CM Corner
Beranda » Berita » Komunikasi Publik sebagai Pilar Legitimasi

Komunikasi Publik sebagai Pilar Legitimasi

Ilustrasi Gambar

SURAU.CO — Krisis kepercayaan publik kerap berawal bukan dari hasil, melainkan dari kata-kata yang tak tersampaikan. Dalam politik, miskomunikasi sering lebih berbahaya daripada kesalahan kebijakan. Keputusan yang benar pun bisa tampak keliru bila dijelaskan dengan cara yang salah. Seperti pepatah, air jernih pun tampak keruh bila wadahnya kusam. Di era keterbukaan informasi, komunikasi publik bukan sekadar pelengkap kebijakan, tetapi fondasi yang menopang legitimasi moral dan politik sebuah institusi.

Bahasa sebagai Jembatan Kepercayaan

Kepercayaan publik ibarat jembatan yang harus dipelihara setiap hari. Ia tidak runtuh karena satu badai, tetapi karena pilar-pilarnya dibiarkan rapuh. Dalam konteks demokrasi, pilar itu bernama komunikasi publik — bagaimana lembaga negara berbicara kepada rakyatnya, bukan dengan nada penguasa, melainkan dengan bahasa empati dan keterbukaan.

Penyelenggara pemilu memahami betul arti dari keterbukaan ini. Sejak reformasi, KPU dan Bawaslu dibentuk bukan hanya sebagai penjaga prosedur, tetapi juga penjaga kepercayaan. Setiap tahapan pemilu — dari penyusunan daftar pemilih, penetapan calon, hingga penghitungan suara — membutuhkan penjelasan yang terang agar tidak diselimuti prasangka. Transparansi adalah oksigen demokrasi; tanpanya, kepercayaan akan sesak.

Namun, tantangannya tidak kecil. Masyarakat kini hidup di tengah badai informasi: setiap isu bisa viral sebelum dikonfirmasi, setiap rumor bisa menenggelamkan klarifikasi. Maka, lembaga penyelenggara pemilu dituntut tidak hanya bekerja benar, tetapi juga menjelaskan kebenaran dengan cara yang mudah dipahami. Dalam bahasa komunikasi, persepsi sering lebih kuat daripada fakta. Karena itu, tugas penyelenggara tidak berhenti pada kepatuhan hukum, tetapi berlanjut pada pengelolaan persepsi publik.

Dari Informasi ke Edukasi

Masalah klasik komunikasi pemerintahan adalah kecenderungan bersifat satu arah — berbicara tanpa mendengar. Padahal, komunikasi publik yang efektif adalah dialog, bukan monolog. Di sinilah letak pentingnya menjadikan media sosial sebagai arena edukasi, bukan sekadar papan pengumuman.

Ilusi yang Menghambat Majunya Pendidikan Indonesia

Setiap unggahan lembaga publik mestinya tidak berhenti pada kata “kami telah melakukan ini”, tetapi menjawab pertanyaan publik: “mengapa ini dilakukan, apa dampaknya bagi saya?”

Pengalaman penyelenggara pemilu menunjukkan, ketika informasi dijelaskan dengan bahasa sederhana — bukan jargon hukum — tingkat kepercayaan meningkat. Misalnya, publik yang memahami alasan logistik dikirim lebih awal ke daerah terpencil akan lebih sabar menghadapi keterlambatan di tempat lain. Dalam era digital, narasi edukatif jauh lebih kuat daripada klarifikasi defensif.

KPU dan lembaga penyelenggara lainnya telah belajar memanfaatkan media sosial bukan hanya untuk sosialisasi, tetapi juga edukasi elektoral. Video singkat tentang tahapan pemilu, infografis mengenai cara mencoblos, hingga siaran langsung penghitungan suara menjadi bentuk komunikasi visual yang memperpendek jarak antara lembaga dan warga. Demokrasi, dengan begitu, hadir di layar gawai — bukan hanya di bilik suara.

Namun, media sosial juga medan yang berbahaya. Di sanalah hoaks dan disinformasi tumbuh subur. Lebih dari seribu konten palsu teridentifikasi selama Pemilu 2024, sebagian besar memanfaatkan isu identitas dan sentimen keagamaan. Ketika kabar bohong menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, diam berarti kalah. Maka, penyelenggara wajib bersuara cepat, tepat, dan terbuka — bukan dengan nada defensif, tetapi argumentatif berbasis data.

