Khazanah
Beranda » Berita » Pluralisme Agama Antara Cita Ideal dan Tantangan Realitas

Pluralisme Agama Antara Cita Ideal dan Tantangan Realitas

Pluralisme Agama Antara Cita Ideal dan Tantangan Realitas
Pluralisme Agama Antara Cita Ideal dan Tantangan Realitas

 

SURAU.CO – Dalam panggung percakapan global dan lokal dewasa ini, istilah “pluralisme agama” kerap muncul bagai mantra penawar bagi segala ketegangan dan konflik bernuansa agama. Ia dipromosikan sebagai puncak toleransi, fondasi masyarakat modern, dan solusi bagi keragaman keyakinan. Namun, di balik popularitas dan daya tariknya yang seolah-olah taken for granted, tersembunyi lapisan pemahaman, asumsi filosofis, dan implikasi yang kompleks serta sering kali kontroversial.

Buku Anis Malik Thoha, “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis”, hadir sebagai pisau bedah intelektual yang tajam dan berani untuk mengupas tuntas wacana ini, mengajak kita untuk tidak sekadar menerima narasi umum, tetapi menelusuri akar, cabang, dan buah dari gagasan pluralisme agama kontemporer.

Dekonstruksi Konsep: Dari “Keragaman” ke “Penyamarataan”

Langkah pertama dan paling fundamental dalam tinjauan kritis Anis Malik Thoha adalah pembedaan tegas antara “pluralitas” (atau keragaman) sebagai fakta sosiologis dan “pluralisme” sebagai ideologi atau paham filosofis. Pluralitas agama adalah realita yang tak terbantahkan; masyarakat kita terdiri dari penganut berbagai keyakinan. Pengakuan terhadap fakta ini, disertai sikap hidup rukun dan saling menghargai dalam perbedaan, merupakan bagian dari kearifan peradaban yang panjang, termasuk dalam tradisi Islam yang mengakui “Lakum dinukum waliyadin”.

Namun, pluralisme sebagai paham khususnya dalam bentuknya yang dominan di wacana Barat kontemporer melangkah jauh lebih jauh. Ia bukan sekadar mengakui eksistensi yang lain, tetapi sering kali membawa muatan klaim bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah dan valid menuju Tuhan atau Realitas Ultim yang sama. Inilah yang sering disebut “pluralisme agama normatif” atau “teologi pluralis”. Di sini, perbedaan agama dipandang hanya pada level eksoteris (kulit luar), sementara pada level esoteris (inti) semua bertemu dalam satu kebenaran universal. Kebenaran agama menjadi relatif, atau dalam bahasa populer, “semua agama sama benarnya”.

Hamba yang Teguh Di Tengah Ujian

Anis Malik Thoha, dengan merujuk pada sejumlah pemikir kunci pluralisme seperti John Hick, Wilfred Cantwell Smith, dan Aloysius Pieris, menunjukkan bagaimana paham ini berusaha mendekonstruksi klaim kebenaran eksklusif yang dipegang oleh agama-agama tradisional, khususnya agama-agama Ibrahimik (Yahudi, Kristen, Islam). Agama tidak lagi dilihat sebagai wahyu atau jalan keselamatan yang unik, tetapi lebih sebagai respons kultural dan historis yang beragam terhadap Yang Ilahi. Titik tekan berpindah dari “kebenaran” (truth) menuju “manfaat” (utility) dan “pengalaman” (experience).

Kritik Epistemologis dan Teologis

Analisis kritis Anis Malik Thoha terhadap landasan epistemologi pluralisme agama adalah salah satu sumbangan terpenting bukunya. Ia mempertanyakan, atas dasar apa para penganjur pluralisme normatif membuat klaim besar bahwa semua agama pada dasarnya sama? Apakah klaim ini sendiri bukan sebuah “kebenaran” yang dianggap absolut dan universal, yang justru bersifat eksklusif terhadap pandangan agama-agama yang menolak premis tersebut?

Pertanyaan ini menyentuh paradoks dalam tubuh pluralisme itu sendiri. Ketika ia menyatakan bahwa “semua klaim kebenaran eksklusif adalah salah”, maka pernyataan itu sendiri adalah sebuah klaim kebenaran eksklusif. Lebih jauh, pendekatan yang mencoba menempatkan semua agama dalam satu kerangka “kesamaan esensi” sering kali melakukan reduksi dan kekerasan terhadap integritas dan sistem keyakinan masing-masing agama. Islam dengan tauhidnya, Kristen dengan trinitas dan penebusannya, Buddha dengan jalan pembebasannya semua dipaksa untuk dimasukkan ke dalam cetakan teori yang sudah dibuat sebelumnya. Proses ini tidak netral, tetapi sarat dengan asumsi-asumsi filosofis Barat pasca-Pencerahan yang mungkin asing bagi tradisi agama yang dikaji.

Dari perspektif teologi Islam, pluralisme model ini jelas berbenturan dengan doktrin-doktrin fundamental. Al-Qur’an, sementara mengakui keragaman umat manusia dan bahkan memberikan penghormatan kepada nabi-nabi sebelumnya, juga menegaskan dengan jelas tentang finalitas dan kebenaran Islam (QS. Ali Imran: 19, 85). Konsep “keselamatan” dalam Islam terkait erat dengan iman kepada Allah, para Rasul, dan hari akhir, serta pelaksanaan syariat. Menyamaratakan semua jalan tanpa kriteria jelas, bagi pandangan Islam ortodoks, merupakan pengaburan terhadap batas antara iman dan kufur, hak dan batil.

Implikasi Sosial dan Ancaman terhadap Identitas

Melampaui kritik teologis, Anis Malik Thoha juga menyoroti implikasi sosial-politik dari paham pluralisme agama yang radikal. Ketika kebenaran agama direlatifkan sepenuhnya, yang tersisa hanyalah etika universal yang sering kali dikonstruksi berdasarkan nilai-nilai sekuler-liberal. Agama kemudian hanya dihargai sejauh ia mendukung nilai-nilai tersebut, seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan kesetaraan gender versi Barat. Jika ada ajaran agama yang dianggap tidak sesuai, maka ajaran itu yang harus ditafsir ulang atau ditinggalkan. Agama kehilangan otoritasnya sebagai sumber nilai transenden dan direduksi menjadi budak ideologi zaman.

Didiklah Anak Mengutamakan Shalat Subuh

Bagi masyarakat Muslim, penerimaan tanpa reserve terhadap paham ini berpotensi menggerogoti fondasi identitas keagamaan. Generasi muda bisa menjadi bingung: jika semua agama sama, lalu untuk apa berpegang teguh pada syariat yang spesifik? Untuk apa berdakwah? Untuk apa berbangga sebagai Muslim? Dalam jangka panjang, ini dapat melahirkan generasi yang “cair” secara teologis, mudah terombang-ambing, dan kehilangan daya kritis untuk membedakan antara yang hak dan yang batil, karena semuanya dianggap “sama-sama benar”.

Pluralisme dalam Bingkai Islam: Menuju “Dialog yang Tulus”

Lantas, apakah tinjauan kritis Anis Malik Thoha berarti menolak sama sekali kerukunan antarumat beragama? Sama sekali tidak. Justru dengan membedakan secara jelas antara pluralitas (fakta) dan pluralisme (paham), ia membuka jalan bagi bentuk ko-eksistensi yang lebih autentik dan jujur.

Islam menawarkan paradigma hubungan antar-agama yang tidak naif namun realistis, tidak sinkretik namun kooperatif. Paradigma itu dibangun di atas beberapa pilar:

  1. Pengakuan terhadap Hak Eksistensi dan Keyakinan Orang Lain (QS. Al-Kafirun: 6). Ini adalah dasar toleransi sesungguhnya: saya menghormati hak Anda untuk percaya pada apa yang Anda yakini, meskipun saya tidak meyakininya.

  2. Kesediaan untuk Berdialog dan Bekerja Sama dalam Kebaikan (QS. Ali Imran: 64). Dialog bukan untuk mencapai kesamaan keyakinan, tetapi untuk saling mengenal (QS. Al-Hujurat: 13), mencari titik temu dalam nilai-nilai kemanusiaan universal (seperti keadilan, anti-penindasan), dan bersama-sama membangun kemaslahatan masyarakat.

    Menata Ulang Arsitektur Regulasi: UU Pemilu dan Tantangan Adaptasi Teknologi

  3. Keteguhan pada Prinsip dan Identitas. Dialog yang tulus justru mensyaratkan masing-masing pihak datang dengan keyakinan penuh, bukan dengan keraguan atau relativisme. Dari posisi keyakinan inilah, pertukaran pemikiran yang bermartabat bisa terjadi.

Dalam konteks Indonesia, tinjauan kritis Anis Malik Thoha amat relevan. Negara kita bukan negara sekuler yang memandang agama sebagai urusan privat semata, juga bukan negara teokrasi. Indonesia adalah negara yang dibangun di atas fondasi ketuhanan yang berkebudayaan, dengan Pancasila sebagai modus vivendi. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” mengakui fakta pluralitas, namun tidak memaksakan paham pluralisme normatif.

Kerukunan yang kita cita-citakan adalah kerukunan yang menghargai perbedaan, bukan yang menyamaratakan semua perbedaan. Badan-badan seperti FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) sejatinya bekerja dalam kerangka ini: membangun komunikasi dan mengelola keragaman, bukan menyebarkan paham bahwa semua agama sama.

Penutup: Kebijaksanaan dalam Menyikapi Arus Global

Buku “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” karya Anis Malik Thoha adalah bacaan wajib bagi siapa saja yang serius merenungkan hubungan antar-agama di zaman global ini. Ia mengajak kita untuk tidak terjebak dalam dikotomi simplistik: menerima pluralisme tanpa reserve di satu pihak, atau menolak kerukunan dan menutup diri di pihak lain.

Hikmah yang dapat kita petik adalah pentingnya kejelasan kategori dan kejujuran intelektual. Kita harus mampu membedakan antara sikap sosial yang inklusif dan toleran, dengan keyakinan teologis yang memiliki batasan-batasan jelas. Seorang Muslim bisa menjadi warga negara yang paling kooperatif dan damai dengan tetangganya yang berbeda agama, sambil tetap meyakini kebenaran agamanya dan berharap dapat berbagi kebenaran itu dengan cara yang baik.

Di tengah gelombang globalisasi yang sering membawa serta paham relativisme agama. Umat beragama khususnya Muslim dituntut untuk memiliki fiqh al-waqi’ (pemahaman realitas) yang baik dan tsaqafah (wawasan) yang luas. Kita perlu memahami ide-ide yang beredar, menganalisisnya secara kritis. Dan menyikapinya dengan bijak berdasarkan keyakinan kita, bukan sekadar ikut arus atau menolak mentah-mentah.

Hanya dengan pendirian yang teguh pada prinsip, pemahaman yang mendalam tentang yang lain. Dan komitmen pada keadilan serta kemaslahatan bersama, kita dapat membangun kehidupan bermasyarakat. Yang tidak hanya rukun, tetapi juga bermartabat dan penuh hikmah. Wallahua’lam bish showab. (Inayatullah A. Hasyim)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement