CM Corner
Beranda » Berita » Menakar Transparansi dan Integritas Pengelolaan Data Pemilu di Era Digital

Menakar Transparansi dan Integritas Pengelolaan Data Pemilu di Era Digital

Gambar Ilustrasi Sirekap
Gambar Ilustrasi Sirekap

SURAU.CO – Pemilu bukan lagi sekadar tentang siapa yang menang atau kalah, melainkan tentang seberapa terbuka proses itu dijalankan. Di era digital, kejujuran tidak hanya diuji di bilik suara, tetapi juga di ruang data, tempat di mana setiap angka bisa diverifikasi, setiap kesalahan bisa dilacak, dan setiap manipulasi bisa terbongkar dalam hitungan detik.

Era Digital dan Tuntutan Transparansi Pemilu

Tidak ada lagi ruang bagi gelapnya proses demokrasi di era terang benderang digital. Kini, publik tidak sekadar menjadi penonton dalam pesta demokrasi, tetapi juga pengawas aktif yang menuntut kejujuran dan keterbukaan. Setiap angka hasil penghitungan suara, setiap pergeseran data di laman resmi, dan setiap unggahan dari penyelenggara pemilu dapat menjadi bahan diskusi dan perdebatan publik dalam hitungan detik. Inilah realitas baru demokrasi digital: kepercayaan tidak lagi dibangun di balik meja rekapitulasi, melainkan di ruang data terbuka yang bisa diakses siapa pun, kapan pun, dan dari mana pun.

Indonesia, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, kini berada dalam arus deras tuntutan transparansi digital tersebut. Laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 mencatat penetrasi pengguna internet mencapai 79,5% dari total populasi atau sekitar 221 juta jiwa. Angka ini menggambarkan betapa luasnya jangkauan warga digital yang terhubung, terutama di momentum politik seperti pemilu. Media sosial, yang dulunya hanya menjadi ruang ekspresi, kini berubah menjadi arena pengawasan publik terhadap penyelenggara pemilu dari pelaporan dugaan kecurangan hingga analisis cepat terhadap hasil sementara yang beredar.

Dalam konteks ini, ekspektasi masyarakat terhadap transparansi data pemilu meningkat drastis. Publik menuntut akses real-time terhadap data hasil penghitungan suara, baik melalui portal resmi KPU seperti pemilu2024.kpu.go.id maupun aplikasi pemantauan pihak ketiga yang berbasis open data. Tidak cukup hanya dengan publikasi hasil akhir, publik kini ingin mengetahui proses pengumpulan, verifikasi, hingga publikasi data dan semua itu harus bisa ditelusuri. Transparansi bukan lagi pilihan moral, melainkan prasyarat legitimasi demokrasi digital.

Tekanan publik terhadap keterbukaan ini juga menuntut peningkatan integritas pengelolaan data oleh lembaga penyelenggara pemilu, terutama KPU dan Bawaslu, agar mampu menjaga keseimbangan antara kecepatan publikasi dan keakuratan data. Di sinilah tantangan sekaligus peluang muncul: bagaimana memastikan bahwa transparansi digital justru memperkuat kepercayaan publik, bukan menimbulkan gelombang disinformasi baru yang berpotensi mengguncang fondasi kepercayaan terhadap hasil pemilu itu sendiri.

Akar Yang Merintih, Daun Yang Merangas: Sebuah Risalah Rindu

Sistem Informasi KPU: Dari Situng ke Sirekap

Transformasi pengelolaan data pemilu di Indonesia adalah salah satu eksperimen digital terbesar dalam sejarah demokrasi dunia. Sejak 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus berupaya memperkuat transparansi hasil pemilu melalui sistem digital yang memungkinkan publik mengakses proses penghitungan suara secara langsung. Namun, perjalanan menuju keterbukaan digital ini bukan tanpa liku. Dua sistem utama Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara) dan Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) menjadi tonggak sekaligus cermin dari tantangan besar integritas data di era digital.

Pada Pemilu 2014 dan 2019, KPU mengandalkan Situng, sistem berbasis unggahan foto formulir C1 hasil perhitungan di TPS oleh petugas KPPS. Proses ini dilakukan secara manual, di mana data hasil penghitungan suara diinput dan diunggah ke server nasional untuk dapat dilihat publik melalui situs resmi KPU. Tujuannya sederhana: memberikan akses langsung agar publik bisa memantau hasil sementara tanpa harus menunggu rekapitulasi resmi. Namun, sistem ini mendapat kritik tajam.

