CM Corner
Beranda » Berita » Setelah Euforia Pilkada: Mengukur Kualitas Konsolidasi Demokrasi Lokal

Setelah Euforia Pilkada: Mengukur Kualitas Konsolidasi Demokrasi Lokal

Ilustrasi Gambar Election

SURAU.CO – Demokrasi Indonesia tampak semarak setiap kali pilkada digelar. Spanduk terpasang di setiap sudut kota, media menyiarkan debat kandidat, dan warga berbondong menuju TPS dengan antusias. Namun di balik gegap gempita itu, tersisa pertanyaan yang lebih tenang namun mendesak: apakah demokrasi kita benar-benar tumbuh, atau hanya sekadar dirayakan setiap lima tahun sekali?

Euforia Usai Pesta Demokrasi: Antara Kemenangan dan Kejenuhan Politik

Pilkada Serentak 2024 kembali menegaskan betapa kuatnya tradisi elektoral di Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke, masyarakat merayakan pesta demokrasi dengan gegap gempita spanduk kemenangan terpampang di jalan-jalan, media sosial dipenuhi unggahan ucapan syukur dan deklarasi politik, sementara para relawan merayakan hasil perhitungan cepat seolah menjadi simbol kemenangan rakyat. Euforia kemenangan begitu terasa, memperlihatkan bahwa momentum pemilihan kepala daerah masih menjadi perayaan partisipatif yang mampu menyatukan energi politik lokal.

Namun di balik gegap gempita itu, kejenuhan politik mulai merayap pelan. Setelah pesta demokrasi usai, ruang publik kembali sunyi, dan semangat partisipasi yang membara selama masa kampanye seolah padam begitu hasil resmi diumumkan. Fenomena ini bukan hal baru, tetapi semakin mencolok pada Pilkada 2024 yang melibatkan 514 daerah terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 62 kota, dengan tingkat partisipasi mencapai 77,9% (KPU, 2024). Angka yang tampak menggembirakan itu menyimpan ironi: tingginya partisipasi tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas demokrasi.

Banyak pemilih yang kembali apatis setelah bilik suara ditutup, merasa tugas mereka telah selesai hanya dengan mencoblos. Kejenuhan politik publik juga terlihat dari meningkatnya ekspresi skeptisisme di media sosial. Di antara ucapan selamat dan foto-foto kemenangan, muncul pula komentar sinis tentang janji politik yang akan segera dilupakan. Ini menandakan bahwa bagi sebagian warga, Pilkada hanyalah ritual elektoral lima tahunan, bukan proses panjang menuju tata kelola pemerintahan yang lebih akuntabel. Demokrasi lokal memang hidup secara prosedural, tetapi belum tentu tumbuh secara substantif.

Dalam konteks ini, pertanyaan besar pun mengemuka: apakah euforia demokrasi lokal dapat berlanjut menjadi konsolidasi politik yang matang? Ataukah pesta Pilkada hanya menjadi siklus harapan dan kekecewaan yang terus berulang? Inilah tantangan utama pasca-pilkada bagaimana menjaga agar energi partisipatif warga tidak berhenti di hari pencoblosan, tetapi bertransformasi menjadi pengawasan, dialog, dan keterlibatan berkelanjutan dalam pembangunan daerah.

Ilusi yang Menghambat Majunya Pendidikan Indonesia

Ukurannya Apa? Memahami Indikator Konsolidasi Demokrasi Lokal

Setelah hiruk-pikuk Pilkada mereda, pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana kita menilai kematangan demokrasi lokal? Tidak cukup hanya melihat tingginya angka partisipasi atau lancarnya pelaksanaan teknis pemungutan suara. Menurut Larry Diamond dan Andreas Schedler, konsolidasi demokrasi mencakup empat indikator utama: stabilitas institusi politik, akuntabilitas publik, partisipasi warga yang berkelanjutan, serta kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu dan lembaga penyelenggaranya. Demokrasi dianggap terkonsolidasi ketika aturan main politik diterima oleh semua aktor, mekanisme akuntabilitas berjalan, dan warga tetap terlibat aktif di luar musim kampanye.

