SURAU.CO – Bagi sebagian orang, Pilkada berakhir di hari pencoblosan. Tapi bagi mereka yang menang, babak baru justru dimulai setelah itu babak di mana suara rakyat berubah menjadi angka anggaran, dan janji politik diuji lewat tabel-tabel keuangan daerah. Di ruang rapat yang sunyi dan dingin, di antara lembaran RKA dan RAPBD, kemenangan politik mulai diterjemahkan menjadi kebijakan fiskal. Di sanalah kekuasaan bertemu kepentingan dan demokrasi diuji bukan lagi oleh banyaknya suara, tetapi oleh ke mana uang publik mengalir.
Dari Pilkada ke Politik Anggaran
Setelah euforia kemenangan mereda dan bendera partai diturunkan, para kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 kini menghadapi ujian pertama yang jauh lebih nyata: penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025. Di sinilah transisi dari politik elektoral menuju politik fiskal dimulai. Janji kampanye harus diterjemahkan menjadi kebijakan konkret, sementara tekanan dari partai, tim sukses, dan kelompok kepentingan mulai menuntut balasan. Narasi pembuka yang menggambarkan realitas ini terasa tajam: “Di ruang sidang DPRD, kemenangan politik diterjemahkan menjadi angka-angka anggaran di sanalah janji kampanye diuji, dan loyalitas diuangkan.” Dalam ruang itu, keputusan fiskal bukan lagi sekadar soal efisiensi atau kebutuhan publik, melainkan arena tawar-menawar antara idealisme pembangunan dan kalkulasi politik.
Secara nasional, proyeksi total APBD tahun 2025 mencapai sekitar Rp1.350 triliun (Kemendagri, 2024). Namun, di balik angka besar itu, pola alokasinya menunjukkan wajah lama politik anggaran Indonesia. Sekitar 40% dari total APBD dialokasikan untuk belanja pegawai dan birokrasi, sedangkan hanya sekitar 30% benar-benar diarahkan pada pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur. Sisa anggaran sering kali terserap dalam program-program seremonial atau proyek-proyek yang beraroma politik, terutama di tahun pertama pemerintahan baru. Ini menjadi bukti bahwa pasca pilkada, kebijakan fiskal bukan sekadar instrumen ekonomi, tetapi juga alat konsolidasi kekuasaan. Di tengah tekanan politik, kepala daerah dituntut menyeimbangkan antara menjaga loyalitas politik dan memenuhi janji pembangunan yang menjadi dasar legitimasi publiknya.
Dengan demikian, transisi dari pilkada ke politik anggaran tidak pernah berlangsung netral. Ia adalah perjalanan dari retorika menuju realitas, dari visi kampanye ke tabel-tabel Excel yang menentukan arah kebijakan publik. Dan di sanalah, di balik angka-angka, sesungguhnya demokrasi fiskal sedang diuji apakah ia bekerja untuk rakyat, atau untuk mereka yang memenangkan pemilihan.
Ketika Kekuasaan Fiskal Beralih Tangan
Pergantian kepala daerah tidak hanya bermakna perubahan figur politik, tetapi juga pergeseran kendali atas “peta uang” daerah. Kekuasaan fiskalyang termanifestasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)menjadi arena paling konkret di mana visi politik diterjemahkan menjadi kebijakan nyata. Kepala daerah baru umumnya mewarisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dari periode sebelumnya. Namun, begitu pelantikan usai dan konsolidasi politik dimulai, penyesuaian arah pembangunan menjadi tak terhindarkan. Refocusing anggaran menjadi instrumen strategis untuk memastikan bahwa visi dan janji politik kampanye memperoleh ruang fiskal yang memadai. Menurut laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2023, sekitar 68% pemerintah daerah melakukan revisi signifikan terhadap RPJMD mereka pada tahun pertama masa jabatan kepala daerah baru. Revisi ini biasanya disertai pergeseran prioritas belanja, baik secara eksplisit (melalui perubahan dokumen perencanaan) maupun secara implisit (melalui realokasi program dan kegiatan).
Fenomena ini tampak jelas di sejumlah daerah pasca pilkada. Di salah satu provinsi di wilayah timur Indonesia, misalnya, kepala daerah baru melakukan perubahan prioritas pembangunan dari sektor pendidikan dan kesehatanyang sebelumnya menjadi fokus pemerintah lamake pembangunan infrastruktur simbolik seperti alun-alun kota, kantor pemerintahan baru, atau proyek penataan kawasan pusat kota. Dalihnya adalah mendorong “daya saing dan kebanggaan daerah”, namun di balik itu sering terselip motif politik: proyek-proyek besar menawarkan ruang patronase ekonomi bagi para pendukung dan jaringan politik yang menopang kekuasaan.
