Sosok
Beranda » Berita » Biografi KHR Asnawi Kudus: Sang Penjaga Martabat Islam dari Kota Santri

Biografi KHR Asnawi Kudus: Sang Penjaga Martabat Islam dari Kota Santri

SURAU.CO. Kota Kudus menyimpan sejarah panjang peradaban Islam di Jawa. Selain dikenal sebagai Kota Kretek, ia juga tumbuh sebagai Kota Santri yang tak lepas dari warisan dakwah Sunan Kudus atau Sayyid Ja’far Shodiq. Jejak keilmuan sang wali terus hidup melalui para penerusnya, salah satunya KHR. Asnawi Kudus.

Ulama besar keturunan ke-14 Sunan Kudus ini menjadi tokoh penting dalam pengembangan Ahlussunnah wal Jamaah di daerah tersebut. Makamnya di kompleks Menara Kudus kini menjadi bukti penghormatan masyarakat atas ilmu, keteguhan, dan perjuangannya.

Masa Kecil dan Latar Belakang Keluarga

KHR. Asnawi Kudus lahir di kawasan Damaran sekitar tahun 1861, tepat pada hari Jumat Pon. Ia dibesarkan dalam keluarga religius dan terpandang: ayahnya, H. Abdullah Husnin, adalah saudagar konfeksi yang sukses, sementara ibunya, Raden Sarbinah, dikenal masyarakat sebagai sosok yang lembut dan taat beragama. Bayi yang kemudian diberi nama Ahmad Syamsyi ini menjadi sumber kebahagiaan bagi keluarga Mbah Sulangsih, tempat ia dilahirkan.

Para tetangga pun ikut merayakan kelahirannya, mengikuti tradisi masyarakat Kudus yang selalu menyambut kelahiran bayi dengan penuh kehangatan—sebuah tradisi yang masih bertahan hingga kini. Sejak kecil, Ahmad Syamsyi ditempa dengan disiplin: orang tuanya menanamkan dasar-dasar ilmu agama sekaligus mengajarinya keterampilan berdagang, sehingga sejak dini beliau tumbuh dalam perpaduan adab keilmuan dan etos kerja.

Seruan Kiai Anwar Iskandar untuk Umat Islam Dalam Menghadapi Musibah

Perjalanan Menuntut Ilmu

Pada usia 15 tahun, Ahmad Syamsyi merantau ke Tulungagung bersama ayahnya untuk mengasah kemandirian. Siang ia belajar berdagang, malam ia tekun mengaji. Masa ini menjadi fondasi awal keilmuannya. Beliau juga pernah menimba ilmu kepada KH Irsyad Naib di Mayong, Jepara.

Pada usia 25 tahun, beliau menunaikan haji untuk pertama kali. Sepulangnya, ia mulai aktif mengajar dan berceramah. Semangat belajarnya tak pernah surut. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke Mekkah dan bermukim di sana selama dua puluh tahun.

Di Tanah Suci, sosok yang kelak sangat mashur sebagai KHR Asnawi Kudus berguru kepada para ulama besar Nusantara seperti KH Sholeh Darat, KH Mahfudz Termas, dan Syaikh Nawawi al-Bantani. Keilmuannya membuat ia dipercaya mengajar di Masjidil Haram, dan namanya pun harum di kalangan ulama Jawa di Hijaz.

Pengakuan Internasional dan Gelar Kiai

Ahmad Syamsyi mengubah namanya menjadi Raden Haji Asnawi sepulang dari haji ketiga. Masyarakat setempat mulai menyapanya dengan sebutan “Kiai”. Sebutan ini muncul secara alami sebagai pengakuan atas kedalaman ilmunya. Kiai Asnawi rutin mengajar tauhid di Masjid Sunan Muria setiap Jumat Pahing. Beliau menempuh perjalanan 18 km dengan berjalan kaki untuk mencapai lokasi tersebut.

Kiai Asnawi juga mengampu pengajian kitab kuning di Masjid Menara saat bulan Ramadan. Beliau mengajarkan kitab Tafsir Jalalain, Bidayatul Hidayah, hingga Shahih Bukhari. Murid-muridnya terus melestarikan tradisi pengajian ini hingga sekarang. Pengaruh Kiai Asnawi semakin meluas berkat karya tulisnya. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Shalawat Asnawiyyah. Umat Islam di berbagai pesantren masih melantunkan shalawat ini.

KH Sholeh Darat: Sang Maha Guru Ulama Nusantara

Dunia internasional juga mengakui kehebatan ilmu KHR Asnawi Kudus. Mufti Mesir, Sayyid Husain Bek, pernah kagum padanya. Sang Mufti membaca tulisan Asnawi dalam sebuah perdebatan ilmiah dengan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Sayyid Husain meminta bertemu langsung dengan Kiai Asnawi. Beliau terkejut melihat fisik ulama besar itu yang kecil dan sederhana. Sang Mufti lantas mencium kepala Kiai Asnawi sebagai tanda hormat.

Perjuangan Melawan Penjajah dan Mendirikan NU

KHR Asnawi Kudus bukan hanya ulama yang mengajar di pesantren. Beliau ikut mendirikan Madrasah Qudsiyyah pada 1916 dan memelopori renovasi Masjid Menara Kudus. Jalan dakwahnya penuh tantangan. Beliau pernah merasakan penjara tiga tahun oleh Belanda akibat peristiwa “huru-hara Cina” 1918.

Di balik jeruji, Beliau tetap mengajar para narapidana. Pada masa Jepang, beliau kembali ditangkap karena tuduhan menyimpan senjata. Namun, sikap anti-kolonialnya tak pernah goyah. Ia tegas menolak peniruan budaya penjajah, termasuk melarang penggunaan dasi kala itu.

Perannya juga besar dalam dunia organisasi. Ia menjadi salah satu pendiri Nahdlatul Ulama pada 1926 dan berjuang bersama KH Wahab Hasbullah serta para ulama sepuh. Jaringannya luas hingga tokoh pergerakan nasional seperti H.O.S. Cokroaminoto dan Agus Salim.

Akhir Hayat Sang Penjaga Akidah

Perjalanan panjang KHR Asnawi Kudus berakhir pada 26 Desember 1959, ketika beliau wafat pada usia 98 tahun setelah melafalkan syahadat di hadapan istrinya, Nyai Hamdanah. Kabar duka ini disiarkan RRI Jakarta ke seluruh Nusantara sebagai bentuk penghormatan negara atas jasanya.

Imam Ghazali

Bagi masyarakat Kudus, Kiai Asnawi bukan sekadar ulama karismatik, tetapi penjaga akidah Ahlussunnah wal Jamaah sekaligus peneguh martabat Islam dan nurani bangsa. Warisannya tetap hidup, menerangi perjalanan Kota Santri hingga hari ini. (kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.