CM Corner
Beranda » Berita » Demokrasi Deliberatif: Seni Mendengar Sebelum Memutuskan

Demokrasi Deliberatif: Seni Mendengar Sebelum Memutuskan

Gambar Ilustrasi
Gambar Ilustrasi

SURAU.CO — Demokrasi tidak hanya tentang siapa yang menang, tetapi tentang bagaimana keputusan dibuat. Ia bukan sekadar sistem yang memberi hak memilih, melainkan mekanisme yang menjamin setiap suara memiliki kesempatan untuk didengar. Dalam kerangka itu, demokrasi deliberatif menemukan relevansinya: seni mendengar sebelum memutuskan. Sebuah seni yang semakin langka di tengah dunia politik yang sibuk berbicara, tapi jarang benar-benar mendengar.

Di era keterbukaan informasi, setiap orang bisa bicara. Tapi tak semua siap mendengar. Parlemen, partai, bahkan lembaga publik sering kali berkompetisi dalam argumentasi tanpa memberi ruang pada kontemplasi. Padahal, inti demokrasi deliberatif bukan pada perdebatan siapa benar dan siapa salah, melainkan bagaimana kita bersama-sama menemukan kebenaran yang bisa diterima semua. Seperti musyawarah dalam tradisi lokal kita, deliberasi menuntut kesabaran, kedewasaan, dan kerendahan hati.

Demokrasi Bukan Hanya Memilih

Pemilu memang pintu masuk demokrasi, tetapi bukan puncaknya. Setelah pemungutan suara, pekerjaan sesungguhnya baru dimulai: mengelola perbedaan menjadi kesepakatan. Demokrasi tanpa dialog hanya akan melahirkan polarisasi. Suara mayoritas yang tak diimbangi dengan penghargaan pada minoritas akan menjelma menjadi tirani baru.

Kita bisa belajar dari dinamika pasca-Pemilu 2024. Ketegangan di ruang publik, perdebatan di media sosial, hingga sengketa hasil di peradilan menunjukkan bahwa demokrasi kita masih sibuk mencari keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Dalam situasi seperti ini, demokrasi deliberatif hadir bukan sebagai teori abstrak, tetapi sebagai kebutuhan nyata. Ia mengajarkan bahwa keputusan yang baik tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga diterima secara sosial.

Di tingkat kelembagaan, penyelenggara pemilu telah mempraktikkan sebagian prinsip deliberatif dalam proses tahapan: membuka ruang konsultasi publik, menampung masukan dari partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil sebelum menetapkan kebijakan. Namun di luar itu, demokrasi deliberatif menuntut lebih jauh — agar setiap kebijakan publik dilahirkan dari ruang dialog yang tulus, bukan sekadar formalitas rapat yang terburu waktu.

Akar Yang Merintih, Daun Yang Merangas: Sebuah Risalah Rindu

Seni Mendengar Sebelum Memutuskan

Mendengar adalah tindakan politik. Ia bukan sekadar sopan santun, tapi bentuk pengakuan terhadap martabat orang lain. Dalam politik yang sehat, mendengar menjadi cara untuk memperluas perspektif dan mencegah kesalahan kolektif.

Namun, dalam praktiknya, mendengar justru sering dikalahkan oleh keinginan untuk menjawab. Para pejabat sibuk membela kebijakan, bukan menjelaskan niat di baliknya. Publik sibuk mengkritik, tanpa mendengar konteks yang melatarinya. Akibatnya, demokrasi kehilangan ruang empati. Padahal, empati adalah mata air legitimasi.

Kita bisa mengingat kembali semangat musyawarah sebagaimana diajarkan dalam falsafah bangsa. Musyawarah bukan tentang siapa yang berkuasa, melainkan tentang siapa yang bersedia memahami. Dari musyawarah lahir legitimasi, karena keputusan dihasilkan melalui kesadaran bersama, bukan paksaan mayoritas. Inilah inti demokrasi deliberatif: proses yang menghormati perbedaan dan mengubah ketegangan menjadi kesepakatan.

Penyelenggara pemilu, pemerintah, hingga organisasi masyarakat harus menempatkan prinsip ini sebagai panduan etis. Setiap kebijakan publik, setiap keputusan administratif, sejatinya adalah hasil dari mendengar aspirasi sebanyak mungkin, sebelum menetapkan arah. Karena dalam politik, kecepatan sering menjadi musuh kebijaksanaan.

