CM Corner
Beranda » Berita » Demokrasi dari Pinggiran Pelajaran dari Supiori dan Kutai Kartanegara

Demokrasi dari Pinggiran Pelajaran dari Supiori dan Kutai Kartanegara

Ilustrasi Gambar

SURAU.CO – Demokrasi tidak selalu tumbuh dari pusat. Kadang, denyut sejatinya justru bergetar di tempat-tempat yang jauh dari sorotan: di antara pegunungan Papua, atau di tepian sungai Mahakam, di mana petugas KPU mengantarkan logistik dengan perahu kayu dan tekad yang tak kalah kokoh dari gelombang. Dari Supiori hingga Kutai Kartanegara, wajah demokrasi Indonesia tampak seperti mozaik yang tak selalu simetris—ada yang penuh warna keberhasilan, ada pula yang retak karena keterbatasan. Inilah pelajaran berharga tentang demokrasi dari pinggiran.

Ketimpangan Kinerja: Antara Pusat dan Daerah

Data evaluasi penyelenggaraan Pilkada menunjukkan adanya ketimpangan kinerja KPU di berbagai daerah. Di Kabupaten Supiori, Papua, tantangan geografis menjadi hambatan utama. Pulau-pulau kecil, medan berat, dan minimnya infrastruktur transportasi menyulitkan distribusi logistik pemilu. Banyak petugas harus berjalan kaki berjam-jam melintasi hutan atau menunggu cuaca membaik untuk menyeberang antar-pulau. Akibatnya, proses rekapitulasi dan distribusi surat suara sering tertunda, bahkan kadang harus diulang karena logistik rusak atau terlambat tiba.

Di sisi lain, Kutai Kartanegara (Kukar) di Kalimantan Timur menunjukkan kondisi sebaliknya. Dengan infrastruktur yang lebih baik dan kapasitas kelembagaan yang memadai, KPU setempat berhasil menjalankan Pilkada 2020 dengan lancar dan tanpa sengketa berarti. Kinerja ini membuktikan bahwa keberhasilan pemilu tidak hanya bergantung pada kebijakan nasional, tetapi juga pada kemampuan daerah menyesuaikan proses pemilu dengan konteks lokal.

Sentralisasi yang Kaku di Negeri yang Majemuk

Indonesia adalah negara kepulauan yang kompleks, tetapi desain manajemen pemilunya masih sangat tersentralisasi. KPU di daerah sering menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan pusat tanpa ruang adaptasi yang cukup. Padahal, kondisi geografis, sosial, dan ekonomi antarwilayah sangat berbeda. Dalam logika demokrasi, satu model penyelenggaraan untuk seluruh Indonesia ibarat satu ukuran sepatu untuk semua kaki: pasti ada yang tidak pas.

Keterbatasan ini menimbulkan inefisiensi sekaligus ketidakadilan. Di daerah seperti Supiori, tantangan logistik menambah beban finansial negara. Sementara di daerah seperti Kukar, sumber daya justru berlebih dan tidak dimanfaatkan optimal. Kesenjangan semacam ini menunjukkan kelemahan mendasar dari pendekatan yang terlalu seragam. Demokrasi elektoral yang sehat seharusnya tidak hanya menjamin kesetaraan formal (setiap warga berhak memilih) tetapi juga kesetaraan substantif. Bahwa setiap warga, di manapun ia tinggal, memiliki akses yang setara terhadap proses demokrasi yang berkualitas.

Saat Tidak Ada yang Melihat, Allah Tetap Mengawasi

Dari Kasus Supiori dan Kutai: Dua Cermin Demokrasi

Supiori dan Kutai Kartanegara memberikan dua pelajaran penting. Supiori mengingatkan bahwa demokrasi bisa tersandung oleh keterbatasan fisik. Di sana, persoalan bukan pada niat, tetapi pada jarak dan cuaca. Petugas KPU harus menjadi sekaligus navigator dan penjaga suara rakyat. Ketika infrastruktur absen, demokrasi menjadi perjuangan harfiah melawan alam. Sementara itu, Kutai menunjukkan bagaimana kapasitas kelembagaan lokal dan sinergi antar-pemangku kepentingan menjadi kunci keberhasilan. Transparansi, kedisiplinan administratif, dan dukungan publik yang kuat menjadikan pelaksanaan Pilkada berjalan tertib dan efisien.

Dua kisah ini menggarisbawahi ironi: ketika sistem pusat terlalu dominan, inovasi lokal kehilangan ruang. Padahal, demokrasi sejatinya tumbuh dari partisipasi warga di tingkat paling bawah—bukan sekadar dari instruksi teknokratis di Jakarta.

