CM Corner
Beranda » Berita » Menuju KPU yang Adaptif: Reformasi Sistemik untuk Konsolidasi Demokrasi

Menuju KPU yang Adaptif: Reformasi Sistemik untuk Konsolidasi Demokrasi

Ilustrasi Gambar CM Corner
Menuju KPU yang Adaptif: Reformasi Sistemik untuk Konsolidasi Demokrasi

SURAU.CO Reformasi demokrasi Indonesia telah memasuki babak baru. Setelah dua dekade lebih melewati pasang surut penyelenggaraan pemilu, publik kini menuntut lebih dari sekadar kesuksesan teknis. Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai penyelenggara utama pesta demokrasi, dihadapkan pada ujian besar: bagaimana bertransformasi dari lembaga yang sekadar menjalankan mandat prosedural menjadi institusi yang adaptif terhadap kompleksitas zaman—dari polarisasi politik hingga disrupsi digital.

Evaluasi Umum: Capaian dan Keterbatasan KPU 2019–2024

Evaluasi terhadap kinerja KPU periode 2019–2024 menunjukkan pencapaian yang impresif di permukaan. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 mencapai lebih dari 80%, angka yang oleh banyak pihak disebut sebagai salah satu indikator keberhasilan demokrasi elektoral. Namun, di balik data kuantitatif tersebut, terdapat paradoks kinerja yang perlu dicermati lebih dalam.

Survei Indikator Politik Indonesia (2024) mencatat bahwa 82% warga mengaku puas terhadap pelaksanaan pemilu. Tetapi angka ini ternyata tidak sepenuhnya mencerminkan kinerja teknis KPU. Tingkat kepuasan publik sangat dipengaruhi oleh afiliasi politik—91% pemilih pasangan pemenang menyatakan puas, sementara hanya 69% dari kubu oposisi yang merasakan hal serupa. Artinya, kepuasan bukanlah cerminan objektif dari kinerja kelembagaan, melainkan pantulan preferensi politik di tengah masyarakat yang terbelah. Dalam konteks ini, legitimasi KPU perlu diukur bukan dari kepuasan semu, melainkan dari sejauh mana lembaga ini mampu menjaga integritas dan keadilan kompetisi politik.

Analisis Sistemik: SDM, Teknologi, dan Tata Kelola

Kelemahan paling nyata dari penyelenggaraan Pemilu 2024 terletak pada tiga aspek mendasar: sumber daya manusia, teknologi, dan tata kelola kelembagaan.

Pertama, aspek SDM. Tragedi kemanusiaan akibat kelelahan petugas ad hoc masih membekas sebagai luka lama. Meskipun jumlah korban menurun dibanding Pemilu 2019 (dari 894 menjadi 181 jiwa), ribuan petugas tetap jatuh sakit karena harus bekerja dalam beban yang ekstrem dan jadwal yang tidak realistis (DPR RI, Info Singkat, 2024). Desain pemilu serentak dengan lima surat suara membuat para petugas kewalahan. Upaya administratif seperti membatasi usia dan menaikkan honorarium belum menyelesaikan akar persoalan tersebut.

Menata Ulang Arsitektur Regulasi: UU Pemilu dan Tantangan Adaptasi Teknologi

Kedua, aspek teknologi. KPU gagal memastikan kesiapan digitalisasi pemilu melalui Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Sistem ini memunculkan krisis kepercayaan karena salah membaca angka dan menghasilkan berbagai anomali data—misalnya suara “5” terbaca menjadi “555”. DPR RI mencatat bahwa kegagalan ini terjadi akibat lemahnya fungsi audit, rendahnya kualitas kamera, dan tidak adanya standar keamanan data (DPR RI, Data Anomali Sirekap, 2024). KPU terlalu cepat mengandalkan teknologi tanpa membangun mekanisme pengawasan publik dan audit independen yang memadai.

Ketiga, aspek tata kelola. KPU masih menunjukkan lemahnya koordinasi antarlevel kelembagaan, terutama antara pusat dan daerah. Banyak KPU kabupaten/kota di wilayah terpencil, seperti Supiori dan Bone, menghadapi keterbatasan SDM, anggaran, dan infrastruktur (IPDN, 2020). Sebaliknya, daerah seperti Kutai Kartanegara mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik berkat penguatan kapasitas lokal. Kondisi ini menunjukkan bahwa model penyelenggaraan yang terlalu tersentralisasi justru menghambat efektivitas kerja di tingkat daerah.

