SURAU.CO – Demokrasi yang sehat tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari nilai, etika, dan laku hidup yang berakar dalam keseharian bangsa. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai itu banyak ditanamkan di pesantren — tempat santri belajar bukan hanya membaca kitab, tetapi juga menata batin dan mengasah kepekaan sosial. Dari ruang-ruang sederhana berlantai tikar, lahirlah generasi yang memahami bahwa kepemimpinan bukan tentang jabatan, melainkan tentang pengabdian. Dari santri menjadi Ketua KPU, perjalanan M. Afifuddin memperlihatkan bagaimana spiritualitas dan moralitas dapat menjadi fondasi kokoh dalam menegakkan demokrasi.
Pesantren dan Etika Kepemimpinan
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama; ia adalah laboratorium moral. Di sana, keikhlasan bukan teori, tapi praktik. Sabar bukan slogan, tapi disiplin harian. Santri belajar menghormati guru, bersyukur dalam keterbatasan, dan bekerja tanpa pamrih. Nilai-nilai ini membentuk karakter kepemimpinan yang rendah hati, tetapi teguh prinsip. Dalam demokrasi, kualitas semacam ini amat langka — di tengah dunia politik yang sering kali diwarnai ambisi dan kalkulasi kekuasaan.
Latar pesantren melatih kemampuan mendengar sebelum memutuskan. Ia mengajarkan bahwa musyawarah bukan hanya forum formal, tapi cara berpikir dan berbuat. Seorang pemimpin yang lahir dari kultur ini cenderung lebih berhati-hati dalam bicara, tetapi sigap dalam bertindak. Ia tahu bahwa setiap kebijakan publik tidak hanya berdampak pada prosedur, tetapi juga pada hati rakyat. Di sinilah nilai keislaman bertemu dengan demokrasi: sama-sama menjunjung keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial.
Keikhlasan sebagai Fondasi Moral Penyelenggara
Dalam dunia kepemiluan, tekanan datang dari segala arah — politik, hukum, media, bahkan publik. Namun, seorang penyelenggara yang berangkat dari nilai keikhlasan tidak mudah goyah. Ia bekerja bukan untuk mencari pujian, tetapi karena merasa dipanggil untuk melayani. Nilai ini menjadi jangkar moral yang membedakan antara kekuasaan dan amanah. Seperti ditulis Afifuddin dalam Membumikan Demokrasi, hukum adalah kompas, tetapi komunikasi adalah jembatan.
Keikhlasan dalam menjalankan tugas juga berarti siap dikritik tanpa merasa diserang, dan siap memperbaiki tanpa kehilangan wibawa. Santri terbiasa membersihkan diri setiap hari, bukan hanya dalam makna fisik, tetapi juga spiritual. Kebersihan hati itulah yang menjadi energi moral dalam menjalankan tugas berat sebagai penyelenggara pemilu: menegakkan aturan, menjaga netralitas, dan tetap manusiawi di tengah pertarungan kepentingan.
Demokrasi Sebagai Adab
Sering kali kita lupa bahwa demokrasi bukan sekadar sistem, melainkan juga adab. Ia memerlukan tata krama politik: bagaimana menghormati perbedaan, menahan diri dalam konflik, dan mendahulukan musyawarah daripada provokasi. Dalam bab awal Membumikan Demokrasi, Afifuddin mengingatkan bahwa demokrasi adalah ruang perjumpaan antar manusia, bukan sekadar arena perebutan kekuasaan. Pandangan ini mencerminkan cara berpikir seorang santri: politik yang beradab adalah politik yang berjiwa.
Dalam konteks ini, penyelenggara pemilu memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi teladan adab demokrasi. Mereka harus netral tanpa menjadi kaku, tegas tanpa kehilangan empati. Ketika publik berselisih, penyelenggara hadir sebagai penenang, bukan pemantik. Ketika hukum bersinggungan dengan kepentingan, mereka menjadi penafsir yang adil, bukan sekadar pelaksana teks. Semua itu menuntut kemampuan menyeimbangkan antara rasionalitas hukum dan kearifan sosial — kemampuan yang ditumbuhkan dalam tradisi pesantren.