Namun, jika menilik data empiris terbaru, demokrasi lokal Indonesia tampak masih berjalan di tempat. Survei LSI (2024) menunjukkan bahwa hanya 53% warga percaya Pilkada berlangsung jujur dan adil, sementara sisanya merasa masih ada praktik manipulatif, politik uang, atau tekanan birokrasi. Kepercayaan publik yang menurun ini menunjukkan bahwa meski proses pemilu semakin modern dan transparan secara teknis, legitimasi moral dan sosial dari hasilnya belum sepenuhnya kuat. Sementara itu, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) versi BPS tahun 2023 berada di angka 74,5, stagnan dalam kategori “sedang” selama tiga tahun terakhir. Stagnasi ini menandakan belum adanya lompatan signifikan dalam kualitas kebebasan sipil, lembaga politik, maupun partisipasi publik yang substantif.

Dalam praktiknya, banyak daerah masih terjebak dalam fenomena yang oleh para peneliti disebut “elite capture” situasi di mana kekuasaan politik hanya berputar di lingkaran elit yang sama, sering kali dengan hubungan kekerabatan atau patronase ekonomi. Pilkada, yang seharusnya menjadi ajang sirkulasi kepemimpinan, justru kerap melahirkan regenerasi semu. Di tingkat lokal, kemenangan kandidat sering kali lebih ditentukan oleh jaringan kekuasaan dan sumber daya, bukan oleh kualitas gagasan atau rekam jejak kepemimpinan.

Konsolidasi demokrasi sejati seharusnya ditandai oleh perubahan budaya politik, bukan sekadar pergantian figur. Ketika warga tidak hanya memilih, tetapi juga menuntut akuntabilitas; ketika lembaga daerah tidak hanya mengelola kekuasaan, tetapi juga membangun kepercayaan; dan ketika politik lokal tidak lagi menjadi arena eksklusif elit, tetapi ruang dialog partisipatif bagi masyarakat luas barulah demokrasi lokal Indonesia bisa dikatakan benar-benar matang.

Sengketa dan Legitimasi: Ketika Pemenang Belum Diterima

Euforia kemenangan Pilkada sering kali diiringi dengan bayang-bayang sengketa hasil. Setelah Pilkada Serentak 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi panggung utama bagi para pihak yang tidak puas dengan hasil rekapitulasi suara. Data MK menunjukkan adanya 158 permohonan sengketa hasil Pilkada 2024, meningkat dari 136 kasus pada Pilkada 2020. Kenaikan ini menunjukkan bahwa, meski sistem digitalisasi pemilu seperti Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) semakin disempurnakan, legitimasi hasil Pilkada di sejumlah daerah masih dipertanyakan.

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Tipologi sengketa yang diajukan ke MK pun beragam. Sebagian besar kasus muncul karena selisih tipis perolehan suara, yang sering kali hanya berbeda beberapa ratus hingga ribuan suara. Namun, tidak sedikit pula yang menyangkut tuduhan politik uang, mobilisasi aparatur sipil negara, hingga manipulasi data rekapitulasi elektronik (Sirekap). Pola yang berulang ini mengindikasikan dua hal: pertama, adanya ketegangan antara inovasi teknologi pemilu dan kesiapan sistem pengawasan yang memadai; kedua, masih kuatnya politik transaksional dan kecurigaan publik terhadap integritas penyelenggara.

Tingginya jumlah sengketa bukan semata persoalan hukum elektoral, melainkan cermin dari krisis legitimasi politik di tingkat lokal. Dalam banyak kasus, pihak yang kalah tidak hanya menggugat perolehan suara, tetapi juga menggugat keadilan prosedural: bagaimana proses rekapitulasi dilakukan, siapa yang mengawasi, dan sejauh mana akses publik terhadap data pemilu benar-benar terbuka. Ketika kepercayaan publik terhadap hasil pemilu goyah, maka stabilitas pemerintahan daerah pun ikut terancam karena pemenang yang tidak diterima sulit membangun basis legitimasi sosial yang kuat di tengah masyarakatnya.