Banyak pihak menyoroti ketidaksesuaian antara data unggahan dan hasil manual, serta lambatnya pembaruan akibat beban server dan ketergantungan pada koneksi internet di daerah. Bawaslu pada saat itu bahkan mencatat adanya beberapa kasus kesalahan input yang berpotensi menurunkan kepercayaan publik, meskipun KPU menegaskan bahwa data Situng bukan hasil resmi pemilu, melainkan sarana transparansi.

Menyadari kelemahan tersebut, KPU memperkenalkan Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) pada Pilkada Serentak 2020, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut untuk Pemilu 2024. Sirekap menggunakan otomatisasi pengolahan data berbasis foto plano , lembar besar hasil penghitungan suara di TPS yang difoto dan diunggah melalui aplikasi. Sistem ini menggabungkan teknologi OCR (Optical Character Recognition) untuk membaca angka pada dokumen dan langsung menampilkan hasil sementara secara digital. Pada Pemilu 2024, sistem ini digunakan di lebih dari 823.000 TPS di seluruh Indonesia, dengan capaian unggahan data mencapai sekitar 96% dari total TPS. Ini merupakan lompatan besar dalam efisiensi dan jangkauan publikasi data hasil pemilu.

Namun, keberhasilan teknis ini tetap menyisakan sejumlah catatan kritis. Bawaslu dalam evaluasi awal Pemilu 2024 menyoroti bug sistem, gangguan server (downtime) pada puncak proses unggahan, serta potensi ketidakakuratan hasil pembacaan OCR di beberapa daerah. Sejumlah pengamat teknologi dan pemilu juga menilai bahwa Sirekap masih memerlukan mekanisme audit publik dan keamanan data yang lebih kuat, terutama untuk mencegah potensi manipulasi melalui unggahan atau perubahan data sebelum verifikasi.

Sabar Menanti Pertolongan Allah

Kritik serupa juga datang dari masyarakat sipil dan pemantau independen seperti Perludem dan Netgrit, yang menilai bahwa sistem ini sudah berada di jalur yang tepat dalam membangun budaya keterbukaan, tetapi belum sepenuhnya menjamin integritas data digital. Di sisi lain, KPU menegaskan bahwa semua tahapan unggahan dan rekapitulasi tetap diverifikasi secara berlapis oleh petugas, serta bahwa hasil Sirekap hanyalah alat bantu transparansi, bukan hasil final resmi.

Dengan kata lain, dari Situng ke Sirekap, Indonesia telah melangkah jauh dalam menata wajah baru transparansi pemilu digital. Namun, di tengah kompleksitas sistem, publik masih menunggu satu hal yang paling mendasar: keyakinan bahwa setiap angka yang muncul di layar gawai benar-benar mencerminkan suara rakyat yang sah.

Menjaga Integritas: Antara Keterbukaan dan Keamanan Siber

Dalam demokrasi digital, keterbukaan data pemilu adalah jantung kepercayaan publik , tetapi di balik itu berdenyut pula ancaman besar terhadap keamanan siber. KPU dan Bawaslu kini menghadapi dilema klasik era digital: bagaimana menjamin transparansi tanpa membuka celah bagi manipulasi, peretasan, atau kebocoran data pribadi pemilih. Semakin tinggi tingkat keterbukaan data, semakin besar pula risiko yang harus diantisipasi. Dalam konteks inilah, integritas data pemilu bukan lagi semata urusan moral dan teknis, melainkan juga isu strategis keamanan nasional.

Data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan bahwa selama periode Pemilu 2024, tercatat lebih dari 20 juta serangan siber yang menargetkan infrastruktur digital pemerintahan, termasuk domain yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu. Jenis serangan yang terdeteksi bervariasi mulai dari phishing, DDoS (Distributed Denial of Service), hingga upaya eksploitasi sistem database. Lonjakan serangan ini menunjukkan bahwa setiap momentum politik besar selalu diikuti oleh peningkatan aktivitas digital yang mencoba menembus lapisan keamanan negara.

