CM Corner
Beranda » Berita » Data, Narasi, Dan Demokrasi: Menghadapi Era Disinformasi Pemilu

Data, Narasi, Dan Demokrasi: Menghadapi Era Disinformasi Pemilu

SURAU.CO – Di era digital, kebenaran tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling tahu, tetapi oleh siapa yang paling cepat menyebarkan. Dalam Pemilu 2024, pertempuran politik bukan hanya terjadi di TPS, tetapi juga di ruang algoritma. Di sana, angka berubah menjadi senjata, dan data menjadi alat legitimasi baru.

Era Baru Pemilu di Tengah Ledakan Informasi

Pemilu 2024 menandai babak baru dalam sejarah demokrasi digital Indonesia sebuah kontestasi politik yang tak lagi berlangsung hanya di bilik suara, melainkan juga di ruang algoritma. Untuk pertama kalinya, hampir seluruh proses komunikasi politik, mulai dari kampanye, debat kandidat, hingga penyebaran hasil hitung cepat, berlangsung dalam lanskap media sosial yang masif dan real-time. Kementerian

Komunikasi dan Informatika (Kominfo, 2024) mencatat lebih dari 2,6 juta konten hoaks politik terdeteksi selama masa kampanye, meningkat hampir 40% dibanding Pemilu 2019. Angka ini tidak hanya mencerminkan meningkatnya partisipasi digital, tetapi juga memperlihatkan betapa rapuhnya ekosistem informasi publik di tengah kompetisi elektoral yang semakin ketat.

Di sisi lain, Katadata Insight Center (2024) menemukan bahwa 87% pemilih Indonesia mengakses informasi politik utama melalui media sosial, bukan dari media arus utama seperti televisi atau surat kabar. Pergeseran besar ini menandakan bahwa algoritma platform seperti TikTok, YouTube, dan X (Twitter) kini memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk persepsi publik terhadap kandidat dan hasil pemilu. Namun, banjir data yang beredar tidak otomatis menghadirkan banjir kebenaran. Dalam ruang yang dikendalikan logika engagement, data dan narasi sering kali dipilih bukan karena akurasinya, melainkan karena kemampuannya memicu emosi dan polarisasi.

Fenomena ini melahirkan paradoks demokrasi digital: di satu sisi, keterbukaan informasi memperkuat partisipasi publik; di sisi lain, disinformasi yang dikemas dalam visualisasi data, grafik palsu, dan video manipulatif justru melemahkan legitimasi hasil pemilu. Banyak warganet membangun opini politiknya berdasarkan meme, infografik tidak terverifikasi, atau potongan video rekapitulasi suara yang diedit tanpa konteks. Akibatnya, hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) kerap dipertanyakan bahkan sebelum proses rekapitulasi selesai.

Ilusi yang Menghambat Majunya Pendidikan Indonesia

Era baru pemilu ini menunjukkan bahwa pertarungan politik kini juga adalah pertarungan data dan narasi. Siapa yang mampu mengendalikan persepsi digital, dialah yang berpotensi menguasai opini publik. Namun dalam konteks demokrasi, kemenangan sejati bukanlah siapa yang paling viral, melainkan siapa yang paling bisa dipercaya. Dan untuk itu, Indonesia membutuhkan ekosistem informasi pemilu yang tidak hanya terbuka, tetapi juga tahan terhadap manipulasi dan disinformasi yang mengancam fondasi legitimasi demokrasi itu sendiri.

Dari Fakta ke Narasi: Bagaimana Data Pemilu Dipelintir

Di era digital, data pemilu bukan sekadar angkaia telah menjadi bahan bakar bagi narasi politik yang bisa memperkuat atau justru mengguncang legitimasi demokrasi. Pola disinformasi berbasis data kini semakin canggih, memanfaatkan celah dalam proses komunikasi hasil pemilu untuk membentuk persepsi publik.