Ruang Deliberatif: Dari Lembaga ke Publik

Demokrasi deliberatif memerlukan ruang — bukan hanya fisik, tetapi juga sosial dan digital. Ruang di mana warga dapat menyampaikan pandangan tanpa takut disalahpahami atau diserang. Di era media sosial, tantangan terbesar justru adalah bagaimana menciptakan ruang publik yang sehat di tengah algoritma yang memperkuat perbedaan.

Sabar Menanti Pertolongan Allah

Penyelenggara pemilu misalnya, menghadapi ujian berat dalam mengelola komunikasi publik. Setiap kebijakan yang diambil langsung diuji di ruang digital yang tidak mengenal waktu. Dalam kondisi seperti itu, keterbukaan informasi harus disertai dengan kesiapan menjelaskan. Penjelasan yang jujur dan sabar sering kali lebih efektif daripada pembelaan yang defensif. Publik bukan hanya ingin tahu hasil, tetapi juga proses. Dan ketika proses dijelaskan dengan jernih, kepercayaan tumbuh dengan sendirinya.

Deliberasi juga perlu diperluas di tingkat masyarakat. Forum warga, diskusi kampus, dialog antaragama — semua itu merupakan bagian dari ekosistem deliberatif yang menumbuhkan kebiasaan mendengar. Demokrasi yang sehat tidak dibangun di ruang sidang saja, tetapi juga di warung kopi, di ruang kelas, di media sosial yang dihidupi oleh percakapan yang bermakna. Ketika warga terbiasa berdialog tanpa saling meniadakan, maka politik akan menemukan kembali wajah kemanusiaannya.

Dari Musyawarah Lahir Legitimasi

Tidak ada keputusan yang sempurna, tetapi keputusan yang dihasilkan melalui dialog memiliki keunggulan moral: ia diterima dengan lapang dada. Legitimasi bukan sekadar hasil dari prosedur yang sah, tetapi dari proses yang jujur. Itulah sebabnya, setiap lembaga publik, terutama yang berkaitan dengan pemilu, perlu meneguhkan komitmen terhadap prinsip musyawarah. Bukan untuk memperlambat keputusan, melainkan untuk memperdalam kepercayaannya.

Dalam konteks politik nasional, deliberasi juga menjadi cara untuk meredam konflik. Ketika ruang perdebatan dipersempit, ketegangan akan mencari jalan lain — kadang melalui jalan yang destruktif. Tetapi ketika ruang dialog dibuka, meski tidak selalu menghasilkan kesepakatan, paling tidak ia memberi rasa dihormati. Dan dalam demokrasi, rasa dihormati sering kali lebih penting daripada kemenangan.

Sebagaimana dikatakan filsuf politik Jürgen Habermas, deliberasi adalah jantung dari rasionalitas publik. Di sanalah warga negara belajar menjadi dewasa: bukan dengan selalu benar, tetapi dengan mau mendengar. Dalam konteks Indonesia, deliberasi bukan barang asing. Ia telah lama hidup dalam budaya gotong royong dan musyawarah mufakat. Hanya saja, nilai-nilai itu kini perlu dibumikan kembali dalam konteks modern — dari ruang birokrasi hingga ruang digital.

Kecewa dan Makna Sebuah Perjuangan

Dari Keterbukaan Tumbuh Kepercayaan

Demokrasi deliberatif mengingatkan kita bahwa kekuasaan tanpa pendengaran hanyalah instruksi, bukan kepemimpinan. Negara yang kuat bukanlah yang selalu cepat mengambil keputusan, tetapi yang sabar mendengar sebelum memutuskan. Di tengah arus polarisasi dan kebisingan informasi, kemampuan untuk mendengar menjadi bentuk baru dari keberanian.

Keberanian untuk mendengar berarti kesediaan untuk diubah oleh argumen yang lebih baik. Lebih jauh, keberanian untuk berdialog berarti keyakinan bahwa kebenaran tidak lahir dari satu suara, melainkan dari pertemuan banyak suara. Ketika semangat ini mengalir dari lembaga-lembaga negara hingga ruang publik terkecil, maka demokrasi Indonesia akan menemukan bentuknya yang paling manusiawi: demokrasi yang tidak hanya berbicara, tapi juga mendengar.
Karena dari keterbukaan tumbuh kepercayaan, dan dari kepercayaan lahir legitimasi. Itulah seni sejati dalam menjaga demokrasi — seni mendengar sebelum memutuskan.

 

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.