KPU sendiri menyadari besarnya ancaman ini dan mengembangkan beberapa protokol keamanan digital berlapis. Dalam Pemilu 2024, KPU bekerja sama dengan BSSN dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk melakukan pemantauan real-time terhadap trafik siber, serta menerapkan cloud security system yang memiliki lapisan enkripsi dan redundansi data. Selain itu, sistem Sirekap juga dijalankan dengan mekanisme audit digital dan backup data untuk memastikan tidak ada perubahan atau kehilangan data selama proses unggah berlangsung. Langkah ini menjadi bagian dari komitmen KPU untuk menyeimbangkan transparansi publik dengan keamanan sistemik.

Kecewa dan Makna Sebuah Perjuangan

Namun, meski perlindungan telah diperkuat, kekhawatiran publik tetap mengemuka. Sejumlah pegiat demokrasi digital menilai bahwa transparansi tanpa kejelasan mekanisme keamanan justru bisa menjadi bumerang. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, dalam salah satu forum publik menyatakan bahwa “Keterbukaan data harus disertai tata kelola keamanan yang akuntabel. Bukan hanya agar publik percaya, tetapi agar hasil pemilu tidak bisa diintervensi oleh kekuatan di luar sistem.” Sementara itu, lembaga pemantau digital seperti Kode Inisiatif menekankan perlunya audit independen atas sistem informasi pemilu, terutama terhadap sistem Sirekap dan basis data pemilih, guna memastikan bahwa transparansi digital tidak berujung pada kompromi terhadap privasi dan integritas data.

Persimpangan antara keterbukaan dan keamanan inilah yang menjadi ujian besar bagi demokrasi digital Indonesia. Di satu sisi, publik menuntut akses terbuka dan transparan terhadap setiap proses dan hasil pemilu. Di sisi lain, penyelenggara pemilu dituntut menjaga kerahasiaan dan keutuhan data dari ancaman siber yang semakin canggih. Menjaga keseimbangan keduanya bukan sekadar urusan teknis, melainkan juga bagian dari upaya mempertahankan legitimasi demokrasi di tengah lanskap politik yang kian terdigitalisasi dan rentan terhadap intervensi siber global.

Peran Bawaslu dalam Pengawasan Data dan Informasi

Jika KPU adalah tangan penyelenggara, maka Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) adalah mata dan telinga publik dalam memastikan setiap proses berjalan jujur, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam konteks pengelolaan data dan informasi pemilu, peran Bawaslu menjadi semakin krusial di era digital. Keterbukaan informasi memang penting, namun tanpa pengawasan yang kuat, keterbukaan itu bisa berubah menjadi celah bagi distorsi data, penyalahgunaan informasi, hingga disinformasi yang merusak kepercayaan publik. Untuk menjawab tantangan tersebut, Bawaslu telah mengembangkan sejumlah inovasi digital dalam sistem pengawasan.

Dua platform utama yang menjadi andalan adalah Sistem Informasi Penanganan Pelanggaran (SiGapLapor) dan Siwaslu Online. Melalui SiGapLapor, masyarakat dan pengawas di lapangan dapat melaporkan dugaan pelanggaran secara langsung, lengkap dengan bukti digital seperti foto atau video, yang kemudian diverifikasi oleh petugas. Sedangkan Siwaslu Online berfungsi sebagai platform pemantauan terpadu yang menghubungkan laporan pengawas di seluruh daerah secara real-time dengan pusat data nasional Bawaslu. Kedua sistem ini menjadikan pengawasan lebih cepat, terstruktur, dan akuntabel, terutama dalam konteks pengelolaan data hasil pemilu berbasis digital.

Selama Pemilu 2024, Bawaslu mencatat sekitar 3.000 laporan masyarakat yang berkaitan dengan penggunaan Sirekap, di mana sekitar 60% di antaranya berhubungan dengan dugaan ketidaksesuaian data digital. Isu-isu yang paling banyak muncul antara lain perbedaan hasil unggahan foto plano dengan rekap manual, kesalahan pembacaan OCR, serta keterlambatan tampilan data di situs publik. Untuk merespons laporan tersebut, Bawaslu melakukan klarifikasi publik dan audit digital terhadap beberapa wilayah yang datanya dianggap bermasalah. Dalam beberapa kasus, Bawaslu juga menggelar mediasi antara pengawas, saksi, dan penyelenggara pemilu setempat guna memastikan kesalahan teknis tidak disalahartikan sebagai pelanggaran yang bersifat sistemik.

