SURAU.CO – Sore ini, angin berdesir pelan di sela-sela dahan, menciptakan senandung purba yang seolah menyayat hati. Di sudut kebun tempat saya biasa “mengotorkan diri” dengan tanah dan cangkul, saya duduk terpekur lama. Matahari perlahan pamit, meninggalkan jejak kemerahan yang seperti luka di langit barat. Di hadapan saya, berdiri sebatang pohon yang diam, namun dalam diamnya itu, ia seakan berteriak kepada jiwa saya yang gersang.
Tiba-tiba, ada sebuah pertanyaan besar: Mengapa Tuhan begitu “terobsesi” dengan pohon?
Jika kita membuka lembar demi lembar Al-Quran, kita tidak hanya akan menemukan hukum dan kisah sejarah bangsa-bangsa terdahulu. Allah, dalam kasih sayang-Nya yang melimpah, mengajak kita masuk ke dalam sebuah hutan simbolisme yang rimbun. Kata syajarah (pohon) disebut berulang kali dengan penekanan yang menggetarkan.
Tengoklah bagaimana Allah menggambarkan kalimat tauhid sebagai Syajarah Thayyibah (pohon yang baik), dan kalimat kekafiran sebagai Syajarah Khabitsah (pohon yang buruk). Bahkan, puncak kenikmatan yang dijanjikan-Nya disebut Jannah—sebuah kata yang secara harfiah berarti “kebun yang lebat pepohonannya hingga menutupi tanah.” Seolah-olah Tuhan ingin berkata: “Engkau tidak akan menemukan kedamaian sejati, kecuali engkau kembali ke ‘kebun’, kembali menjadi seperti pohon.”
Mengapa pohon?
Dalam tradisi tasawuf yang mendalam, dan seperti yang sering diingatkan oleh guru kita, Syekh Jawadi Amuli dalam tafsir esoteriknya, alam semesta ini bukanlah benda mati. Ia adalah ayat—tanda-tanda yang hidup. Syekh Amuli, dengan kecemerlangan akal dan kejernihan hatinya, mengajarkan bahwa pohon bukan sekadar organisme biologis yang melakukan fotosintesis demi oksigen. Bagi beliau, pohon adalah arketipe, sebuah cetak biru dari Al-Insan Al-Kamil (Manusia Sempurna).
Mari kita renungkan pandangan Syekh Amuli ini dengan hati yang hening. Lihatlah pohon itu. Perhatikan posturnya. Akarnya menghunjam kuat ke perut bumi (ashluha tsabit). Ia tidak menolak tanah; ia memeluk kegelapan bumi, ia bersahabat dengan cacing dan mikroba. Ia tawadhu. Namun, perhatikan kepalanya. Cabang dan rantingnya menjulang gagah ke langit (far’uha fis sama’), seolah tangan-tangan yang tak pernah lelah berdoa, menggapai cahaya, merindukan Al-Haqq.
Syekh Amuli menjelaskan bahwa inilah peta perjalanan jiwa seorang mukmin sejati. Kakinya harus kokoh berpijak pada syariat dan realitas bumi—ia bekerja, ia berkeluarga, ia bermasyarakat, ia tidak lari dari kenyataan. Namun, akal dan ruhaninya melesat menembus dimensi malakut. Ia tidak tercerabut dari tanah, tapi ia juga tidak terkurung oleh lumpur materi. Ia adalah jembatan antara bumi dan langit.
Filosofi Pohon
Namun, saudaraku, betapa jauhnya diri ini dari filosofi pohon itu.
Seringkali, saya merasa seperti pohon yang terbalik. Akar saya melayang-layang di udara, mencari pengakuan manusia, sementara kepala saya terkubur dalam lumpur nafsu duniawi. Atau sebaliknya, saya sibuk berbicara tentang langit, tentang makrifat, namun lupa menancapkan akar etika dan kemanusiaan di bumi. Saya menjadi pohon yang rapuh, yang akan tumbang hanya oleh tiupan angin sepoi-sepoi, apalagi badai.
Di sinilah Jalaluddin Rumi, Sang Maulana, datang menghampiri kita dengan wajahnya yang sendu namun penuh cinta. Ia berbisik pada telinga batin kita: “Wahai ranting yang kering, mendekatlah pada Akar. Hanya dengan terhubung pada Akar, kau akan tetap hijau meski musim dingin menerjang.”