Membangun Narasi Konstruktif

Komunikasi publik bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi membangun narasi besar yang meneguhkan kepercayaan. Dalam konteks pemilu, narasi itu adalah bahwa pemilu adalah milik bersama, bukan milik penyelenggara.

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Narasi konstruktif tidak lahir dari retorika, melainkan dari konsistensi perilaku. KPU yang terbuka dalam publikasi data, transparan soal anggaran, dan cepat merespons kritik akan lebih dipercaya daripada seribu konferensi pers.

Sebaliknya, menutup diri justru mengundang spekulasi. Dalam psikologi sosial, ketiadaan informasi sering diisi oleh prasangka. Karena itu, setiap ruang kosong komunikasi harus segera diisi dengan data dan penjelasan.

Contohnya, ketika isu manipulasi data pemilih mencuat, penjelasan publik mengenai proses coklit lapangan yang melibatkan RT/RW dan komunitas adat mampu meredakan kecurigaan. Transparansi bukan berarti tanpa batas; ia tetap diatur oleh etika dan perlindungan privasi, tetapi prinsip dasarnya adalah semakin terbuka, semakin dipercaya.

Narasi konstruktif juga perlu dibangun terhadap media. Hubungan penyelenggara dan jurnalis seharusnya bersifat kolaboratif, bukan konfrontatif. Media berfungsi sebagai kanal distribusi informasi publik; penyelenggara yang menutup diri akan kehilangan sekutu terpentingnya. Dengan kemitraan yang sehat, berita tentang pemilu tidak lagi hanya soal konflik dan sengketa, tetapi juga tentang kerja senyap yang memastikan hak setiap warga terlindungi.

Legitimasi Politik dan Moral

Legitimasi tidak jatuh dari langit; ia tumbuh dari persepsi publik terhadap integritas dan komunikasi sebuah lembaga. Dalam politik modern, legitimasi politik dan legitimasi moral tidak bisa dipisahkan. Kebijakan yang sah secara hukum belum tentu sah secara sosial bila gagal dijelaskan.

Akar Yang Merintih, Daun Yang Merangas: Sebuah Risalah Rindu

Sejarah politik kita menunjukkan bahwa banyak kebijakan baik kehilangan dukungan karena buruknya komunikasi. Reformasi birokrasi, penataan daerah, hingga kebijakan afirmatif gender kerap disalahpahami karena tidak diiringi penjelasan yang memadai.

Dalam penyelenggaraan pemilu, legitimasi moral muncul ketika masyarakat merasa dilibatkan, bukan diperintah. Sosialisasi tahapan pemilu, misalnya, sebaiknya tidak berhenti di ruang rapat atau kantor pemerintahan, melainkan hadir di ruang-ruang komunitas: kampus, pesantren, kelompok disabilitas, hingga komunitas daring.

Demokrasi yang dirasakan adalah demokrasi yang dijelaskan. KPU telah mencontohkan pendekatan deliberatif — mendengar sebelum memutuskan. Pendekatan ini bukan tanda kelemahan, tetapi cermin kekuatan moral. Dalam diskursus demokrasi deliberatif, keputusan yang lahir dari dialog memiliki legitimasi lebih kuat karena dipersepsi sebagai hasil konsensus, bukan paksaan.

Dalam banyak kasus, komunikasi deliberatif berhasil menenangkan ketegangan antar-kelompok politik karena semua pihak diberi ruang berbicara. Prinsipnya sederhana: orang yang didengar lebih mudah menerima keputusan yang tak sepenuhnya ia setujui.

Tantangan Era Digital dan Polarisasi

Era digital membawa berkah sekaligus beban. Di satu sisi, ia memperluas partisipasi; di sisi lain, ia menajamkan polarisasi. Media sosial menciptakan ruang gema (echo chamber) di mana orang hanya mendengar suara yang seirama dengan keyakinannya sendiri. Akibatnya, fakta sering kalah oleh perasaan.

Dalam situasi demikian, komunikasi publik harus berubah dari sekadar penyampaian pesan menjadi pengelolaan makna. Narasi yang dibangun tidak boleh reaktif terhadap isu, tetapi proaktif dalam menciptakan wacana positif.

