CM Corner
Beranda » Berita » Keseimbangan Gender dalam Demokrasi: Pemilih Perempuan Unggul Tipis di Pemilu 2024

Keseimbangan Gender dalam Demokrasi: Pemilih Perempuan Unggul Tipis di Pemilu 2024

Gambar Ilustrasi Keseimbangan Gender dalam Demokrasi: Pemilih Perempuan Unggul Tipis di Pemilu 2024
Gambar Ilustrasi Keseimbangan Gender dalam Demokrasi: Pemilih Perempuan Unggul Tipis di Pemilu 2024

SURAU.CO – Dalam setiap perhelatan demokrasi, angka bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari kesadaran kolektif bangsa. Pemilu 2024 menorehkan satu fakta menarik: dari total 204,8 juta pemilih tetap, perempuan unggul tipis atas laki-laki. Persentase pemilih perempuan mencapai 50,09%, sedangkan laki-laki 49,91%. Selisih kecil sebesar 0,18% ini tampak sederhana di atas kertas, tetapi di baliknya tersimpan pesan besar tentang keseimbangan gender dan arah baru partisipasi politik Indonesia.

Makna Politik dari Keseimbangan Gender

Keseimbangan jumlah pemilih antara laki-laki dan perempuan tidak terjadi begitu saja. Ia adalah hasil perjalanan panjang perempuan Indonesia memperjuangkan ruang partisipasi politiknya. Dari masa ketika suara perempuan dianggap pelengkap semata, hingga kini menjadi kekuatan penentu hasil pemilihan. Dominasi tipis perempuan dalam DPT 2024 mencerminkan peningkatan kesadaran bahwa politik bukanlah wilayah eksklusif kaum laki-laki, melainkan arena kolektif tempat setiap warga negara memiliki hak dan tanggung jawab yang sama.

Perempuan kini tidak lagi hanya menjadi obyek kebijakan, tetapi juga subyek yang aktif menentukan arah kebijakan itu sendiri. Dari bilik suara, mereka membentuk gelombang kesadaran baru: bahwa keadilan sosial tidak akan tercapai tanpa keadilan gender. Dalam konteks ini, demokrasi sejati menuntut partisipasi yang setara, bukan hanya dalam jumlah, tetapi juga dalam pengaruh dan representasi. Seperti pepatah, “sebuah perahu takkan seimbang jika hanya satu sisi yang mendayung.” Maka politik yang inklusif mensyaratkan keterlibatan penuh dari seluruh warga, tanpa memandang gender.

Partisipasi Perempuan di Dalam dan Luar Negeri

KPU mencatat bahwa dominasi perempuan tidak hanya terlihat di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Dari total pemilih luar negeri sebanyak 1.750.474 orang, 57,08% di antaranya adalah perempuan. Angka ini menunjukkan bahwa perempuan Indonesia di diaspora tetap aktif menjalankan hak politiknya, meski berjarak ribuan kilometer dari tanah air. Fenomena ini mengisyaratkan dua hal penting: meningkatnya kesadaran politik global di kalangan perempuan Indonesia, dan keberhasilan sistem demokrasi kita dalam menjangkau komunitas warga negara di luar batas geografis.

Di kota-kota besar dunia seperti Singapura, Hong Kong, Jeddah, dan Amsterdam, perempuan pekerja migran menjadi bagian dari denyut politik nasional. Mereka tidak hanya mengirim devisa, tetapi juga membawa suara yang menentukan masa depan negeri. Di sinilah makna sejati dari demokrasi lintas batas – ketika hak politik tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Diaspora perempuan menjadi simbol keberanian dan tanggung jawab, menegaskan bahwa keterlibatan dalam demokrasi bukan sekadar hak, melainkan panggilan moral untuk ikut serta menentukan arah bangsa.

Akar Yang Merintih, Daun Yang Merangas: Sebuah Risalah Rindu

Kebijakan Afirmatif dan Kesetaraan

Dominasi tipis perempuan dalam DPT juga tidak terlepas dari kebijakan afirmatif yang telah diperjuangkan selama dua dekade terakhir. Kuota 30% bagi keterwakilan perempuan di parlemen, misalnya, menjadi pijakan penting yang menumbuhkan semangat partisipasi di tingkat akar rumput. Meski implementasinya belum selalu ideal, regulasi ini mengirimkan pesan simbolik yang kuat: bahwa negara mengakui pentingnya keseimbangan gender dalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan.