Kepala daerah menggenggam kuasa fiskal yang besar. Dari tangan merekalah keputusan mengenai siapa yang mendapat proyek, program mana yang disetujui, dan bagaimana anggaran direalokasikan. Ketika kuasa fiskal bertemu kepentingan politik, maka logika pembangunan rasional kerap dikaburkan oleh kalkulasi elektoral dan kepentingan jaringan kekuasaan. Di titik inilah politik anggaran menemukan wajah paling nyatanya: bukan semata soal angka dan tabel, tetapi soal siapa yang berkuasa menentukan arah kemakmuran daerah.
DPRD dan “Tawar-Menawar” Politik Anggaran
Jika kekuasaan fiskal di tangan kepala daerah adalah sumber kuasa eksekutif, maka di sisi lain Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi aktor politik yang memainkan peran penting dalam proses penyusunan anggaran. Idealnya, fungsi pengawasan dan penganggaran DPRD bertujuan memastikan transparansi serta menjamin bahwa kebijakan fiskal berpihak pada kepentingan publik. Namun, dalam praktiknya, ruang anggaran sering kali menjadi ajang politik negosiasi dan kompromi kepentingan.
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bukanlah proses teknokratik murni. Di balik serangkaian rapat dan pembahasan resmi, terdapat proses informal yang kental dengan transaksi politik. Pemerintah daerahmelalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD)berhadapan dengan DPRD dalam situasi yang menyerupai “pasar politik”: anggaran menjadi alat tawar, sementara dukungan politik menjadi komoditas.
Menurut hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2022, lebih dari 50% perubahan pos belanja daerah di berbagai provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dihasilkan melalui lobi informal antara TAPD dan anggota DPRD. Lobi ini kerap berujung pada penambahan “pokok-pokok pikiran” atau proyek aspirasi yang disisipkan di tahap akhir pembahasan APBD. Fenomena “uang ketok palu” yang sempat mencuat di beberapa DPRD provinsi antara lain di Sumatera Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur menunjukkan bagaimana proses politik anggaran sering kali disusupi kepentingan pribadi dan kelompok.
Dalam praktik ini, pengesahan APBD menjadi momentum negosiasi terakhir, di mana dukungan terhadap rancangan anggaran bisa “dihargai” dengan kompensasi tertentu. Kritiknya jelas: kekuasaan fiskal yang semestinya menjadi instrumen kesejahteraan publik justru berubah menjadi arena pembagian pengaruh. Hubungan eksekutif–legislatif yang idealnya berbasis kontrol dan akuntabilitas bergeser menjadi relasi timbal balik pragmatis. Di tengah kondisi ini, publik hanya menjadi penonton, sementara arah anggaran ditentukan oleh seberapa kuat daya tawar masing-masing elite di meja perundingan.
Politik Balas Budi dan Patronase Pembangunan
Ketika euforia kemenangan Pilkada mereda, realitas politik segera menuntut “pembayaran” atas utang yang lahir selama masa kampanye. Dalam konteks ini, anggaran publik sering kali menjadi medium balas budi politik. Bagi banyak kepala daerah baru, dukungan finansial dan logistik selama kontestasi tidak berhenti pada ucapan terima kasih; ia berlanjut dalam bentuk akses terhadap proyek, jabatan, atau alokasi anggaran strategis.
Dampak langsung dari praktik ini terlihat jelas pada arah belanja publik daerah. Program yang semestinya dirancang untuk menjawab kebutuhan masyarakat justru diarahkan untuk mengembalikan modal politik. Proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, serta bantuan sosial sering menjadi kanal penyaluran patronase bagi penyandang dana atau jaringan politik pemenangan.
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2024, terdapat 42 kasus dugaan korupsi APBD yang melibatkan kepala daerah baru, dengan modus dominan berupa penunjukan proyek kepada para penyandang dana Pilkada. Sementara itu, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 75% kasus korupsi kepala daerah di Indonesia berkaitan langsung dengan pengadaan barang/jasa dan perencanaan anggaran daerah. Angka ini memperlihatkan bagaimana politik balas budi bertransformasi menjadi pola sistematis dalam pengelolaan fiskal lokal.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di lingkaran eksekutif. Di parlemen daerah, praktik patronase politik muncul dalam bentuk “proyek aspirasi”. Setelah Pilkada, intensitas pengusulan dan penambahan proyek aspirasi oleh anggota DPRD biasanya meningkat signifikan. Narasinya tampak muliamenyalurkan aspirasi masyarakat konstituennamun di balik itu sering tersembunyi kepentingan ekonomi dan politik jaringan yang berperan dalam kemenangan sebelumnya.
Ungkapan sinis kerap terdengar di kalangan pengamat kebijakan:
“Bukan rakyat yang paling cepat menikmati hasil Pilkada, tapi mereka yang membiayainya.” Pernyataan ini menggambarkan dengan gamblang bagaimana patronase pembangunan menggeser orientasi kebijakan fiskal dari kepentingan publik menuju kepentingan elite. Ketika proyek pembangunan menjadi alat transaksi politik, maka keadilan anggaran pun kehilangan maknanya. Yang lahir bukan pemerintahan yang berorientasi pelayanan, melainkan rezim pengembalian investasi politik.