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa Bawaslu tidak hanya berfungsi sebagai pengawas prosedural, tetapi juga sebagai penjaga integritas informasi pemilu. Melalui pendekatan berbasis data dan transparansi publik, lembaga ini berupaya menutup celah disinformasi yang seringkali muncul di media sosial maupun ruang digital. Selain itu, dengan adanya audit digital dan laporan terbuka, publik dapat melihat bagaimana lembaga pengawas bekerja bukan hanya dalam mengawasi proses fisik di TPS, tetapi juga dalam menjamin keamanan dan kebenaran data digital pemilu.

Ke depan, peran Bawaslu dalam menjaga integritas data pemilu akan semakin strategis. Kolaborasi dengan lembaga seperti BSSN, Kominfo, dan lembaga riset independen perlu diperkuat untuk menciptakan sistem pengawasan yang adaptif terhadap ancaman digital. Dengan begitu, keterbukaan informasi publik yang dijamin oleh undang-undang dapat benar-benar bermakna: terbuka untuk diawasi, namun tetap terlindungi dari manipulasi.

Publik sebagai Pengawas: Partisipasi Digital dalam Pemilu

Jika dulu pengawasan pemilu dilakukan lewat laporan tertulis dan pantauan manual, kini jutaan warga Indonesia berubah menjadi “relawan digital demokrasi” yang memantau jalannya pemilu melalui layar ponsel. Di era media sosial, publik bukan lagi sekadar penerima informasi, melainkan produsen dan verifikator data politik yang aktif membagikan, memeriksa, bahkan mengoreksi hasil penghitungan suara. Fenomena ini menciptakan bentuk baru dari partisipasi politik partisipasi digital yang menempatkan publik sebagai bagian langsung dari sistem pengawasan pemilu.

Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo, 2024), selama periode Pemilu 2024 terdapat lebih dari 12 juta unggahan publik di media sosial menggunakan tagar seperti #PantauPemilu2024, #C1asli, dan #JagaSuaraRakyat. Gelombang unggahan ini memperlihatkan betapa kuatnya semangat publik untuk memastikan proses pemilu berlangsung jujur dan transparan. Banyak di antara mereka mengunggah foto hasil plano dari TPS, membandingkan data dengan yang muncul di Sirekap, atau menyebarkan informasi hasil rekapitulasi versi masyarakat sipil.

Dalam konteks ini, peran lembaga nonpemerintah menjadi sangat signifikan. Inisiatif seperti KawalPemilu, Perludem, dan CekFakta telah berkontribusi besar dalam mengolah data publik dan memverifikasi kebenaran informasi. KawalPemilu, misalnya, berhasil membangun sistem berbasis crowdsourcing yang menghimpun ribuan foto formulir hasil penghitungan suara dari para relawan di seluruh Indonesia. Data tersebut digunakan untuk membandingkan hasil publikasi KPU dan mendeteksi potensi kesalahan atau ketidaksesuaian. Sementara itu, Perludem berperan aktif dalam memberikan pendidikan digital politik, mengajarkan masyarakat cara membaca data pemilu dengan benar. Di sisi lain, CekFakta kolaborasi antara media dan organisasi masyarakat sipil berfungsi sebagai benteng terakhir melawan disinformasi pemilu, terutama menjelang dan setelah pengumuman hasil.

Namun, partisipasi digital yang tinggi juga menghadirkan paradoks. Semangat keterbukaan publik sering kali justru menjadi pintu masuk bagi penyebaran disinformasi baru. Banyak unggahan di media sosial yang memuat data tidak lengkap atau diambil di luar konteks, sehingga menimbulkan persepsi keliru terhadap hasil pemilu. Beberapa unggahan bahkan sengaja dimanipulasi untuk membangun narasi delegitimasi terhadap penyelenggara pemilu. Fenomena ini menunjukkan bahwa transparansi tanpa literasi digital dapat menjadi pedang bermata dua memperkuat kepercayaan publik di satu sisi, namun berpotensi menciptakan kebingungan dan polarisasi di sisi lain.