Penyelenggara pemilu perlu menguasai literasi digital tingkat tinggi: memahami algoritma, membaca pola penyebaran isu, dan memanfaatkan insight data untuk menentukan kapan dan bagaimana menjawab isu tertentu. Respons yang terlambat bisa memicu snowball effect yang sulit dikendalikan.

Polarisasi politik juga menuntut penyelenggara untuk menjadi penyeimbang narasi. Di tengah perbedaan tajam antarpendukung, pesan yang disampaikan harus menekankan kesamaan nilai: kejujuran, sportivitas, dan persatuan. Pemilu adalah kompetisi, tetapi demokrasi adalah kerja sama setelah kompetisi usai.

Dalam hal ini, komunikasi publik bukan hanya alat informasi, tetapi juga instrumen rekonsiliasi sosial. Ia berperan menurunkan suhu politik pasca-pemilu dan menumbuhkan kembali rasa kebersamaan yang mungkin terkoyak selama masa kampanye.

Juru Bicara dan Institusionalisasi Komunikasi

Komunikasi publik tidak boleh bergantung pada figur semata. Sebuah lembaga harus memiliki sistem komunikasi institusional — terstruktur, beretika, dan berkelanjutan. Di sinilah pentingnya keberadaan juru bicara yang kompeten: tidak hanya fasih bicara, tetapi juga memahami substansi kebijakan dan psikologi publik.

Juru bicara yang baik bukan sekadar penyampai pesan, melainkan penerjemah nilai. Ia menjembatani bahasa teknokratis lembaga dengan bahasa sehari-hari warga. Keterampilan mendengar sama pentingnya dengan kemampuan menjelaskan. Dalam banyak situasi krisis, satu kalimat yang disampaikan dengan empati lebih menenangkan daripada seribu kata defensif.

Institusionalisasi komunikasi juga berarti membangun budaya internal: setiap pegawai lembaga publik harus sadar bahwa setiap tindakannya adalah bentuk komunikasi. Cara menjawab telepon, merespons pertanyaan wartawan, hingga bersikap di ruang publik — semuanya mencerminkan wajah lembaga. Dengan kata lain, komunikasi publik bukan tugas satu bidang, melainkan karakter seluruh institusi.

Keterbukaan sebagai Budaya, Bukan Strategi

Transparansi sering disalahartikan sebagai strategi krisis — baru dilakukan ketika masalah muncul. Padahal, keterbukaan seharusnya menjadi budaya sehari-hari. Sebuah lembaga yang sejak awal membangun tradisi publikasi data, membuka rapat, dan menjelaskan kebijakan, akan lebih siap menghadapi krisis.

KPU, misalnya, dengan sistem informasi pemilu terbuka, memperlihatkan komitmen bahwa publik berhak tahu sejak awal, bukan setelah sengketa. Di era digital, keterbukaan bukan hanya tuntutan etis, tetapi juga mekanisme pertahanan reputasi.

Sebaliknya, kerahasiaan berlebihan justru menimbulkan kecurigaan dan memperlemah legitimasi. Kepercayaan publik tidak dibangun dengan slogan, tetapi dengan rutinitas kejujuran.

Merawat Kepercayaan, Menegakkan Demokrasi

Legitimasi adalah mata uang politik yang nilainya bergantung pada kepercayaan. Dan kepercayaan, pada akhirnya, adalah hasil dari komunikasi yang jujur, konsisten, dan empatik.
Penyelenggara pemilu telah membuktikan bahwa demokrasi tidak cukup dijaga dengan aturan, tetapi harus dirawat dengan komunikasi. Transparansi bukan ancaman bagi kekuasaan, melainkan penguat bagi moralitas publik.

Komunikasi publik yang baik bukan sekadar strategi pencitraan, melainkan tindakan etis — menyapa rakyat dengan bahasa kebenaran. Dalam dunia politik yang sering gaduh, suara yang tenang dan jernih justru paling didengar.

Seperti halnya demokrasi, komunikasi publik adalah proses yang tak pernah selesai. Ia menuntut kesabaran, keberanian, dan ketulusan. Sebab legitimasi tidak bisa diwariskan, hanya bisa diperbarui setiap hari — melalui kata yang benar, niat yang tulus, dan tindakan yang terbuka.

 

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.