Publik yang Dikesampingkan: Minimnya Transparansi Anggaran
Di tengah hiruk-pikuk politik anggaran pasca Pilkada, ada satu pihak yang paling sering dikesampingkan: publik. Proses penyusunan dan pengesahan APBD yang seharusnya menjadi ruang partisipasi warga justru berlangsung dalam bayang-bayang eksklusivitas birokrasi dan elite politik. Masyarakat, sebagai pemilik sah kedaulatan fiskal melalui pajak dan retribusi yang mereka bayarkan, jarang dilibatkan secara bermakna dalam menentukan arah penggunaan uang daerah.
Kondisi ini tercermin dari Indeks Transparansi Fiskal Daerah (ITFD) yang dirilis Kementerian Keuangan pada tahun 2024. Skor rata-rata nasional hanya mencapai 62 dari 100, dengan lebih dari separuh pemerintah daerah belum mempublikasikan dokumen anggaran secara terbuka. Padahal, dua regulasi utama Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Permendagri Nomor 70 Tahun 2019 tentang Sistem Informasi Pemerintahan Daerah dengan tegas mewajibkan pemerintah daerah untuk membuka dokumen perencanaan (RKPD) dan penganggaran (APBD) kepada publik secara daring dan mudah diakses.
Namun kenyataannya, banyak situs resmi pemerintah daerah masih sekadar menampilkan informasi normatif tanpa data anggaran rinci. Proses musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) yang dimaksudkan sebagai kanal partisipatif sering kali hanya bersifat seremonial. Aspirasi masyarakat jarang benar-benar masuk dalam dokumen final anggaran, apalagi berpengaruh terhadap alokasi belanja strategis.
Minimnya transparansi dan partisipasi publik ini berakibat ganda: di satu sisi, menguatkan dominasi elite politik dalam mengatur anggaran tanpa pengawasan memadai; di sisi lain, melemahkan akuntabilitas demokrasi fiskal yang menjadi fondasi tata kelola pemerintahan yang baik.
Dalam konteks inilah, demokrasi fiskal semestinya tidak berhenti pada mekanisme pemilihan kepala daerah, melainkan berlanjut pada hak warga untuk menilai ke mana pajak mereka dibelanjakan. Transparansi bukan sekadar formalitas administratif, tetapi esensi dari pemerintahan yang bertanggung jawab. Tanpa itu, rakyat hanya akan terus menjadi penonton di arena politik anggaran, sementara keputusan-keputusan fiskal yang menyentuh hidup mereka diambil dalam ruang tertutup oleh segelintir elite.
Digitalisasi Anggaran: Harapan atau Ilusi?
Menata Ulang Politik Anggaran: Dari Otoritas ke Akuntabilitas
Pilkada sejatinya bukan hanya ajang rotasi kekuasaan, melainkan momentum untuk menata ulang relasi antara kekuasaan dan tanggung jawab fiskal. Namun, seperti terlihat dalam praktik selama ini, politik anggaran pasca-Pilkada kerap terjebak dalam logika otoritas, bukan akuntabilitas. Kuasa atas anggaran diperlakukan sebagai hak prerogatif politik, bukan amanah publik. Karena itu, agenda reformasi politik anggaran menjadi mendesak untuk mengembalikan makna demokrasi fiskal di tingkat lokal.
Langkah pertama yang perlu ditempuh adalah membuka seluruh siklus anggaran secara daring melalui inisiatif seperti Open Budget Initiative. Publikasi dokumen mulai dari perencanaan, pembahasan, hingga realisasi APBD harus diakses secara mudah, lengkap, dan dalam format yang bisa dibaca publik (machine-readable). Transparansi bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi prasyarat moral agar rakyat tahu bagaimana uang mereka dikelola.
Kedua, perlu diterapkan Participatory Budgeting yang melibatkan masyarakat sipil, perguruan tinggi, dan komunitas lokal dalam forum Musrenbang maupun tahap evaluasi program. Dengan partisipasi substantif, proses anggaran dapat kembali pada fungsi utamanya: memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan memuaskan elite politik.
Ketiga, harus diperkuat mekanisme audit publik dan peran media watchdog. Lembaga audit negara, bersama jurnalisme investigatif dan komunitas antikorupsi, perlu bekerja sinergis mengawal implementasi janji kampanye yang dibiayai melalui APBD. Transparansi fiskal baru bermakna bila diikuti pengawasan aktif dan laporan publik yang terbuka.
Keempat, dibutuhkan sanksi politik dan hukum yang tegas terhadap DPRD maupun kepala daerah yang terbukti melakukan kolusi anggaran. Partai politik juga mesti memikul tanggung jawab etis untuk menegakkan integritas kadernya, bukan sekadar melindungi kekuasaan. Tanpa akuntabilitas yang berani menghukum pelanggaran, tata kelola anggaran akan terus berputar dalam siklus impunitas.
Oleh : Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