Meski demikian, tidak dapat disangkal bahwa partisipasi digital masyarakat telah mengubah wajah pengawasan pemilu di Indonesia. Keaktifan publik dalam memantau, mengunggah, dan mendiskusikan data pemilu secara terbuka menjadi sumber tekanan positif bagi lembaga penyelenggara untuk terus meningkatkan akurasi, kecepatan, dan keterbukaan informasi. Demokrasi digital pada akhirnya bukan hanya tentang teknologi, melainkan tentang kolaborasi antara negara dan warga dalam memastikan bahwa suara rakyat secara fisik maupun digital benar-benar dihitung dan dihormati.

Membangun Ekosistem Data Pemilu yang Kredibel

Di tengah upaya menuju demokrasi yang semakin transparan, ekosistem data pemilu Indonesia masih menghadapi tantangan mendasar: menjaga keseimbangan antara keterbukaan, keamanan, dan kepercayaan publik. Transformasi digital melalui sistem seperti Sirekap dan inisiatif partisipasi publik memang telah membuka jalan bagi transparansi yang lebih luas. Namun, sejumlah persoalan mulai dari kerentanan keamanan siber, rendahnya literasi digital, hingga belum seragamnya standar keterbukaan data menandakan bahwa perjalanan menuju ekosistem data pemilu yang kredibel belum selesai.

Pertama, audit keamanan independen pasca-pemilu perlu menjadi agenda wajib. Pengawasan internal KPU dan Bawaslu belum cukup untuk menjamin keutuhan sistem digital, karena ancaman terhadap data sering kali bersifat laten dan kompleks. Audit oleh lembaga independen yang melibatkan pakar keamanan siber, akademisi, dan masyarakat sipil dapat memberikan evaluasi objektif terhadap integritas sistem, sekaligus menjadi ruang pembelajaran publik. Langkah ini bukan sekadar teknis, tetapi juga simbol akuntabilitas demokrasi digital.

Kedua, penting untuk menerapkan standarisasi open data pemilu yang bisa diakses dan dianalisis oleh publik dengan mudah dan aman. Selama ini, publikasi data pemilu sering kali masih bersifat fragmentaris atau sulit diolah karena perbedaan format dan mekanisme akses. Standar terbuka, seperti machine-readable format atau API publik, akan memungkinkan jurnalis data, peneliti, dan pemantau independen turut serta menjaga akurasi hasil. Dengan demikian, transparansi tidak berhenti di publikasi data, tetapi berlanjut pada kolaborasi analisis publik yang berbasis bukti.

Ketiga, edukasi literasi digital bagi pemilih dan penyelenggara menjadi keharusan. Tingginya partisipasi digital publik, sebagaimana tercermin dari jutaan unggahan dengan tagar #PantauPemilu2024, perlu diimbangi dengan kemampuan masyarakat dalam memahami konteks dan validitas data. Begitu pula bagi petugas pemilu, literasi digital diperlukan agar setiap proses unggahan, verifikasi, dan publikasi data dilakukan secara cermat dan berintegritas. Tanpa fondasi literasi digital yang kuat, keterbukaan data justru dapat menjadi sumber disinformasi baru.

Keempat, dibutuhkan kolaborasi multistakeholder yang lebih solid. KPU tidak bisa berjalan sendiri. Keterlibatan Bawaslu, BSSN, Kominfo, lembaga masyarakat sipil, dan media harus diformalkan dalam kerangka kerja bersama untuk memastikan keamanan, transparansi, dan keandalan sistem informasi pemilu. Kolaborasi ini dapat melahirkan pusat koordinasi keamanan data pemilu nasional, yang bertugas melakukan pemantauan lintas lembaga dan menangani insiden siber secara cepat dan terintegrasi.

Pada akhirnya, kredibilitas data pemilu adalah fondasi kepercayaan publik terhadap demokrasi. Di era digital, suara rakyat tidak berhenti di bilik suara, tetapi terus bergema melalui sistem informasi yang mengelola, menampilkan, dan mengamankan hasilnya. Transparansi tanpa integritas hanya akan melahirkan kecurigaan; sebaliknya, keamanan tanpa keterbukaan akan melahirkan ketertutupan. Maka, membangun ekosistem data pemilu yang kredibel berarti menegakkan demokrasi yang cerdas, terbuka, dan tahan terhadap manipulasi demokrasi yang tidak hanya dihitung, tetapi juga dipercaya.

 

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.