Salah satu modus yang paling menonjol adalah pemalsuan dokumen rekapitulasi suara (C1) dan manipulasi visualisasi data hitung cepat yang disebarkan di media sosial dalam bentuk screenshot, infografik, atau video dengan narasi meyakinkan. Klaim-klaim seperti “suara sudah 60% dihitung dan kandidat X unggul jauh” menjadi viral di berbagai platform pada Februari 2024, padahal pada saat itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum merilis data resmi rekapitulasi nasional.

Laporan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO, 2024) mencatat setidaknya 1.200 konten disinformasi berbasis angka hasil suara beredar selama periode rekapitulasi nasional. Sebagian besar konten tersebut memanfaatkan tampilan antarmuka yang menyerupai situs resmi KPU atau portal berita kredibel, sehingga publik sulit membedakan mana data autentik dan mana manipulatif.

Teknik data distortion semacam ini bekerja dengan cara sederhana tetapi efektif: mengambil sebagian data benar, lalu menambahkan konteks palsu agar tampak sahih. Hasilnya, masyarakat terdorong untuk mempercayai versi “alternatif” dari realitas pemilu.

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Dampak dari disinformasi berbasis data ini tidak bisa diremehkan. Kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu dan hasil resminya menurun, terutama di daerah-daerah dengan akses informasi digital tinggi. Polarisasi sosial semakin tajam ketika warga mulai berdebat bukan lagi soal perbedaan pandangan politik, melainkan soal “kebenaran data” yang mereka yakini. Dalam situasi seperti ini, demokrasi kehilangan pijakan epistemiknyatidak ada lagi kesepakatan tentang apa yang benar dan apa yang palsu.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa disinformasi bukan hanya persoalan etika komunikasi, tetapi juga masalah tata kelola data publik. Tanpa mekanisme verifikasi cepat, kanal komunikasi resmi yang kuat, dan literasi digital yang memadai, data pemilu dapat dengan mudah berubah menjadi alat propaganda. Pada akhirnya, pertarungan pasca pemungutan suara bukan hanya soal siapa yang menang di TPS, tetapi juga siapa yang berhasil menguasai narasi di ruang digital antara fakta dan manipulasi.

Infrastruktur Data Pemilu: Antara Transparansi dan Kerentanan

Transparansi adalah fondasi kepercayaan publik dalam setiap pemilu, dan di Indonesia, dua sistem utamaSirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi Suara) dan Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara) menjadi tulang punggungnya. Keduanya dirancang untuk memungkinkan masyarakat memantau hasil penghitungan suara secara real-time, sebagai wujud keterbukaan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Menurut data KPU (2024), sekitar 96% formulir C hasil dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) berhasil diunggah ke Sirekap selama masa rekapitulasi nasional. Angka ini menunjukkan capaian signifikan dalam efisiensi dan keterbukaan informasi. Namun, di balik keberhasilan tersebut, Bawaslu mencatat lebih dari 2.000 laporan error sistemmulai dari keterlambatan unggahan, perbedaan data, hingga duplikasi berkas digital.

Kelemahan teknis seperti itu, meski kecil secara proporsional, membuka ruang besar bagi manipulasi persepsi publik. Dalam konteks politik yang sangat sensitif, data mentah yang diambil dari sistem publik dapat dengan mudah disunting atau dipotong konteksnya, kemudian disebarkan ulang melalui media sosial untuk memperkuat narasi politik tertentu. Sebuah tangkapan layar dari laman Sirekap yang belum terverifikasi misalnya, dapat dijadikan “bukti visual” untuk menuduh kecurangan, bahkan sebelum KPU menyelesaikan proses rekapitulasi resmi. Dengan kecepatan sirkulasi informasi di media sosial, fakta menjadi kabur di tengah arus opini yang menggebu.

