SURAU.CO – Demokrasi Indonesia sering kali diukur lewat angka partisipasi. Setiap kali pilkada usai, kita bertepuk tangan untuk persentase pemilih yang tinggi seolah-olah angka itu cukup membuktikan kedewasaan politik rakyat. Namun, apakah benar hadir di TPS sudah cukup untuk disebut berdaulat? Di balik angka yang tampak menggembirakan, bisa jadi tersembunyi kerapuhan kesadaran politik dan lemahnya akuntabilitas pasca-kemenangan.
Dari Menang Pemilu ke Mengelola Amanah
Kemenangan dalam Pilkada Serentak 2024 hanyalah bab pembuka dari kisah panjang demokrasi lokal. Setelah euforia pesta politik meredabaliho kemenangan diturunkan, arak-arakan pendukung dibubarkan, dan media sosial kembali tenangpertanyaan mendasar pun muncul: apakah para kepala daerah terpilih benar-benar siap mengelola amanah rakyat yang telah mereka menangi di bilik suara? Demokrasi sejatinya tidak berhenti di hari pemungutan suara; ia baru dimulai ketika hasil pemilihan diuji dalam praktik pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU RI, 2024) menunjukkan bahwa Pilkada Serentak 2024 diikuti oleh 545 daerahmeliputi 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 92 kotadengan tingkat partisipasi pemilih mencapai 78,2%. Angka ini menunjukkan antusiasme publik yang masih cukup tinggi dalam memilih pemimpin daerahnya. Namun di balik angka yang menggembirakan itu, tersimpan pertanyaan yang lebih dalam: apakah partisipasi tersebut benar-benar mencerminkan kesadaran politik yang matang atau sekadar ritual elektoral lima tahunan? Fenomena menarik dalam Pilkada 2024 adalah munculnya gelombang kepala daerah muda dengan latar belakang aktivis, profesional, atau politisi lokal yang relatif baru.
Mereka membawa semangat segar dan gaya komunikasi digital yang dekat dengan publik. Namun, publik juga masih menyimpan skeptisisme terhadap konsistensi janji kampanye yang sering kali memudar setelah euforia kemenangan. Banyak pemilih mulai menilai bahwa kemenangan kandidat bukanlah akhir dari perjuangan demokrasi, melainkan awal dari ujian integritas dan kepemimpinan yang sesungguhnya.
Kemenangan dalam pemilu hanyalah mandat; sedangkan mengelola amanah adalah tanggung jawab moral dan politik yang jauh lebih berat. Dalam konteks ini, partisipasi rakyat tidak boleh diartikan sebatas kehadiran di TPS, tetapi juga dalam bentuk pengawasan, partisipasi deliberatif, dan keterlibatan aktif dalam kebijakan publik pasca pemilu. Sebab, demokrasi sejati bukan hanya tentang siapa yang menang, tetapi bagaimana kekuasaan digunakan untuk melayani yang memilih.
Akuntabilitas: Konsep yang Kerap Terlupakan Setelah Kemenangan
Di tengah gegap gempita kemenangan politik, akuntabilitas kerap menjadi konsep yang terlupakanpadahal ia merupakan fondasi utama dari tata kelola pemerintahan yang demokratis. Menurut Bovens (2007) dalam teori governance, akuntabilitas publik mencakup tiga dimensi utama: transparansi, yakni keterbukaan informasi agar publik dapat menilai kinerja pejabat publik; responsibilitas, yaitu kesediaan untuk bertindak sesuai norma dan kewenangan yang sah; serta answerability, kemampuan untuk memberikan jawaban dan pertanggungjawaban atas keputusan yang diambil.
Tanpa tiga elemen ini, kemenangan dalam pemilu hanya menjadi simbol kekuasaan, bukan mandat pelayanan. Sayangnya, praktik demokrasi di tingkat lokal masih sering memperlihatkan paradoks: banyak kepala daerah yang menganggap kemenangan elektoral sebagai “cek kosong” legitimasi politik. Mereka merasa memiliki legitimasi penuh untuk memerintah tanpa harus terus-menerus mempertanggungjawabkan kebijakan dan keputusan yang diambil.
Padahal, mandat rakyat bersifat periodik dan bersyarat ia menuntut keterbukaan dalam penggunaan anggaran, kejujuran dalam pengambilan keputusan, serta kesediaan untuk dikritik. Dalam konteks ini, Lembaga Administrasi Negara (2024) mengingatkan, “Legitimasi elektoral tidak otomatis menjamin akuntabilitas pemerintahan.”