Konteks Teori: Good Electoral Governance dan Adaptive Institutions

Dalam literatur politik modern, konsep good electoral governance menekankan pentingnya kombinasi antara integritas, efisiensi, dan adaptivitas lembaga penyelenggara pemilu. KPU tidak hanya diukur dari kemampuan menyelenggarakan pemilu tepat waktu, tetapi juga dari kepekaannya terhadap perubahan sosial dan teknologi.

Teori adaptive institutions menjelaskan bahwa institusi publik yang berhasil adalah yang mampu belajar dari kesalahan dan menyesuaikan diri terhadap konteks yang berubah (Peters & Pierre, 2019). Dalam hal ini, KPU perlu bergerak dari paradigma birokratis ke paradigma pembelajaran kelembagaan (learning organization). Misalnya, kegagalan Sirekap seharusnya tidak sekadar ditutup dengan klarifikasi, melainkan dijadikan bahan audit terbuka untuk perbaikan sistem di masa depan. Begitu pula tragedi petugas KPPS harus dibaca bukan sebagai insiden administratif, tetapi sebagai indikator disfungsi desain kebijakan.

Dalam kerangka electoral integrity theory, kredibilitas KPU ditentukan oleh sejauh mana ia menjaga keadilan, transparansi, dan akuntabilitas di seluruh siklus pemilu—dari pendaftaran hingga rekapitulasi suara. KPU, dalam hal ini, seharusnya menjadi lembaga yang tidak hanya patuh terhadap hukum, tetapi juga sadar etika dan tanggung jawab moral terhadap publik.

Mengelola Pemilu Sebagai Sistem, Bukan Acara Lima Tahunan

Arah Reformasi: Membangun KPU yang Adaptif dan Kredibel

KPU yang adaptif adalah KPU yang berani melakukan reformasi dari dalam. Setidaknya ada tiga arah pembenahan strategis yang perlu digarisbawahi.

  1. Reformasi Teknologi dan Transparansi Publik
    Digitalisasi pemilu harus berbasis pada prinsip accountability by design. Audit sistem seperti Sirekap harus dilakukan secara independen oleh lembaga eksternal dan melibatkan partisipasi publik. KPU juga perlu memperjelas posisi hukum dari setiap teknologi yang digunakan agar tidak menimbulkan kebingungan antara alat bantu dan hasil resmi. Pengalaman Kenya dan Pakistan menunjukkan bahwa ketergesa-gesaan dalam digitalisasi pemilu tanpa pengawasan publik justru menimbulkan krisis legitimasi.
  2. Penguatan Kapasitas dan Desentralisasi Kelembagaan
    Desentralisasi bukan berarti kehilangan kontrol, tetapi membangun kepercayaan dan kapasitas di tingkat lokal. Daerah dengan tingkat kesulitan geografis tinggi membutuhkan model anggaran dan sumber daya manusia yang lebih fleksibel. Reformasi internal KPU perlu membuka ruang inovasi bagi KPU daerah agar dapat menyesuaikan strategi penyelenggaraan dengan karakteristik wilayah masing-masing.
  3. Reformasi SDM dan Etika Penyelenggara
    KPU perlu membangun sistem pelatihan berkelanjutan berbasis kompetensi dan integritas. Selain itu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) perlu memperkuat penegakan kode etik dengan mekanisme yang lebih transparan dan sanksi yang lebih tegas. Pelanggaran etika penyelenggara bukan sekadar kesalahan personal, tetapi ancaman terhadap legitimasi demokrasi itu sendiri.

Dari Reaksi ke Adaptasi

Pemilu yang baik tidak hanya diukur dari lancarnya proses pemungutan suara, tetapi dari seberapa dalam sistem demokrasi belajar dari setiap kegagalannya. KPU yang adaptif adalah lembaga yang tidak takut dievaluasi, tidak alergi terhadap kritik, dan berani memperbaiki diri dengan berbasis data dan refleksi.

Sebagaimana ditegaskan dalam laporan evaluasi DPR RI dan temuan CSO seperti JPPR dan Perludem, masa depan demokrasi Indonesia tidak lagi hanya soal partisipasi, tetapi tentang kualitas penyelenggaraannya. Reformasi KPU harus bergerak dari responsif menjadi reflektif—dari sekadar menanggapi masalah menuju kemampuan memprediksi dan mencegahnya.

Pada akhirnya, konsolidasi demokrasi tidak akan tercapai hanya dengan mengganti aturan, tetapi dengan membangun kepercayaan. Dan kepercayaan, sebagaimana demokrasi itu sendiri, tidak lahir dari kesempurnaan, melainkan dari kemampuan untuk terus belajar dan berbenah.

Oleh : Dewan Redaksi

Menjaga Demokrasi dari Kelelahan Institusional


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement