CM Corner
Beranda » Berita » Biaya Demokrasi yang Tak Terlihat: Tragedi Kemanusiaan Petugas KPPS

Biaya Demokrasi yang Tak Terlihat: Tragedi Kemanusiaan Petugas KPPS

Ilustras Gambar KPPS
Ilustras Gambar KPPS

SURAU.CO – Di tengah euforia partisipasi tinggi Pemilu 2024 yang mencapai lebih dari 80 persen, terselip kisah kelam yang jarang menjadi tajuk utama: 181 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia, dan 4.770 lainnya jatuh sakit akibat kelelahan. Angka ini memang menurun dibanding Pemilu 2019 yang menelan korban 894 jiwa, namun tetap meninggalkan jejak luka yang dalam—sebuah pengingat bahwa di balik perayaan demokrasi, ada biaya kemanusiaan yang tak pernah masuk ke dalam laporan keuangan negara.

Tragedi ini bukan sekadar statistik. Ia mencerminkan paradoks sistemik: demokrasi yang menjunjung kedaulatan rakyat justru bergantung pada pengorbanan manusia yang tak terlihat. Para petugas KPPS—yang sebagian besar adalah warga biasa, guru, pegawai kelurahan, hingga mahasiswa—dipaksa bekerja lebih dari 24 jam tanpa jeda untuk memastikan lima kotak suara terbuka dan tertutup sesuai jadwal. Dalam sistem serentak yang disebut “paling kompleks di dunia,” mereka menjadi tulang punggung logistik demokrasi, namun sekaligus korban dari desain pemilu yang menuntut lebih dari kemampuan fisik manusia.

Kelelahan Sistemik dari Desain Serentak Lima Kotak

Model pemilu serentak yang diberlakukan sejak 2019 lahir dari semangat efisiensi—menyatukan pemilihan presiden, legislatif, dan daerah dalam satu hari yang sama. Namun, efisiensi di atas kertas berubah menjadi beban di lapangan. Petugas KPPS tidak hanya mengelola antrean pemilih dan penghitungan suara, tetapi juga menulis, memeriksa, dan menandatangani ribuan lembar formulir hasil (C1, C Plano, dan seterusnya). Semua ini dilakukan di bawah tekanan waktu dan pencahayaan seadanya di TPS yang sebagian besar bersifat sementara.

Laporan resmi DPR RI pada April 2024 menyebutkan bahwa meski mitigasi sudah dilakukan—seperti pembatasan usia (17–55 tahun), skrining kesehatan, dan peningkatan honorarium—langkah tersebut hanya bersifat paliatif. Akar masalah sesungguhnya adalah desain kerja yang tidak manusiawi. (Info Singkat P3DI DPR RI, 2024). KPU memang menurunkan angka kematian, tetapi gagal menghapus risiko: beban kerja ekstrem yang lahir dari sistem lima surat suara tetap menjadi “ranjau waktu” setiap kali pemilu digelar.

Ibarat mesin yang dipaksa berputar tanpa pelumas, sistem kepemiluan kita mengalami overheating. Satu kesalahan desain di pusat memunculkan ribuan potensi masalah di TPS. Demokrasi elektoral yang seharusnya berpusat pada rakyat justru memperlakukan penyelenggara akar rumput sebagai komponen yang bisa diganti, padahal merekalah penjaga utama integritas suara rakyat.

Saat Tidak Ada yang Melihat, Allah Tetap Mengawasi

Human-Centered Governance: Demokrasi yang Menghargai Kehidupan

Dalam teori tata kelola modern, konsep human-centered governance menempatkan manusia sebagai inti sistem demokrasi, bukan sekadar pelaksana kebijakan. Prinsip ini menuntut setiap kebijakan publik—termasuk desain pemilu—untuk memperhitungkan batas fisiologis, psikologis, dan sosial para petugas lapangan.

Namun penerapannya di Indonesia masih jauh dari ideal. Evaluasi DPR RI menunjukkan bahwa kebijakan mitigatif KPU belum memenuhi kebutuhan dasar seperti jam kerja wajar, waktu istirahat, dukungan medis, dan keamanan TPS. Sistem justru menekan mereka hingga titik rapuh. Demokrasi yang gagal melindungi pelaksananya akhirnya kehilangan jiwa dan berubah menjadi prosedur tanpa nurani.

Ironisnya, kita begitu sibuk memperdebatkan integritas digital Sirekap atau akurasi DPT, tetapi mengabaikan integritas biologis petugas pemilu. Kejujuran politik tidak akan berarti jika dijaga oleh manusia yang kelelahan.

Krisis Desain: Antara Idealitas dan Realitas

Pemilu serentak lima kotak lahir dari keputusan politik, bukan dari simulasi teknis. Banyak pakar menyebut model ini sebagai kompromi yang mengabaikan kapasitas administratif di lapangan. Akibatnya, beban kerja KPPS melonjak drastis. Penghitungan suara sering berlarut hingga dini hari, memicu kesalahan, ketegangan, bahkan insiden medis serius.

DPR RI dan organisasi masyarakat sipil seperti JPPR mendorong redesign pemilu dengan memisahkan pemilu nasional–daerah atau menyederhanakan jumlah surat suara. Reformasi ini bukan hanya teknis, tetapi moral: tidak ada demokrasi yang pantas berdiri di atas kelelahan atau kematian warganya.

Berbakti kepada Orang Tua Meski Telah Tiada

Digitalisasi Tahapan: Antara Harapan dan Kehati-hatian

Digitalisasi sebagian tahapan di TPS sering diusulkan sebagai solusi jangka menengah. Sistem pemindaian formulir atau e-rekap dapat mengurangi beban administratif petugas. Tetapi pengalaman Pemilu 2024 membuktikan bahwa teknologi tanpa kesiapan manusia justru memicu krisis kepercayaan. Sirekap yang salah membaca angka—dari “5” menjadi “555”—adalah contoh nyata.

Karena itu, digitalisasi harus mendukung, bukan mengganti manusia. Dalam kerangka human-centered design, teknologi harus menyesuaikan diri dengan kemampuan manusia. Pemerintah dan KPU perlu menyusun pelatihan berulang yang adaptif, agar setiap petugas memahami cara kerja sistem dan risikonya. Kesalahan algoritma bisa diperbaiki; kelelahan manusia tidak.

Menimbang Ulang Arti Demokrasi

Tragedi petugas KPPS mengungkap sisi gelap keberhasilan prosedural pemilu. Peristiwa ini mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal pemenang, tetapi tentang bagaimana proses berjalan dan siapa yang membayar biayanya. Dalam hal ini, demokrasi Indonesia masih berutang pada mereka yang gugur di meja rekapitulasi.

Kita perlu melihat pemilu sebagai kerja kemanusiaan yang memerlukan empati, bukan sekadar efisiensi. Demokrasi yang sehat diukur bukan dari cepatnya pengumuman hasil, tetapi dari seberapa manusiawi prosesnya.

Membangun Demokrasi yang Memelihara, Bukan Mengorbankan

Jika demokrasi adalah rumah bersama, maka petugas KPPS adalah fondasinya. Tanpa mereka, seluruh bangunan runtuh. Negara wajib menjamin keselamatan mereka sebagai prioritas konstitusional, bukan pelengkap kebijakan. Evaluasi total terhadap model pemilu serentak harus dilakukan sebelum Pilkada 2024, melibatkan ahli kesehatan kerja, psikologi organisasi, dan teknologi informasi.

Lapangan Penuh Kenangan: Doa yang Pernah Dititipkan

Kita harus beralih dari demokrasi berbasis beban ke demokrasi berbasis keberlanjutan manusia. Kedaulatan rakyat tidak akan tegak di atas tubuh yang tumbang. Pemilu yang manusiawi bukan cita-cita, tetapi syarat agar republik tetap bernyawa.

 

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.