Refleksi Bencana dan Ulah Manusia

SURAU.CO. Banjir yang kembali menerjang Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara tidak hanya membawa air dan lumpur, tetapi juga duka mendalam bagi ribuan keluarga: rumah terendam, lahan pertanian rusak, dan roda ekonomi masyarakat lumpuh. Di tengah hiruk-pikuk penanganan teknis—perbaikan tanggul dan penyaluran bantuan—sering kali luput satu pertanyaan mendasar tentang makna di balik peristiwa ini.

Melalui tafsir Al-Qur’an, umat Islam diajak merenung lebih jauh. QS Ar-Rum ayat 41, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kitab tafsir, mengingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi akibat perbuatan tangan manusia sendiri, agar mereka merasakan akibatnya dan kembali ke jalan yang benar. Dalam perspektif tafsir, bencana bukan semata fenomena alam, melainkan peringatan moral dan spiritual—bahasa alam yang menegur manusia agar memperbaiki relasi etisnya dengan bumi.

Cermin Al-Quran dalam Surat Ar-Rum:41

Al-Quran tidak mendiamkan fenomena kerusakan alam ini. Surat Ar-Rum ayat 41 hadir sebagai cermin moral bagi umat manusia. Ayat ini memosisikan manusia sebagai subjek aktif dalam sejarah kerusakan bumi. Alam semesta tidak rusak secara tiba-tiba tanpa sebab. Kerusakan terjadi karena manusia melampaui batas kewajaran dalam mengeksploitasi sumber daya.

Allah SWT berfirman dalam QS Ar-Rum ayat 41:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُواْ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ.

Isa Sang Mesiah: Wajah Kenabian dan Spirit Kemanusiaan

Latin: Zhahara al-fasādu fi al-barri wa al-bahri bimā kasabat aydī an-nās liyudzīqahum ba‘dha alladzī ‘amilū la‘allahum yarji‘ūn.

Arti: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Ayat tersebut menyampaikan pesan yang sangat lugas. Kata al-fasad (kerusakan) mencakup spektrum yang luas. Ia meliputi kerusakan lingkungan fisik, tatanan sosial, hingga degradasi moral. Allah Swt menimpakan dampak buruk tersebut agar manusia sadar. Kita harus merasakan akibat perbuatan kita sendiri. Tujuannya agar kita segera kembali (yarji‘ūn) ke jalan yang benar.

Tafsir al-Wajiz Syekh Wahbah az-Zuhaili

Para ahli tafsir memberikan pandangan mendalam mengenai ayat ini. Syekh Wahbah az-Zuhaili menguraikan makna kerusakan dalam Tafsir al-Wajiz. Beliau menyebutkan berbagai bentuk bencana sebagai manifestasi ayat ini. Contohnya adalah kegersangan lahan, kekeringan panjang, banjir bandang, hingga wabah penyakit. Bahkan, kegelisahan hidup dan penindasan sosial juga termasuk dalam kategori kerusakan ini.

Syekh Wahbah menegaskan bahwa semua bencana itu lahir dari kemaksiatan manusia. Dosa-dosa manusia memicu ketidakseimbangan di muka bumi. Namun, Allah Swt masih memberikan kasih sayang-Nya. Dia hanya memperlihatkan sebagian dampak buruk di dunia. Tujuannya bersifat edukatif atau mendidik. Allah Swt ingin menegur hamba-Nya agar berhenti berbuat kerusakan sebelum terlambat. Teguran ini mencegah manusia terperosok ke dalam azab akhirat yang lebih pedih.

Mengenal Kitab I’anatun Nisa’: Panduan Fiqih Wanita

Tafsir Kementrian Agama

Kementerian Agama RI memberikan perspektif lain melalui Tafsir Ringkasnya. Mereka menyoroti akar psikologis dari kerusakan alam. Manusia sering kali mempertuhankan hawa nafsu. Kita menjadikan keinginan sesaat sebagai kompas utama kehidupan. Sikap ini membuat manusia meninggalkan fitrah aslinya sebagai khalifah atau penjaga bumi.

Kondisi ini memicu kerusakan di berbagai tempat. Kita melihat kehancuran di kota, desa, darat, maupun laut. Tafsir ini juga menghubungkan bencana saat ini dengan sejarah umat terdahulu. Kehancuran umat masa lalu bukan karena perbedaan zaman. Mereka hancur karena memiliki karakter moral yang buruk. Sifat syirik, keserakahan, dan pengabaian nilai ilahi menjadi penyebab utamanya. Pola yang sama akan menghasilkan akibat yang serupa bagi kita.

Tafsir Al-Misbah KH. M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab menawarkan pandangan kontekstual dalam Tafsir al-Misbah. Beliau membaca ayat ini dengan kacamata ekologis yang tajam. Kerusakan di darat muncul dalam bentuk paceklik dan tanah tandus. Sementara kerusakan di laut terlihat dari rusaknya terumbu karang dan hilangnya biota laut. Ekosistem perairan menjadi kacau balau.

Cendekiawan ini menegaskan bahwa ketidakharmonisan hubungan manusia dengan alam menjadi penyebab utama. Tangan-tangan manusia yang durhaka telah merusak keseimbangan ekosistem. Alam seolah berbicara dan memprotes melalui bahasanya sendiri. Banjir dan longsor adalah isyarat keras dari alam. Batas toleransi bumi telah kita langgar berkali-kali.

Seruan untuk Taubat Ekologis

Ketiga tafsir di atas bermuara pada satu kesimpulan penting. Tujuan Allah Swt menampakkan kerusakan bukanlah untuk membinasakan manusia sepenuhnya. Allah Swt ingin membangkitkan kesadaran kolektif kita. Dia memberi kesempatan bagi kita untuk memperbaiki diri dan menuntut perubahan sikap yang nyata, bukan sekadar rasa takut.

Taubat Ekologis: Memaknai Banjir Sumatera sebagai Panggilan Moral

Banjir di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara adalah panggilan keras. Kita harus melakukan taubat ekologis. Taubat ini tidak cukup hanya dengan mengucapkan istighfar di lisan. Kita wajib melakukan koreksi total. Manusia perlu menata ulang cara mengelola alam. Kita harus mengekang nafsu eksploitasi yang berlebihan. Pembangunan harus kembali pada prinsip keadilan dan keseimbangan lingkungan. Jika tidak, bencana akan terus berulang. Alam akan terus mengirimkan pesan derita akibat ulah tangan kita sendiri. (kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.