Dalam konteks ini, peran Bawaslu menjadi sangat krusial. Lembaga ini bukan sekadar penjaga aturan, tetapi juga penjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi lokal. Upaya Bawaslu memperkuat pengawasan partisipatif, memperluas kanal pelaporan masyarakat, serta meningkatkan kapasitas penanganan pelanggaran menjadi fondasi penting untuk mengurangi potensi sengketa di masa depan. Selain itu, komunikasi publik yang transparan dan akuntabel dalam setiap tahap rekapitulasi suara harus diperkuat baik oleh KPU maupun Bawaslu agar publik tidak hanya menerima hasil, tetapi juga memahami proses yang melahirkannya.

Dengan demikian, konsolidasi demokrasi lokal tidak bisa hanya diukur dari jumlah daerah yang menyelesaikan sengketa secara hukum, tetapi dari seberapa besar rasa keadilan elektoral yang dirasakan masyarakat. Demokrasi akan matang ketika hasil pemilu tidak lagi sekadar diumumkan, tetapi benar-benar diterima secara sadar dan sukarela oleh semua pihak.

Partisipasi yang Berlanjut: Warga sebagai Pengawas dan Penentu Kebijakan

Pesta demokrasi seharusnya tidak berakhir di tempat pemungutan suara. Dalam demokrasi lokal yang matang, partisipasi warga tidak berhenti di TPS, tetapi berlanjut sebagai pengawasan dan keterlibatan dalam proses pengambilan kebijakan publik. Inilah gagasan participatory follow-up: rakyat bukan hanya pemilih, tetapi juga penjaga janji politik dan mitra pembangunan daerah. Tanpa mekanisme partisipasi lanjutan, Pilkada hanya menjadi ritual lima tahunan tanpa makna substantif bagi kesejahteraan masyarakat.

Akar Yang Merintih, Daun Yang Merangas: Sebuah Risalah Rindu

Sejumlah daerah mulai memperlihatkan praktik baik menuju model demokrasi ini. Di Jawa Tengah, Forum Demokrasi Desa (Fordes) hadir sebagai inisiatif warga yang memantau realisasi janji kampanye bupati terpilih. Melalui platform daring sederhana, masyarakat desa dapat melaporkan capaian maupun kegagalan program kepada pemerintah kabupaten. Di Sulawesi Selatan, program “Warga Bicara, Pemda Mendengar” menjadi ruang aspirasi daring hasil kolaborasi pemerintah daerah dan Bawaslu, yang memungkinkan warga menyampaikan keluhan dan evaluasi kebijakan pasca-Pilkada. Dua contoh ini menunjukkan bahwa demokrasi lokal bisa tumbuh dari bawah ketika inisiatif warga dipertemukan dengan kemauan pemerintah untuk mendengar.

Namun praktik-praktik ini masih pengecualian. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan hanya 27% warga yang merasa memiliki akses memadai untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah daerah. Angka rendah ini mencerminkan jauhnya jarak antara warga dan pengambil kebijakan, serta lemahnya kanal komunikasi publik di tingkat lokal. Di banyak daerah, partisipasi warga masih dianggap selesai setelah pemungutan suara, tanpa ruang untuk memantau atau memberi umpan balik terhadap kinerja kepala daerah terpilih.

Kesenjangan antara hak partisipatif dan akses partisipatif inilah yang menjadi tantangan utama konsolidasi demokrasi lokal. Ketika warga tidak memiliki saluran efektif untuk menyampaikan aspirasi, ruang demokrasi mudah kembali dikuasai elite politik dan birokrasi tertutup. Karena itu, membangun mekanisme partisipasi berkelanjutan—dari forum warga, musyawarah publik daring, hingga dashboard transparansi kebijakan—menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa suara rakyat tidak hanya dihitung saat pemilu, tetapi juga didengar dalam setiap proses pemerintahan.