Santri dan Spirit Keadaban Publik
Santri dibentuk oleh nilai kesederhanaan dan pengabdian. Mereka terbiasa hidup dalam komunitas, berbagi tempat tidur, berbagi makanan, dan berbagi waktu untuk belajar. Kebersamaan ini menumbuhkan rasa empati dan solidaritas — modal sosial yang amat penting bagi demokrasi. Dalam dunia yang kian individualistis, jiwa kolektif santri menjadi pengingat bahwa politik seharusnya mengabdi pada kemaslahatan bersama, bukan sekadar kepentingan pribadi atau kelompok.
Ketika seorang santri memimpin lembaga sebesar KPU, ia membawa semangat gotong royong ke dalam tata kelola lembaga. Ia percaya bahwa keputusan terbaik lahir dari musyawarah yang jujur, bukan dari kompromi politik yang tertutup. Ia memandang perbedaan pendapat bukan ancaman, tetapi sumber kebijaksanaan. Inilah yang disebut Afifuddin sebagai mencari titik temu, menemukan kegembiraan pemilu — demokrasi yang dijalankan dengan hati yang gembira karena semua pihak merasa dihormati.
Moralitas dan Modernitas yang Berjalan Bersama
Ada pandangan yang menganggap moralitas agama dan modernitas politik tidak bisa berjalan seiring. Namun, pengalaman seorang santri yang kini menjadi Ketua KPU membuktikan sebaliknya. Nilai-nilai pesantren seperti kejujuran, amanah, dan tanggung jawab justru menjadi pondasi etika publik di tengah kompleksitas birokrasi modern. Dalam Membumikan Demokrasi, Afifuddin menunjukkan bahwa keterbukaan, kolaborasi, dan moderasi bukan konsep Barat yang asing, tetapi nilai universal yang sudah lama hidup di dalam tradisi keislaman Indonesia.
Santri modern memahami bahwa moralitas tanpa efisiensi adalah utopia, sementara efisiensi tanpa moralitas adalah bahaya. Keduanya harus berjalan bersama. Dalam kepemiluan, hal itu berarti mengelola sistem yang rumit dengan hati yang jernih; memastikan prosedur berjalan dengan adil tanpa kehilangan sisi kemanusiaan. Spirit santri mengajarkan keseimbangan antara kerja keras dan doa, antara ilmu dan adab, antara dunia dan akhirat.
Spirit Pengabdian dalam Demokrasi
Dari pesantren ke ruang sidang KPU, dari kitab kuning ke regulasi pemilu, perjalanan ini mengajarkan satu hal: bahwa demokrasi membutuhkan manusia yang matang secara moral, bukan hanya cakap secara teknis. Di tengah derasnya arus pragmatisme politik, nilai pengabdian menjadi oase yang menyejukkan. Penyelenggara pemilu yang berjiwa santri memahami bahwa keadilan bukan hanya keputusan administratif, tetapi juga ketulusan hati dalam menegakkan kebenaran.
Santri juga memahami bahwa kebenaran bukan milik satu pihak. Dalam setiap keputusan, selalu ada ruang bagi tafsir dan dialog. Demokrasi, dalam pandangan ini, bukan sistem yang sempurna, tetapi wadah belajar bersama — tempat di mana semua pihak saling mengingatkan agar tidak melampaui batas. Dari pesantren, santri belajar bahwa ilmu harus diamalkan; dari KPU, ia belajar bahwa nilai harus diterjemahkan menjadi kebijakan.
Penutup: Membumikan Nilai, Meneguhkan Demokrasi
Perjalanan dari santri ke Ketua KPU bukan kisah tentang mobilitas sosial, melainkan tentang kontinuitas nilai. Di dunia yang cepat berubah, pesantren menjadi jangkar moral bagi praktik demokrasi yang kadang kehilangan arah. Nilai keikhlasan, kesabaran, dan tanggung jawab membentuk karakter penyelenggara yang tidak sekadar menjalankan tahapan, tetapi juga menjaga marwah institusi.
Demokrasi tanpa moralitas ibarat kapal tanpa kompas: bisa berlayar, tapi mudah tersesat. Sementara moralitas tanpa keberanian akan membuat kapal diam di pelabuhan. Keduanya harus bersatu dalam sosok pemimpin yang berakar pada nilai, tetapi terbuka pada zaman. Dari santri ke Ketua KPU, kita belajar bahwa membumikan demokrasi bukan sekadar menegakkan aturan, melainkan menanamkan nilai — agar keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dirasakan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