Akar Yang Merintih, Daun Yang Merangas: Sebuah Risalah Rindu

Dilema ini menimbulkan pertanyaan etis yang mendalam: sampai sejauh mana keterbukaan data pemilu bisa dijalankan tanpa menimbulkan kerentanan baru? Di satu sisi, transparansi adalah jaminan demokratis terhadap proses elektoral yang bersih; di sisi lain, keterbukaan yang tak terkelola dapat menjadi celah bagi disinformasi dan serangan siber.

Di tengah situasi ini, keseimbangan antara open data dan data protection menjadi semakin pentingterutama untuk memastikan bahwa keterbukaan tidak justru mengorbankan integritas sistem pemilu dan privasi para pemilih.

Dengan demikian, ke depan, reformasi infrastruktur data pemilu perlu disertai tata kelola keamanan siber dan komunikasi publik yang lebih kuat. Data terbuka harus diimbangi dengan klarifikasi cepat dari otoritas resmi, verifikasi publik berbasis teknologi, dan literasi digital bagi pemilih. Sebab, dalam demokrasi digital, transparansi tanpa proteksi bukanlah solusimelainkan undangan bagi krisis kepercayaan yang baru.

Disinformasi sebagai Senjata Politik

Dalam ekosistem politik digital, disinformasi kini berfungsi sebagai instrumen kekuasaan yang dirancang dengan cermat. Tim kampanye dan jaringan buzzer tidak lagi hanya menyebarkan opini, melainkan menunggangi algoritma media sosial untuk memperkuat (amplify) isu yang menguntungkan kubu tertentu. Melalui pola distribusi terencana, narasi yang semula marginal dapat naik menjadi topik utama publik hanya dalam hitungan jam. Algoritma platform seperti X, TikTok, dan Facebook cenderung memprioritaskan konten yang memicu emosi terutama kemarahan dan ketakutan menjadikan disinformasi politik mudah viral dan sulit dilawan oleh informasi faktual.

Temuan Center for Digital Society (CfDS) UGM tahun 2024 menunjukkan bahwa 64% akun penyebar hoaks pemilu memiliki afiliasi langsung atau tidak langsung dengan jaringan politik tertentu. Mereka bekerja dalam ekosistem terstruktur: akun utama memproduksi narasi, akun pendukung memperkuatnya melalui komentar dan unggahan ulang, sementara jaringan bot membantu menciptakan kesan “dukungan publik masif”. Dengan strategi ini, ruang digital bukan lagi arena wacana demokratis, melainkan medan operasi psikologis yang diarahkan untuk memengaruhi persepsi kolektif terhadap legitimasi pemilu.

Narasi “pemilu curang” menjadi contoh paling jelas dari disinformasi yang diproduksi secara sistematis. Sejak 2019 hingga Pemilu 2024, isu ini terus muncul dalam berbagai bentuk mulai dari klaim kemenangan sepihak, manipulasi angka hasil rekap, hingga penyebaran foto C1 palsu. Ia tidak lahir dari spontanitas publik, tetapi dari rekayasa komunikasi politik yang berulang dan berjenjang, didesain untuk menanamkan rasa curiga terhadap institusi penyelenggara pemilu. Dengan demikian, disinformasi bukan sekadar kebohongan, melainkan strategi pembentukan realitas politik, di mana persepsi publik dibentuk agar selaras dengan kepentingan politik tertentu, bahkan sebelum fakta resmi disajikan.

Di titik ini, tantangan demokrasi bukan hanya soal menegakkan kebenaran faktual, tetapi memulihkan kepercayaan publik terhadap ruang digital sebagai arena diskursus yang sehat. Tanpa literasi digital yang kuat dan sistem verifikasi cepat dari lembaga resmi, masyarakat akan terus menjadi korban dari “politik persepsi” yang menukar data dengan narasi, dan menggantikan kebenaran dengan ilusi yang paling sering dibagikan.