Selain itu, peran lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu juga signifikan. Melalui program pendidikan pemilih yang sensitif gender dan kampanye partisipatif, mereka mendorong perempuan untuk tidak hanya hadir sebagai pemilih, tetapi juga sebagai penyelenggara dan pengawas pemilu. Di banyak daerah, perempuan terbukti menjadi ujung tombak dalam menjaga integritas pemilihan. Mereka bukan hanya bagian dari statistik, tetapi penjaga etika demokrasi itu sendiri.

Kesetaraan politik tidak akan tercapai hanya melalui aturan, tetapi melalui kultur. Dan perubahan kultur memerlukan waktu, pendidikan, serta keteladanan. Kebijakan afirmatif hanyalah pintu pembuka; langkah berikutnya adalah memastikan perempuan memiliki kapasitas, kepercayaan diri, dan ruang yang aman untuk memimpin. Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang siapa yang terpilih, tetapi tentang bagaimana seluruh elemen bangsa merasa memiliki ruang yang sama untuk berperan.

Tantangan dan Peluang

Namun perjalanan menuju kesetaraan politik masih panjang. Di balik angka yang tampak seimbang, terdapat realitas sosial yang belum sepenuhnya setara. Perempuan masih menghadapi hambatan struktural: mulai dari stereotip gender, beban ganda domestik, hingga keterbatasan akses terhadap sumber daya politik dan finansial. Di banyak daerah, pandangan konservatif masih menempatkan perempuan sebagai pengikut, bukan pemimpin.

Selain itu, dunia politik sendiri belum selalu ramah terhadap perempuan. Kekerasan berbasis gender dalam politik, baik secara verbal maupun digital, menjadi tantangan baru yang mengintai mereka yang berani tampil di ruang publik. Di era media sosial, serangan personal sering kali lebih tajam daripada kritik terhadap gagasan. Karena itu, perlindungan terhadap partisipasi politik perempuan harus menjadi agenda serius, baik oleh negara, partai politik, maupun masyarakat sipil.

Sabar Menanti Pertolongan Allah

Meski demikian, peluang untuk memperkuat peran perempuan juga semakin besar. Gelombang digitalisasi politik membuka ruang baru bagi perempuan untuk bersuara tanpa harus menunggu akses formal. Platform media sosial memungkinkan mereka menggalang dukungan, menyebarkan ide, dan membangun solidaritas lintas wilayah dan kelas sosial. Generasi perempuan muda kini tumbuh dengan keberanian dan kesadaran baru – mereka tidak hanya menuntut didengar, tetapi juga siap memimpin.

Dari Partisipasi Menuju Kepemimpinan

Dominasi tipis pemilih perempuan di Pemilu 2024 bukan sekadar statistik, melainkan simbol perubahan arah demokrasi Indonesia. Partisipasi perempuan yang meluas adalah fondasi menuju kepemimpinan yang setara. Ibarat pohon yang akarnya mulai kuat, kini saatnya batang dan cabangnya tumbuh menjulang. Partisipasi hanyalah awal; tujuan akhirnya adalah keterwakilan yang bermakna.

Demokrasi yang berkeadilan gender tidak cukup berhenti di bilik suara. Ia harus tumbuh di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan dalam kehidupan sehari-hari – di tempat kerja, di ruang keluarga, dan di dunia digital. Ketika perempuan tidak hanya memilih, tetapi juga dipilih; tidak hanya mendukung, tetapi juga memimpin; maka keseimbangan itu bukan lagi angka, melainkan kenyataan.

Keseimbangan gender dalam Pemilu 2024 memberi kita harapan bahwa demokrasi Indonesia sedang beranjak dewasa. Perempuan kini berdiri sejajar, mendayung bersama laki-laki mengarungi samudra politik yang luas. Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern bangsa ini, keseimbangan itu bukan lagi mimpi – melainkan langkah nyata menuju demokrasi yang utuh dan manusiawi.

 

Kecewa dan Makna Sebuah Perjuangan

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.