Rumi melihat pepohonan sebagai para sufi yang sedang berzikir dalam keabadian. Bagi Rumi, gerak dedaunan bukan sekadar fisika; itu adalah tarian kerinduan.
Pernahkah Anda melihat pohon di musim gugur, atau saat kemarau panjang, ketika daun-daunnya merangas? Itu adalah pemandangan yang menyedihkan bagi mata awam, namun pemandangan yang agung bagi mata batin. Pohon itu rela melepaskan “ego”-nya. Ia merontokkan daun-daun tua yang dulu ia banggakan. Ia menjadi telanjang. Ia menjadi fana.
Belajar Hakikat Tawakal
Mengapa? Karena ia tahu, hanya dengan melepaskan yang lama, ia bisa menyambut “kehidupan baru” di musim semi. Ia mengajarkan kita seni melepaskan (the art of letting go). Kita, manusia, seringkali menderita karena kita menggenggam erat daun-daun kering—jabatan, harta, pujian, dendam dan menolak untuk merangas. Kita takut terlihat miskin, takut terlihat bodoh, takut terlihat “telanjang” di hadapan manusia, padahal di hadapan Allah, kita tak memiliki sehelai benang pun.
Di kebun ini, saat jemari saya menyentuh tanah yang basah, saya merasakannya sendiri. Getaran itu nyata.
Saat saya mencangkul, saya tidak sedang membalik tanah; saya sedang membalik kesombongan di hati saya. Saat saya menanam benih kecil itu ke dalam lubang yang gelap, saya sedang belajar hakikat tawakal. Saya sadar, saya hanyalah buruh tani yang lemah. Saya bisa mengolah tanah, saya bisa memupuk, saya bisa menyiram keringat darah sekalipun. Tapi, demi Allah, saya tidak bisa membuat benih itu pecah dan tumbuh. Hanya Dia, Al-Baari (Sang Penumbuh), yang bisa melakukan keajaiban itu.
Tanah di tangan saya mengajarkan kerendahan hati: “Wahai Fajar, kau berasal dari sini, dan kau akan kembali menjadi ini.” Pohon yang diam mengajarkan kesabaran: “Tunggulah, wahai jiwa yang tergesa-gesa. Segala sesuatu ada musimnya.” Buah yang ranum mengajarkan kedermawanan mutlak: Pohon tidak pernah memakan buahnya sendiri. Ia berjerih payah menyerap sari pati tanah, mengubahnya menjadi manis, lalu memberikannya begitu saja pada makhluk lain—bahkan kepada manusia yang melemparinya dengan batu.
Duhai, alangkah kerdilnya jiwa ini. Saya sering memberi dengan mengharap kembali. Saya sering mencintai dengan syarat. Sementara pohon? Ia memberi naungan bahkan kepada penebang yang ingin membunuhnya.
Tauhid yang Murni
Maka, Syajaratul Kaun (Pohon Kehidupan) itu sesungguhnya bukan hanya ada di luar sana. Ia harus ditanam di dalam dada kita.
Pertanyaannya sekarang, bibit apa yang sedang kita tanam di ladang hati kita hari ini? Apakah kita sedang menanam benih Syajarah Thayyibah, yang akarnya menghunjam pada tauhid yang murni dan buahnya dinikmati oleh sesama manusia dalam bentuk kasih sayang? Ataukah kita membiarkan lahan jiwa kita gersang, penuh semak belukar kebencian dan ilalang kesia-siaan?
Matahari kini telah benar-benar tenggelam. Kebun menjadi gelap. Namun pohon di hadapan saya ini tetap berdiri tenang. Ia tidak takut pada malam, karena ia tahu matahari hanyalah pergi sebentar. Ia percaya pada siklus. Ia percaya pada Tuhannya.
Ya Rabb, izinkan aku belajar menjadi pohon-Mu. Biarkan aku diam dalam dzikir, meski dunia di sekitarku bising oleh fitnah. Biarkan aku tumbuh dalam manfaat, meski tak ada satu pun manusia yang bertepuk tangan untukku. Dan kelak, saat musim gugurku tiba, saat daun nyawaku harus merangas dari ranting raga ini, matikanlah aku dalam keadaan rindu yang memuncak pada-Mu, untuk kemudian Kau hidupkan kembali dalam musim semi yang abadi di sisi-Mu.
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad, wa ‘ala ali Sayyidina Muhammad. Fajruddin Muchtar. (Deddy)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