Literasi Digital dan Perlawanan Warga

Di tengah gempuran disinformasi politik yang kian masif, masyarakat sipil muncul sebagai benteng terakhir demokrasi digital. Di luar struktur formal negara, berbagai inisiatif warga, relawan, dan komunitas jurnalis independen bergerak bersama melawan arus hoaks yang membanjiri ruang publik. Platform seperti KawalPemilu, CekFakta, dan MAFINDO menjadi simbol perlawanan warga terhadap manipulasi informasi, menggabungkan semangat sukarela dengan teknologi verifikasi data berbasis sains dan jurnalisme. Menurut MAFINDO (2024), lebih dari 9.000 relawan terlibat aktif dalam proses pengecekan fakta selama masa kampanye dan rekapitulasi nasional, menandai partisipasi publik terbesar dalam sejarah pemantauan digital pemilu di Indonesia.

Gerakan ini tak hanya berlangsung di dunia maya. Bawaslu turut menggandeng komunitas lokal melalui program pelatihan literasi digital di 34 provinsi, dengan tujuan memperkuat kapasitas warga dalam mengenali dan melawan informasi menyesatkan. Pelatihan ini mengajarkan cara memverifikasi sumber, membaca pola penyebaran narasi palsu, serta memahami peran algoritma media sosial dalam membentuk persepsi politik. Sinergi antara lembaga negara dan masyarakat sipil ini menunjukkan bahwa melawan disinformasi tidak bisa dilakukan secara sepihak ia membutuhkan ekosistem kolaboratif yang menggabungkan kebijakan, edukasi, dan partisipasi aktif publik.

Dari level mikro, muncul kisah inspiratif seperti Rani, mahasiswa di Yogyakarta yang menjadi relawan fact-checking selama Pemilu 2024. Di tengah gempuran isu hoaks lokal seperti klaim surat suara terbakar atau data KPU diretas Rani dan timnya bekerja berjam-jam memverifikasi unggahan media sosial, lalu menyebarkan klarifikasi melalui kanal kampus dan grup komunitas.

Upaya kecil ini mungkin tak viral, tapi dampaknya nyata: warga sekitar mulai berhati-hati membagikan informasi dan mulai bertanya, “sumbernya dari mana?” Kisah seperti Rani menggambarkan bahwa literasi digital bukan hanya kemampuan teknis, tapi juga tindakan etis dan politis bentuk kepedulian warga terhadap kualitas demokrasi. Di tengah era algoritma dan manipulasi data, perlawanan warga menjadi napas bagi demokrasi yang sehat: sebuah pengingat bahwa kedaulatan informasi seharusnya tetap berada di tangan rakyat, bukan di bawah kendali buzzer, bot, atau kekuatan politik yang memelintir kebenaran.

Platform Digital dan Tanggung Jawab Algoritmik

Di era politik digital, algoritma media sosial kini menjadi aktor baru dalam demokrasi. Platform seperti Meta, TikTok, X (Twitter), dan YouTube bukan sekadar ruang komunikasi, tetapi juga mesin yang menentukan apa yang terlihat, dipercaya, dan diperbincangkan publik. Dalam konteks Pemilu 2024, keempat raksasa digital ini memainkan peran penting dalam memoderasi konten politik dan menekan arus disinformasi. Namun, di balik ambisi untuk menciptakan ruang digital yang “aman dan berintegritas”, terselip dilema besar: siapa yang berhak menentukan kebenaran?

Negara, platform, atau publik sendiri?

Menurut Reuters Institute Digital News Report (2024), 60% pengguna internet di Indonesia mengaku tidak tahu cara melaporkan konten hoaks, menandakan lemahnya literasi platform di tengah derasnya arus informasi politik. Sementara itu, berbagai inisiatif moderasi telah dijalankan: TikTok memperkenalkan label khusus “konten politik” dan menonaktifkan fitur monetisasi bagi akun politik; YouTube menjalin kemitraan dengan Kementerian Kominfo untuk mempercepat penghapusan konten misinformasi selama masa kampanye; dan Meta meluncurkan Election Operations Center untuk memantau pola penyebaran hoaks lintas platform. Namun, efektivitas kebijakan ini masih menjadi perdebatan algoritma yang sama yang dirancang untuk “meningkatkan keterlibatan” seringkali justru memperkuat polarisasi dengan mempromosikan konten emosional dan kontroversial.