Peringatan itu bukan tanpa alasan. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, 2023) menunjukkan fakta mencemaskan: sekitar 82% kepala daerah di Indonesia pernah diperiksa karena dugaan pelanggaran etika, maladministrasi, atau korupsi selama masa jabatannya. Angka ini menggambarkan betapa rentannya integritas pejabat publik terhadap godaan kekuasaan dan lemahnya sistem pengawasan di daerah.
Kecenderungan tersebut memperlihatkan bahwa sebagian kepala daerah gagal memahami esensi akuntabilitas sebagai proses dialog berkelanjutan antara pemerintah dan rakyat, bukan sekadar kewajiban administratif. Dalam demokrasi yang sehat, kepala daerah seharusnya tidak hanya “melaporkan hasil”, tetapi juga membuka ruang partisipasi publik dalam evaluasi dan perencanaan kebijakan. Ketika akuntabilitas dipahami secara substantif, maka demokrasi lokal tidak lagi berhenti pada angka partisipasi pemilih, tetapi tumbuh menjadi budaya kepercayaan dan keterbukaan antara pemimpin dan yang dipimpin.
Data Kinerja Kepala Daerah: Antara Capaian dan Anomali
Euforia kemenangan politik sering kali menutupi kenyataan pahit: tidak semua kepala daerah mampu mengonversi legitimasi elektoral menjadi kinerja yang nyata dan terukur. Berdasarkan Laporan Kinerja Pemerintah Daerah 2023–2024 yang dirilis Kementerian Dalam Negeri, hanya 56% pemerintah daerah yang berhasil mencapai standar Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dengan nilai minimal “B”. Artinya, hampir separuh daerah di Indonesia masih tertinggal dalam tata kelola berbasis hasil (performance-based governance), yang seharusnya menjadi indikator utama akuntabilitas pasca-pemilihan.
Kesenjangan regional juga terlihat cukup mencolok. Dari 34 provinsi, terdapat 7 provinsi yang masih berstatus “CC” atau rendahmayoritas berada di wilayah timur Indonesia, di mana kapasitas birokrasi, infrastruktur, dan kualitas SDM belum sepenuhnya mendukung implementasi sistem akuntabilitas publik. Data ini memperlihatkan bahwa demokrasi elektoral belum otomatis berbanding lurus dengan demokrasi administratif.
Lebih lanjut, Indeks Integritas Publik (KPK, 2024) juga mencatat tren penurunan: nilai rata-rata nasional hanya 67,8, menurun dari 69,3 pada tahun sebelumnya. Penurunan ini mengindikasikan menurunnya kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan di tingkat lokal, terutama dalam hal transparansi pengadaan, pelayanan publik, dan pelibatan warga dalam proses kebijakan.
Ironisnya, banyak kepala daerah justru lebih fokus pada branding politik ketimbang perbaikan tata kelola. Aktivitas di media sosial meningkat, tetapi laporan kinerja, transparansi anggaran, dan partisipasi publik kerap diabaikan. Fenomena ini menegaskan paradoks demokrasi lokal Indonesia: kepala daerah bisa populer, tetapi tidak selalu akuntabel. Dalam konteks inilah, partisipasi pemilih yang tinggi belum tentu menjadi indikator keberhasilan demokrasi, melainkan bisa menjadi cermin dari ilusi legitimasi tanpa substansi.
Politik Balas Budi dan Tantangan Etika Kekuasaan
Setiap kemenangan politik membawa konsekuensi, dan di tingkat lokal, konsekuensi itu sering kali menjelma dalam bentuk political repayment praktik balas jasa kepada tim sukses, elite partai, atau sponsor ekonomi yang membantu dalam proses pemenangan. Fenomena ini menjadi wajah lain dari demokrasi elektoral yang dangkal: ketika suara rakyat menjadi legitimasi, tetapi keputusan pasca-pemilihan ditentukan oleh kalkulasi tim pemenangan dan kepentingan patronase. Kemenangan di bilik suara tak jarang diikuti oleh “transaksi politik” yang berlangsung di balik meja kekuasaan.
Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) memperkuat kenyataan tersebut. Dalam lima tahun terakhir, sekitar 38% kasus korupsi kepala daerah berkaitan langsung dengan praktik gratifikasi jabatan dan proyek infrastruktur pasca-pemilihan. Angka ini menggambarkan bahwa hubungan antara politik uang, balas jasa, dan kebijakan publik masih menjadi lingkaran setan yang sulit diputus. Banyak kepala daerah terjebak dalam dilema: menjaga stabilitas politik lokal di satu sisi, tetapi harus menegakkan integritas birokrasi di sisi lain.
