SURAU.CO. Ikhlas adalah menjadi penting dalam beribadah maupun mengerjakan kebaikan. Dalam ikhlas itu bukan sekedar berbuat baik tanpa pamrih, akan tetapi lebih dalam lagi yaitu tentang menjaga hati bahwa setiap amal semata-mata karena Allah SWT. Untuk itu penting memahami arti ikhlas dalam kehidupan karena kunci agar meraih ketenangan, keberkahan, dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Para ulama juga memberikan berbagai pandangannya tentang ikhlas ini,
Menilik Kamus Bahasa Indonesia kata ikhlas sendiri merupakan kata yang memiliki arti ketulusan hati, jujur, dan kerelaan. Dari segi etimologi, ikhlas adalah kemurnian yang tidak tercampur hal yang menjadi tujuan. Sementara pada ajaran sufi keikhlasan adalah suatu yang sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah dari segi niat maupun tindakan.
Setiap kebaikan atau ibadah seperti salat, zakat, puasa, dan haji bisa menjadi sia-sia tanpa keikhlasan. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa ikhlas adalah syarat utama diterimanya amal.
Tiga Tingkatan
Para ulama telah melakukan berbagai kajian tentang ikhlas ini. Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad (Terjemahan), karya Syekh Nawawi al-Bantai mengatakan ada tiga kriteria ikhlas.
Pertama adalah ikhlas tingkatan yang tertinggi. Ikhlas jenis ini adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia). Beribadah hanya menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan. Ibadahnya bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.
Kedua, ikhlas tingkatan menengah Untuk tingkatan ini melakukan amal semata-mata karena Allah. Sedangkan tujuannya adalah agar Allah membagikan balasan ukhrawi, seperti jauh dari siksa neraka, masuk surga dan lain sebagainya. Niat dan motivasi beribadah seperti ini masih masuk sebagai ikhlas. Namun bukan ikhlas yang sesungguh-sungguhnya ikhlas. Ini masih boleh karena Allah dan Rasulullah sangat sering memotivasi para hamba dan umatnya untuk melakukan amalan tertentu dengan iming-iming pahala yang besar dan kenikmatan yang luar biasa.
Tingkat terakhir adalah ketika melakukan amal karena Allah semata dengan harapan supaya mendapat balasan di dunia. Slah satunya adalah luasnya rezeki dan dihindarkan dari hal-hal yang tak disukainya
Ikhlas Menurut Para Sufi
Konsep ikhlas menurut pendapat ulama sufi beragam. Syekh Abu Thalib al-Makki menyebut ikhlas adalah pemurnian agama dari hawa nafsu dan perilaku menyimpang, pemurnian amal dari bermacam-macam penyakit dan noda yang tersembunyi, pemurnian ucapan.
Syekh al-Junaid al Baghdadi mengatakan “Ikhlas adalah Rahasia antara Allah dan hambanya, tidak ada malaikat yang mengetahui dan mencatatnya, tidak ada syetan yang mengetahui dan merusaknya, dan tidak ada hawa nafsu yang mengetahui lalu menyodongkannya”.
Sedangkan imam al-Qusyairi menyebut ikhlas adalah penunggalan al-Haqq dalam mengarahkan semua ketaatannya untuk mendekatkan diri pada Allah semata tanpa yang lain. Selain itu ibadahnya bukan untuk mencari pujian manusia atau makna-makna lain selain pendekatan diri pada Allah.
Syekh Abu Ali ad-Daqaq berkata , “Ikhlas adalah keterpeliharaan diri dari keikut sertaan semumakhluk. shidiq (kebenaran) adalah kebersihan dari penampakan-penampakan diri. beliau mengatakan bahwa orang Ikhlas tidak memiliki riya’ dan orang yang shidiq atau benar tidak akan kagum pada dirinya sendiri.
Tentang Ikhlas ini Dzun Nun al-Mishri berkata: “Ikhlas tidak akan sempurna kecuali dengan kebenaran dan kesabaran di dalam Ikhlas. shiddiq tidak akan sempurna kecuali dengan Ikhlas dan terus menerus di dalam Ikhlas.”
“Barang siapa yang memikat dirinya untuk manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada manusia maka dia gugur dari pandangan Allah,” ungkap Siri as-Saqathi Sementara itu Imam as-Susi menyebut iIkhlas adalah tidak melihat Ikhlas. “Sesungguhnya orang yang menyaksikan dalam keikhlasannya akan ikhlas, maka keikhlasannya memerlukan pada keikhlasan yang lain,” ungkapnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
