SURAU.CO— Setiap pemilu di Indonesia selalu diwarnai cerita heroik para petugas ad hoc: bekerja hingga dini hari, menjaga logistik di tengah hujan, dan mengawal surat suara sampai pelosok negeri. Namun di balik semangat itu, terselip ironi. Pada Pemilu 2024, tercatat 181 petugas meninggal dunia dan lebih dari 4.700 mengalami sakit atau kecelakaan kerja. Angka ini memang menurun dari 2019, tetapi masih menandakan kegagalan sistemik. Demokrasi kita telah bertumpu pada tenaga yang sifatnya sementara, namun menanggung beban struktural dari sistem yang semakin kompleks. Inilah titik tolak refleksi kita: adakah demokrasi bisa berkelanjutan jika penopangnya terus kelelahan?
Beban Ad Hoc dan Kerapuhan Institusional
Model penyelenggara pemilu berbasis badan ad hoc lahir dari semangat efisiensi dan partisipasi. Namun dalam praktiknya, sistem ini melahirkan kelelahan institusional. KPPS, PPS, dan PPK bekerja hanya dalam siklus singkat, tanpa jaminan karier atau kesinambungan pelatihan. Setiap lima tahun, proses rekrutmen dimulai dari nol, seolah pengalaman masa lalu tidak pernah diwariskan. Kelemahan ini berdampak langsung pada kualitas teknis dan akuntabilitas penyelenggaraan pemilu.
KPU memang telah berupaya melakukan mitigasi—dari pembatasan usia petugas hingga peningkatan honorarium—tetapi langkah-langkah itu bersifat reaktif, bukan struktural. Seperti menambal perahu bocor di tengah badai, tanpa membangun kapal yang lebih kokoh. Kelelahan dan turnover tinggi menjadikan profesionalisme penyelenggara sulit tumbuh secara berkelanjutan.
Analisis: Profesionalisme yang Terputus dan Risiko Demokrasi
Kegagalan membangun kapasitas kelembagaan permanen menyebabkan proses pembelajaran institusional (organizational learning) berjalan timpang. Tidak ada mekanisme sistematis untuk mengarsipkan pengalaman, mengevaluasi kegagalan, dan menerapkan perbaikan lintas siklus. Akibatnya, kesalahan teknis dan administratif terus berulang dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
Dari perspektif institutional resilience, ketergantungan pada tenaga ad hoc membuat sistem demokrasi rapuh menghadapi tekanan politik dan logistik. Ketika penyelenggara bersifat sementara, insentif untuk menjaga reputasi jangka panjang melemah. Padahal, kepercayaan publik pada KPU sebagai Election Management Body (EMB) sangat bergantung pada persepsi profesionalisme dan konsistensi etik aparatnya.
Lebih jauh, fenomena ini berimplikasi pada integritas elektoral. Profesionalisme yang terputus mengaburkan garis tanggung jawab: siapa yang harus belajar dari kesalahan? Siapa yang bertanggung jawab jika kesalahan terulang? Dalam ruang hampa ini, akuntabilitas menjadi samar, dan legitimasi lembaga pun goyah.
Teori: Institutional Resilience dan Organizational Learning
Teori institutional resilience menekankan kemampuan lembaga publik untuk bertahan dan beradaptasi terhadap guncangan melalui akumulasi pengalaman dan inovasi. Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, resiliensi berarti kemampuan KPU untuk mengubah setiap krisis menjadi pelajaran institusional. Sayangnya, sistem ad hoc tidak menyediakan fondasi bagi proses ini.
Sementara itu, teori organizational learning (Argyris & Schön, 1978) menegaskan bahwa organisasi hanya dapat berkembang jika memiliki mekanisme reflektif: menilai kegagalan, memperbaiki prosedur, dan menginternalisasi nilai-nilai profesionalisme. Namun siklus ad hoc memutus rantai pembelajaran ini. Setiap generasi penyelenggara baru harus belajar dari awal, bukan dari sejarah kelembagaan.
Dalam konteks ini, KPU perlu berpindah dari short-term mobilization logic menuju continuous institutional capacity. Artinya, membangun kelembagaan yang tidak hanya responsif menjelang pemilu, tetapi juga produktif di antara pemilu. Pemilu bukanlah proyek musiman, melainkan infrastruktur demokrasi yang harus dipelihara setiap hari.
Menuju Electoral Professional Corps: Reformasi Struktural
Salah satu rekomendasi kunci yang muncul dalam berbagai evaluasi akademik dan parlemen adalah pembentukan Electoral Professional Corps — korps profesional penyelenggara pemilu yang bersifat permanen dan berjenjang. Korps ini tidak sekadar birokratisasi baru, melainkan transformasi paradigma.
Pertama, KPU dapat menetapkan sistem karier nasional berbasis kompetensi, dengan pelatihan berkelanjutan dan sertifikasi etik yang terstandar. Dengan demikian, pengalaman dari pemilu sebelumnya menjadi modal kelembagaan, bukan sekadar kenangan personal.
Kedua, korps ini dapat berfungsi sebagai pusat inovasi elektoral—mengembangkan riset, teknologi, dan evaluasi kebijakan pemilu berbasis data. Ketiga, pembentukan lembaga ini memungkinkan desentralisasi adaptif: penempatan personel disesuaikan dengan Indeks Kesulitan Geografis (IKG), sehingga daerah-daerah seperti Supiori atau Pegunungan Arfak tidak lagi menjadi titik rawan logistik semata.
Konsep Electoral Professional Corps bukan ide utopis. Negara-negara seperti Meksiko melalui Instituto Nacional Electoral (INE) dan India dengan Election Commission of India telah membangun korps profesional yang bekerja lintas siklus. Profesionalisme permanen memungkinkan inovasi administratif tanpa kehilangan akuntabilitas publik.
Politik Anggaran dan Tantangan Implementasi
Tantangan terbesar dalam reformasi ini bukan teknis, melainkan politis. DPR dan pemerintah sering memandang pemilu sebagai event-driven project dengan logika anggaran jangka pendek. Padahal, membangun korps profesional membutuhkan investasi berkelanjutan: pendidikan, infrastruktur, dan sistem karier. Di sinilah urgensi kebijakan jangka panjang—menempatkan demokrasi bukan sebagai biaya, tetapi sebagai investasi institusional.
Selain itu, resistensi bisa datang dari dalam birokrasi itu sendiri. Transformasi menuju lembaga profesional akan menggeser pola patronase dan membuka kebutuhan baru akan transparansi rekrutmen. Namun tanpa langkah berani ini, KPU akan terus menjadi “institusi temporer” dalam demokrasi permanen.
Menyemai Integritas, Bukan Sekadar Mengelola Pemilu
Reformasi kelembagaan bukan sekadar soal efisiensi, tetapi juga tentang membangun kepercayaan. Dalam teori public trust, legitimasi politik lahir dari persepsi bahwa lembaga publik berkompeten, jujur, dan responsif terhadap warganya. Petugas yang bekerja dengan kepastian karier dan pelatihan berkelanjutan akan lebih mampu menjaga integritas dibanding mereka yang direkrut hanya untuk beberapa bulan.
Profesionalisasi penyelenggara bukan akhir dari perjalanan demokrasi, melainkan fondasi barunya. Jika demokrasi adalah rumah rakyat, maka KPU adalah arsiteknya. Arsitek yang baik tak hanya membangun, tetapi juga memelihara. Dan untuk memelihara demokrasi, kita membutuhkan lembaga yang bukan hanya bekerja setiap lima tahun—melainkan belajar, berbenah, dan bertumbuh setiap hari.
Oleh: Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
