SURAU.CO – Ketika Pemilu 2024 berakhir, yang tersisa bukan hanya angka partisipasi atau perolehan kursi di parlemen, melainkan juga residu kepercayaan yang mulai menipis. Kegagalan teknis Sirekap dan banjir disinformasi di media sosial meninggalkan pertanyaan mendasar: bagaimana publik dapat percaya pada hasil pemilu jika medium transparansinya justru menjadi sumber kebingungan? KPU, sebagai penjaga utama integritas elektoral, kini dihadapkan pada tantangan yang bukan hanya administratif, tetapi eksistensial.
Krisis Kepercayaan di Balik Kegagalan Digital
Dalam laporan DPR RI bertajuk Data Anomali dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) (2024), ditemukan ratusan kesalahan pembacaan hasil suara yang disebabkan oleh kegagalan teknologi Optical Character Recognition (OCR) dan Optical Mark Recognition (OMR). Misalnya, suara sah lima bisa terbaca menjadi 555 dalam tampilan publik portal KPU. Di era keterbukaan digital, anomali semacam itu bukan hanya kesalahan teknis; ia adalah bahan bakar bagi disinformasi yang merusak kepercayaan publik.
Dalam waktu singkat, media sosial menjadi medan perang narasi. Tudingan manipulasi suara beredar tanpa henti, memperkuat persepsi bahwa ada “tangan tak terlihat” dalam sistem rekapitulasi. KPU yang semestinya menjadi penjaga kebenaran informasi justru tersudut dalam krisis komunikasi publik. Penjelasan teknis yang lambat dan defensif membuat publik merasa ditinggalkan. Disinformasi pun mengisi kekosongan komunikasi yang seharusnya diisi oleh transparansi.
Di sinilah paradoks demokrasi digital muncul: ketika transparansi tanpa kesiapan teknologi justru memunculkan ilusi keterbukaan. Kepercayaan publik yang selama ini menjadi fondasi legitimasi politik berubah menjadi skeptisisme kolektif.
Disinformasi dan Kelemahan Komunikasi Publik KPU
Krisis kepercayaan terhadap KPU tidak muncul dari satu kesalahan saja. Krisis ini tumbuh dari lemahnya tata kelola komunikasi publik di tengah polarisasi politik yang semakin tajam. Evaluasi Komisi Informasi (2023) menunjukkan bahwa sebagian besar kanal resmi KPU masih memakai pola komunikasi satu arah—KPU hanya mengumumkan, bukan berdialog.
Dalam demokrasi elektoral modern, pendekatan ini sudah ketinggalan. Saat disinformasi menyebar secara cepat dan horizontal, respons institusi yang lambat dan birokratis tidak lagi cukup. Publik membutuhkan klarifikasi real-time, bukan konferensi pers dua hari kemudian. Keterlambatan informasi membuka ruang kosong yang langsung diisi rumor.
Survei CSIS (2023) menemukan bahwa hanya 75,1% pemilih muda yang masih mempercayai KPU. Angka ini jauh di bawah kepercayaan mereka terhadap lembaga seperti TNI atau Kepresidenan. Generasi digital yang hidup dalam arus informasi cepat menilai kredibilitas dari kemampuan menjawab isu dengan segera dan faktual, bukan dari janji formalitas.
Pada akhirnya, disinformasi bukan hanya persoalan teknologi. Kegagalan memahami budaya komunikasi politik baru—yang menuntut kecepatan, empati, dan transparansi—melemahkan kepercayaan publik.
Dari Legitimasi ke Kepercayaan: Kerangka Teoretis
Dalam teori Public Trust in Government (Bouckaert & Van de Walle, 2003), legitimasi lembaga publik tidak cukup bergantung pada kepatuhan aturan. Publik juga harus menilai bahwa lembaga bertindak jujur, terbuka, dan responsif. Dalam konteks pemilu, KPU perlu membangun kesan bahwa mereka bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga layak dipercaya secara moral.