Salah satu pola yang paling nyata muncul dalam bentuk mutasi pejabat eselon segera setelah pelantikan kepala daerah baru. Alih-alih dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja, rotasi jabatan sering kali berorientasi pada balas jasa politik atau penguatan loyalitas personal. Studi kasus di beberapa daerah menunjukkan bahwa pejabat yang dianggap “tidak mendukung” dalam proses Pilkada dapat digeser tanpa dasar profesional yang jelas. Praktik semacam ini tidak hanya melemahkan sistem meritokrasi, tetapi juga menurunkan moral aparatur sipil negara yang bekerja dengan integritas.
Pada titik ini, demokrasi lokal menghadapi ujian etis yang serius: bagaimana kekuasaan dijalankan tanpa menodai prinsip tanggung jawab moral kepada publik. Ketika loyalitas menggantikan kompetensi, dan kepentingan kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan warga, maka akuntabilitas hanya tinggal formalitas administratif. Demokrasi pun kehilangan maknanya bukan karena rakyat tidak memilih, tetapi karena kekuasaan yang mereka pilih gagal menjaga marwah kepercayaan itu sendiri.
Mekanisme Pengawasan: Antara Regulasi dan Efektivitas
Secara normatif, tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia telah dilengkapi dengan tiga lapis mekanisme pengawasan terhadap kepala daerah. Pertama, pengawasan internal dilakukan oleh Inspektorat Daerah dan diukur melalui Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Mekanisme ini berfungsi memastikan kinerja program berjalan sesuai target dan anggaran.
Kedua, pengawasan eksternal dijalankan oleh lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Ombudsman RI, yang berwenang melakukan pemeriksaan dan penindakan atas pelanggaran administratif maupun tindak pidana korupsi. Ketiga, pengawasan politik dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta diperkuat oleh partisipasi publik melalui media, LSM, dan kelompok masyarakat sipil.
Namun, di tingkat praktik, efektivitas tiga lapis pengawasan tersebut masih jauh dari ideal. Pertama, kapasitas audit dan investigasi di daerah kerap terbatas karena keterbatasan sumber daya manusia, anggaran, dan independensi kelembagaan. Kedua, hubungan politik yang erat antara eksekutif dan legislatif menciptakan mutual dependency, di mana DPRD sering enggan mengkritik kepala daerah karena relasi kepentingan politik atau ekonomi. Ketiga, transparansi laporan publik masih rendah; banyak dokumen kinerja dan keuangan daerah sulit diakses masyarakat, meskipun regulasi keterbukaan informasi telah berlaku.
Data dari Ombudsman RI (2024) memperkuat gambaran lemahnya akuntabilitas ini: terdapat 2.118 laporan maladministrasi di tingkat daerah, dengan mayoritas kasus terkait pengadaan barang/jasa dan proses perizinan. Angka tersebut menunjukkan bahwa problem utama bukan pada ketiadaan regulasi, tetapi pada ketidakefektifan pelaksanaannya. Mekanisme pengawasan formal berjalan, tetapi tak mampu menembus lapisan kepentingan politik dan birokrasi yang kompleks.
Dalam konteks ini, sistem pengawasan di daerah tampak seperti bangunan megah tanpa pondasi kuat. Ia ada di atas kertas, tetapi sering kali kehilangan daya gigit ketika berhadapan dengan kepentingan politik lokal. Tanpa reformasi pengawasan berbasis transparansi digital, keterlibatan publik, dan independensi lembaga pengawas, demokrasi lokal akan terus berputar dalam siklus formalismedi mana laporan tampak rapi, tetapi praktiknya tetap jauh dari nilai-nilai akuntabilitas yang sejati.
Digitalisasi Pemerintahan Daerah: Peluang untuk Akuntabilitas Baru
Gelombang digitalisasi pemerintahan daerah telah menjadi momentum penting dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas publik. Melalui penerapan e-Government dan integrasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), pemerintah daerah kini memiliki instrumen untuk meningkatkan efisiensi, keterbukaan informasi, dan layanan publik berbasis data. Menurut laporan Kementerian PAN-RB (2024), indeks SPBE nasional mencapai 3,11 dari skala 5, meningkat signifikan dibanding 2,34 pada tahun 2022. Capaian ini menandakan kemajuan yang nyata dalam pemanfaatan teknologi digital sebagai fondasi tata kelola pemerintahan yang lebih terbuka dan responsif.