Membedah Kelemahan Model Tersentralisasi

Dari perspektif teori election management body (EMB), kelemahan struktural KPU daerah mencerminkan kegagalan adaptasi institusional. Model manajemen pemilu yang terlalu birokratis mengabaikan prinsip subsidiarity dalam tata kelola pemerintahan: bahwa urusan publik seharusnya diserahkan kepada level pemerintahan yang paling dekat dengan warga, sejauh mereka mampu menanganinya. Dalam konteks pemilu, hal ini berarti bahwa KPU daerah seharusnya memiliki otonomi untuk merancang strategi logistik, sosialisasi, dan rekrutmen petugas sesuai kondisi lapangan.

Pendekatan tersentralisasi juga bertentangan dengan semangat human-centered governance, di mana desain kebijakan seharusnya berangkat dari kebutuhan dan keterbatasan manusia yang terlibat di lapangan. Ketika perencanaan dilakukan dari balik meja pusat tanpa memahami realitas lokal, maka demokrasi kehilangan wujud kemanusiaannya—menjadi sekadar prosedur, bukan pengalaman kolektif.

Menuju Desentralisasi Adaptif: Jalan Tengah untuk Reformasi

Solusi paling realistis bukan memperbanyak anggaran atau menambah aturan, tetapi menerapkan desentralisasi adaptif dalam tata kelola pemilu. Prinsipnya jelas: daerah dengan tantangan geografis tinggi perlu menerima kewenangan dan sumber daya lebih besar, sementara daerah efisien seperti Kutai bisa menjadi contoh replikasi. Para peneliti kini mengusulkan penggunaan Indeks Kesulitan Geografis (IKG) sebagai dasar alokasi logistik dan pendanaan pemilu.

Berbakti kepada Orang Tua Meski Telah Tiada

Dengan pendekatan ini, pemerintah dan penyelenggara pemilu tidak lagi memperlakukan Supiori sama dengan Jakarta atau Surabaya. Mereka menilai setiap wilayah berdasarkan aksesibilitas, infrastruktur, dan risiko logistiknya. Semakin tinggi tingkat kesulitan, semakin besar sumber daya yang mereka berikan. Kebijakan ini dapat meningkatkan efisiensi sekaligus memperkuat rasa keadilan elektoral.

Selain itu, KPU dapat membentuk unit teknis regional dengan kewenangan khusus di bidang logistik dan pelatihan petugas. Unit ini menjembatani kebutuhan adaptasi lokal tanpa mengabaikan prinsip nasionalitas. Dengan cara ini, desentralisasi tidak menciptakan fragmentasi, tetapi mendorong sinergi.

Demokrasi yang Berakar, Bukan Sekadar Berpusat

Supiori dan Kutai Kartanegara mengajarkan bahwa kualitas demokrasi tidak hanya bergantung pada hasil nasional, tetapi pada kemampuan sistem menjamin setiap suara dihitung secara adil dan manusiawi. Demokrasi yang kuat di pusat tetapi rapuh di pinggiran akan menghasilkan demokrasi yang pincang.

Dalam perspektif filsafat politik, demokrasi sejati menuntut kesetaraan dalam akses terhadap keadilan politik. Setiap warga—baik di kota besar maupun pulau terpencil—harus mendapat kesempatan yang sama untuk berpartisipasi tanpa hambatan struktural. Supiori mungkin tidak memiliki gedung KPU yang megah, tetapi semangat warga dan petugasnya membuktikan bahwa legitimasi demokrasi teruji di tempat-tempat seperti itu.

Demokrasi yang Menyapa dari Ujung Nusantara

Demokrasi dari pinggiran bukan bercerita tentang ketertinggalan, tetapi tentang keteguhan. Supiori dan Kutai Kartanegara menunjukkan dua wajah Indonesia yang berbeda. Lebih lanjut, keduanya memberikan pesan sama: demokrasi akan matang jika ia mendengar suara dari tepian. Bagi KPU, pelajaran ini menegaskan bahwa keberhasilan nasional tidak cukup diukur dari jumlah TPS yang tuntas. Lebih jauh, perlu dilihat dari kemampuan proses pemilu menjangkau semua warga tanpa kecuali. Pada akhirnya, demokrasi yang baik bukan yang tercepat menghitung suara, tetapi yang paling sungguh-sungguh menghitung manusia di balik setiap suara itu.

Lapangan Penuh Kenangan: Doa yang Pernah Dititipkan

 

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.