Pada akhirnya, demokrasi lokal yang sehat tidak diukur dari jumlah pemilih di TPS, tetapi dari sejauh mana warga terus terlibat setelah suara mereka dihitung. Warga yang kritis dan terhubung dengan proses kebijakan adalah tanda bahwa demokrasi bergerak dari sekadar prosedural menuju partisipatif dan substantif.

Oligarki dan Politik Dinasti: Ancaman Laten Demokrasi Daerah

Di balik gegap gempita Pilkada Serentak 2024, bayang-bayang oligarki dan politik dinasti masih menjadi ancaman laten bagi kualitas demokrasi daerah. Pemetaan Perludem (2024) menemukan setidaknya 124 pasangan calon memiliki hubungan keluarga dengan petahana atau mantan kepala daerah. Pola ini muncul tidak hanya di tingkat kabupaten, tetapi juga di provinsi besar seperti Banten, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur. Temuan ini menunjukkan bahwa Pilkada belum sepenuhnya menjadi arena kompetisi gagasan yang terbuka, melainkan wadah reproduksi kekuasaan dalam lingkaran elite lokal.

Politik dinasti melemahkan regenerasi kepemimpinan dan mengurangi insentif bagi munculnya kandidat berkompetensi. Ketika kekuasaan diwariskan melalui hubungan keluarga, bukan kinerja atau visi kebijakan, demokrasi lokal terjebak dalam sirkulasi elite yang tertutup. Kondisi ini menciptakan ketimpangan akses politik, di mana warga tanpa koneksi atau sumber daya besar sulit menembus sistem pencalonan. Ruang partisipasi publik pun menyempit, sementara kompromi antar-elite menguat.

Dimensi ekonomi-politik memperkuat pola tersebut. Di banyak daerah, modal elektoral sangat ditentukan oleh kekuatan finansial dan jaringan birokrasi lokal. Akses pada sumber daya ekonomi, ASN, dan media lokal membuat kandidat dari lingkaran elite memiliki keunggulan struktural yang sulit disaingi. Akibatnya, demokrasi prosedural yang berjalan secara sah dan partisipatif rentan berubah menjadi “oligarki elektoral”, di mana rakyat memilih kandidat yang berasal dari lingkaran kekuasaan yang sama.

Pertanyaan pun muncul: apakah Pilkada benar-benar panggung gagasan, atau hanya rotasi elite lama dengan wajah baru? Ketika hubungan kekerabatan lebih menentukan dibanding kualitas visi, makna demokrasi bergeser dari kontestasi ide menjadi transaksi kepentingan. Dalam jangka panjang, fenomena ini menumpulkan daya kritis masyarakat dan merusak kepercayaan terhadap institusi politik lokal.

Karena itu, konsolidasi demokrasi lokal harus berani menghadapi masalah struktural ini. Reformasi sistem pencalonan, transparansi pendanaan kampanye, serta penguatan pendidikan politik warga menjadi langkah penting untuk memutus dominasi politik dinasti dan oligarki. Demokrasi yang sehat hanya dapat tumbuh jika warga memiliki kesempatan setara untuk berpartisipasi—bukan hanya memilih, tetapi juga mencalonkan, bersuara, dan memimpin.

Evaluasi Penyelenggaraan: Transparansi, Inovasi, dan Pengawasan

Pilkada Serentak 2024 menjadi momentum untuk menilai profesionalitas dan transparansi penyelenggaraan demokrasi lokal. Dari aspek teknis, KPU mencatat peningkatan stabilitas Sirekap dibanding Pemilu 2024. Namun, Bawaslu (2024) menemukan sekitar 3% TPS masih mengalami gangguan teknis seperti error unggahan dan ketidaksesuaian data plano. Meski kecil secara persentase, temuan ini menunjukkan bahwa digitalisasi pemilu masih membutuhkan peningkatan infrastruktur serta kapasitas operator lapangan.

Dari aspek keamanan, Polri (2024) mencatat 95% daerah menyelenggarakan Pilkada dalam kondisi damai tanpa eskalasi konflik berarti. Meski demikian, praktik politik uang, kampanye terselubung, dan pelanggaran administratif tetap muncul terutama pada fase akhir penghitungan suara—menandakan bahwa transparansi dan pengawasan tetap krusial untuk menjaga integritas hasil.