Di sisi lain, muncul persoalan tanggung jawab algoritmik (algorithmic accountability). Platform sering berdalih bahwa mereka “netral” dan hanya menyediakan ruang, padahal logika algoritmik mereka menentukan jangkauan dan daya sebar informasi politik. Ketika narasi palsu atau klaim manipulatif viral bukan karena kebenarannya, tetapi karena algoritma menilai konten itu “menarik”, maka ruang publik digital kehilangan prinsip dasarnya: rasionalitas dan keadilan informasi. Dalam konteks inilah, pengawasan publik dan transparansi algoritma menjadi isu mendesak publik berhak tahu bagaimana sistem rekomendasi bekerja, apa yang dianggap “berbahaya”, dan siapa yang membuat keputusan itu.

Pertanyaan akhirnya bersifat etis sekaligus politis: apakah kebenaran boleh dimonopoli oleh algoritma atau oleh negara yang mengontrolnya? Dalam demokrasi digital, kebenaran seharusnya tidak diatur melalui sensor atau kepentingan komersial, tetapi dijaga melalui keterbukaan sistem, literasi publik, dan partisipasi warga dalam menuntut akuntabilitas platform. Jika algoritma adalah kekuasaan baru, maka tanggung jawab etiknya harus sebesar pengaruhnya terhadap demokrasi.

Demokrasi Data: Dari Transparansi Menuju Literasi

Dalam lanskap demokrasi digital, keterbukaan data saja tidak cukup. Data yang melimpah tanpa pemahaman justru melahirkan ruang abu-abu bagi manipulasi dan disinformasi. Pemilu 2024 menjadi cermin bagaimana banjir informasi tidak otomatis menghadirkan kejernihan: publik disuguhi grafik hasil sementara, unggahan tangkapan layar formulir C1, hingga analisis palsu berbasis “data internal” yang tidak diverifikasi. Di tengah gempuran itu, tantangan demokrasi bukan lagi sekadar apakah data dibuka, tetapi bagaimana publik memahami, memeriksa, dan menafsirkan data secara kritis. Demokrasi data bukan hanya soal transparansi, melainkan tentang membangun warga yang melek data dan sadar etika informasi.

Untuk itu, diperlukan tiga langkah kebijakan strategis. Pertama, penerapan standar open data dengan mekanisme verifikasi publik. KPU dan lembaga pemilu lainnya perlu membangun sistem yang tidak hanya membuka akses, tetapi juga memastikan keaslian dan konteks setiap data yang disajikan, misalnya dengan metadata yang dapat ditelusuri. Kedua, kolaborasi antara media, akademisi, dan KPU dalam membangun jurnalisme data pemilu.

Kolaborasi ini akan memperkuat kapasitas publik dalam menafsirkan data hasil pemilu secara objektif, menghindari bias politik, dan menekan penyebaran hoaks berbasis angka. Ketiga, integrasi literasi digital ke dalam kurikulum bagi pemilih pemula. Pendidikan pemilih di sekolah dan perguruan tinggi harus mencakup kemampuan membaca data, mengenali sumber informasi, serta memahami mekanisme kerja algoritma media sosial yang membentuk persepsi politik mereka.

Akhirnya, demokrasi modern tidak lagi diukur hanya dari banyaknya data yang tersedia, tetapi dari kemampuan warganya membaca dan menafsirkan data dengan akal sehat dan tanggung jawab. Dalam ruang digital yang padat oleh angka, grafik, dan klaim statistik, bukan ketiadaan data yang berbahaya melainkan ketiadaan kemampuan membaca data secara kritis. Tanpa literasi data, keterbukaan hanya menjadi ilusi transparansi; dengan literasi, keterbukaan menjadi pondasi kepercayaan dan legitimasi demokrasi itu sendiri.

 

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.