Model serupa muncul dalam Electoral Integrity Framework dari Pippa Norris (2014). Ia menjelaskan bahwa integritas pemilu berdiri di atas tiga hal: kepercayaan pada institusi, integritas proses, dan penerimaan hasil. Jika satu rusak—misalnya karena kegagalan Sirekap atau komunikasi publik yang buruk—dua lainnya ikut melemah.
Selama ini KPU memusatkan perhatian pada integritas proses: menyiapkan prosedur, logistik, dan aturan tepat waktu. Namun dalam situasi polarisasi dan disinformasi, langkah ini tidak lagi cukup. Publik kini menilai integritas dari sejauh mana lembaga mau mengakui kesalahan dan merespons kritik secara terbuka.
Kepercayaan adalah kontrak sosial yang harus diperbarui setiap kali publik merasa sistem mengecewakan mereka. Legitimasi hanya memberi kewenangan; kepercayaanlah yang menjaga keberlanjutan lembaga.
Strategi Membangun Ulang Integritas Elektoral
KPU tidak bisa menghadapi krisis disinformasi sendirian. Untuk memulihkan kepercayaan publik, KPU perlu menggunakan pendekatan sistemik yang menggabungkan transparansi digital, kolaborasi lintas lembaga, dan edukasi publik. Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh antara lain:
- Audit Forensik Publik atas Sistem Teknologi Pemilu
Sebagaimana disarankan DPR RI (2024), audit independen terhadap Sirekap perlu dilakukan secara terbuka dan disiarkan kepada publik. Transparansi bukan hanya tentang membuka data, tetapi juga membuka proses validasi data. Audit semacam ini bukan bentuk ketidakpercayaan terhadap KPU, melainkan cara memulihkan kredibilitas melalui keterbukaan. - Kolaborasi Fact-Checking antara KPU, Media, dan CSO
KPU perlu menggandeng organisasi pemeriksa fakta seperti MAFINDO, AJI, dan CSO pemantau pemilu (misalnya Perludem, JPPR) dalam membentuk Election Integrity Hub—platform lintas sektor untuk memverifikasi hoaks seputar pemilu secara cepat dan terkoordinasi. Model kolaboratif ini telah terbukti efektif di negara seperti Taiwan dan Kanada dalam memerangi fake news politik. - Reformasi Komunikasi Publik dan Media Engagement
KPU harus bertransformasi dari lembaga administratif menjadi public communicator. Setiap tahapan pemilu—dari pendaftaran hingga rekapitulasi—harus memiliki real-time briefing di kanal digital resmi yang mudah diakses, terutama bagi generasi muda. Strategi komunikasi ini harus bersifat dua arah, memungkinkan publik untuk mengajukan pertanyaan dan mendapatkan klarifikasi langsung. - Pendidikan Literasi Digital Pemilih Muda
Pemilih Gen Z yang menjadi basis terbesar pada Pemilu 2024 memerlukan pendekatan baru dalam literasi politik. Alih-alih sosialisasi konvensional, KPU dapat memanfaatkan gamification, microlearning, dan kolaborasi dengan influencer edukatif untuk membangun kesadaran kritis terhadap hoaks politik.
Dengan langkah-langkah tersebut, integritas elektoral tidak hanya menjadi jargon kelembagaan, melainkan praktik sosial yang hidup di tengah masyarakat digital.
Kepercayaan Sebagai Nafas Demokrasi
Demokrasi tidak akan bertahan karena prosedur, melainkan karena kepercayaan. Ketika warga merasa suara mereka benar-benar dihitung dan didengar, barulah legitimasi berubah menjadi konsensus sosial. Pemilu 2024 memberi pelajaran berharga: teknologi tanpa integritas hanya akan mempercepat kerusakan, dan transparansi tanpa komunikasi hanya akan menambah kebingungan.
KPU perlu berani menafsirkan ulang perannya—bukan sekadar penyelenggara, tetapi penjaga moral demokrasi. Dalam era disinformasi, tugas terbesar lembaga ini bukan hanya menghitung suara, tetapi memastikan setiap warga masih percaya bahwa demokrasi layak diperjuangkan.
Oleh : Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