Sejumlah daerah bahkan menunjukkan inovasi menarik. Di Bali, KPU menerapkan green election melalui penggunaan logistik ramah lingkungan dan digitalisasi dokumen. Sementara di Kalimantan Selatan, pemerintah daerah bekerja sama dengan perguruan tinggi mengembangkan e-Monitoring System untuk memantau pelanggaran dan distribusi logistik secara real-time. Inovasi semacam ini membuktikan bahwa demokrasi lokal bisa berjalan lebih efisien, berkelanjutan, dan adaptif terhadap teknologi.

Namun inovasi teknis tidak otomatis menjamin demokrasi substantif. Profesionalitas penyelenggara, integritas data, serta akuntabilitas pengawasan tetap menjadi penentu apakah Pilkada benar-benar mencerminkan kehendak rakyat. Transparansi digital seperti Sirekap perlu ditopang audit independen dan pelatihan etika data, agar justru tidak melahirkan kecurigaan baru.

Pada akhirnya, evaluasi Pilkada Serentak 2024 menegaskan bahwa demokrasi lokal sedang bergerak ke arah yang lebih modern, tetapi tetap membutuhkan penyelarasan antara teknologi, integritas manusia, dan kepercayaan publik. Tanpa tiga elemen ini, Pilkada akan berakhir sebagai ritual elektoral yang efisien secara teknis, tetapi kosong secara makna demokratis.

Menuju Demokrasi Lokal yang Substantif

Konsolidasi demokrasi lokal sejatinya tidak dapat diukur semata dari angka partisipasi pemilih atau ketertiban pelaksanaan Pilkada, melainkan dari sejauh mana hasilnya mampu memperkuat kepercayaan publik dan partisipasi warga setelah pemilihan selesai. Demokrasi lokal yang substantif adalah demokrasi yang hidup dalam ruang keseharian masyarakatketika warga tidak hanya memilih, tetapi juga terlibat dalam mengawal kebijakan, mengawasi kinerja kepala daerah, dan memastikan janji-janji politik diterjemahkan menjadi kebijakan publik yang nyata. Setelah euforia pesta demokrasi usai, yang tersisa seharusnya bukan kejenuhan, melainkan komitmen bersama untuk terus membangun tata kelola pemerintahan yang terbuka dan responsif.

Untuk menuju ke arah itu, sejumlah langkah kebijakan perlu segera diimplementasikan. Pertama, perlu dibentuk Local Accountability Forums di setiap daerah pasca Pilkada, yakni wadah formal maupun semi-formal yang memungkinkan masyarakat, akademisi, dan lembaga pengawas untuk menilai capaian kinerja kepala daerah secara periodik. Forum ini menjadi jembatan antara pemerintah lokal dan warga, memperkuat mekanisme akuntabilitas publik berbasis data dan partisipasi. Kedua, pendidikan politik dan literasi demokrasi warga harus diperkuat, tidak hanya menjelang masa pemilu, tetapi sepanjang masa jabatan kepala daerah. Pendidikan politik yang berkelanjutan akan membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap isu kebijakan publik, bukan sekadar terhadap simbol dan figur politik.

Ketiga, politik dinasti perlu diminimalisir melalui penegakan regulasi internal partai politik yang lebih ketat dan transparan dalam proses rekrutmen calon kepala daerah. Reformasi internal partai adalah kunci agar kompetisi politik di tingkat lokal tidak didominasi oleh keluarga atau elite lama, melainkan membuka ruang bagi lahirnya pemimpin baru dengan basis meritokrasi dan rekam jejak pengabdian publik. Pada akhirnya, demokrasi lokal yang substantif menuntut lebih dari sekadar keberulangan proses elektoral. Ia membutuhkan keberanian institusional untuk berbenah, dan kesadaran warga untuk terus mengawal hasil pemilihan hingga pada tahap implementasi kebijakan.

 

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.