Sejumlah daerah menjadi pionir dalam transformasi digital ini. DKI Jakarta dengan sistem Jakarta Smart City memungkinkan warga melaporkan masalah lingkungan dan layanan publik secara daring. Jawa Barat menghadirkan Sapa Warga dan Jabar Super Apps yang mempermudah komunikasi dua arah antara masyarakat dan pemerintah. Kabupaten Banyuwangi mengembangkan e-Monitoring System untuk memantau pelaksanaan proyek daerah secara transparan, sementara Kota Semarang menerapkan dashboard kinerja publik yang dapat diakses masyarakat untuk memantau capaian kepala daerah. Semua inovasi ini menunjukkan bahwa teknologi dapat menjadi jembatan antara rakyat sebagai pengawas dan pemerintah sebagai pelaksana mandat publik.
Digitalisasi menghadirkan peluang akuntabilitas baru bukan sekadar laporan administratif, melainkan bentuk keterbukaan yang bisa diverifikasi publik secara real-time. Ketika data program, capaian kinerja, dan alokasi anggaran tersedia secara terbuka, warga dapat mengukur sejauh mana janji kampanye kepala daerah benar-benar diwujudkan. Hal ini sekaligus memperkecil ruang bagi praktik manipulatif atau window dressing dalam pelaporan pemerintahan.
Namun, optimisme ini tetap memerlukan prasyarat: infrastruktur digital yang merata, literasi data warga, dan komitmen politik kepala daerah untuk tidak hanya menjadikan digitalisasi sebagai simbol modernitas, melainkan sebagai sarana kontrol sosial dan pembelajaran publik. Jika dijalankan secara konsisten, digitalisasi bukan hanya soal teknologi, melainkan evolusi menuju akuntabilitas demokratis yang hidup di mana kekuasaan tidak hanya dipantau oleh lembaga formal, tetapi juga oleh warganya sendiri melalui layar yang terhubung dengan data kebenaran.
Membangun Kepala Daerah yang Bertanggung Jawab: Dari Simbol ke Substansi
Kepemimpinan daerah yang berintegritas tidak berhenti pada seremoni pelantikan atau simbol kemenangan politik; ia ditentukan oleh sejauh mana kepala daerah mewujudkan janji dan bersedia diawasi. Dalam konteks pasca-Pilkada, tantangan terbesar bukan lagi soal memenangkan suara, tetapi menjaga kepercayaan publik melalui transparansi, tanggung jawab, dan kesediaan untuk dikritik. Demokrasi lokal akan menemukan maknanya jika hubungan antara pemimpin dan rakyat dibangun di atas kontrak moral yang berkelanjutan bukan sekadar pada momen pemilihan lima tahunan.
Langkah pertama menuju substansi akuntabilitas adalah penerapan kontrak sosial pasca-pilkada, yaitu publikasi resmi janji kampanye dalam bentuk dokumen publik yang dapat dipantau warga. Dokumen ini bersifat politically binding, bukan secara hukum, tetapi sebagai wujud komitmen moral antara kepala daerah dan masyarakat. Selanjutnya, evaluasi tengah masa jabatan (mid-term review) perlu dilembagakan oleh DPRD dan lembaga independen untuk menilai konsistensi realisasi program prioritas daerah. Evaluasi semacam ini tidak hanya menjadi alat kontrol, tetapi juga sarana pembelajaran publik untuk menilai kualitas kepemimpinan daerah.
Selain itu, dibutuhkan platform partisipatif daring yang memungkinkan warga memantau kebijakan, proyek pembangunan, hingga alokasi anggaran daerah secara terbuka. Beberapa kota seperti Bandung dan Surabaya telah menguji inisiatif serupa melalui open data portal dan citizen feedback apps, yang memperkuat hubungan antara warga dan pemerintah dalam kerangka co-governance. Ketika transparansi dikombinasikan dengan interaktivitas, partisipasi warga bukan lagi simbol demokrasi, melainkan fondasi akuntabilitas yang hidup.
Tidak kalah penting, pendidikan politik lokal perlu diperkuat agar warga memahami peran mereka bukan sekadar sebagai pemilih, tetapi sebagai pengawas demokrasi yang aktif. Literasi politik akan menumbuhkan kesadaran kritis bahwa suara rakyat tidak berhenti di TPS, melainkan berlanjut dalam ruang publik dan kebijakan daerah.
Pada akhirnya, kualitas demokrasi lokal ditentukan bukan oleh seberapa tinggi partisipasi pemilih, melainkan oleh seberapa dalam kesadaran tanggung jawab kepala daerah terhadap rakyatnya.
Oleh : Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
