Khazanah
Beranda » Berita » Menelaah Kitab Riyadus Shalihin sebagai Kritik Sosial terhadap Gaya Hidup Hedonis di Era Modern

Menelaah Kitab Riyadus Shalihin sebagai Kritik Sosial terhadap Gaya Hidup Hedonis di Era Modern

Fenomena pamer kekayaan atau flexing kini mendominasi berbagai lini masa media sosial. Masyarakat modern seolah berlomba menunjukkan kemewahan sebagai standar kebahagiaan tertinggi dalam hidup. Pergeseran nilai ini memicu kekhawatiran mendalam mengenai kondisi moral dan spiritual masyarakat. Di tengah hiruk-pikuk duniawi ini, kitab klasik Riyadus Shalihin hadir menawarkan perspektif berbeda. Karya monumental Imam An-Nawawi ini tidak hanya berisi kumpulan hadis semata. Lebih dari itu, Riyadus Shalihin berfungsi sebagai kritik sosial tajam terhadap perilaku bermewah-mewahan yang melalaikan.

Relevansi Ajaran Kuno di Zaman Digital

Banyak orang menganggap kitab kuning hanya relevan bagi santri di pondok pesantren. Padahal, substansi kitab ini sangat menyentuh problem psikologis manusia modern yang terjebak materialisme. Imam An-Nawawi menyusun bab-bab khusus yang membahas tentang Zuhud dan Qana’ah. Dua konsep ini menjadi antitesis atau lawan langsung dari gaya hidup hedonis. Hedonisme mengejar kepuasan materi tanpa batas, sedangkan Riyadus Shalihin mengajarkan pengendalian diri.

Penulis kitab ini mengajak pembaca untuk merenungkan hakikat kepemilikan harta. Harta bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana ibadah. Masyarakat kini sering salah kaprah dalam memandang kesuksesan. Mereka mengukur kesuksesan hanya dari merek pakaian atau jenis kendaraan. Riyadus Shalihin sebagai kritik sosial meluruskan pandangan bengkok tersebut dengan dalil-dalil yang kuat.

Bahaya Mencintai Dunia Secara Berlebihan

Gaya hidup hedonis berakar dari penyakit hati yang disebut hubbud dunya atau cinta dunia berlebihan. Imam An-Nawawi menukil banyak hadis yang memperingatkan umat tentang bahaya ini. Salah satu kutipan hadis yang populer dalam kitab ini berbunyi:

“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kaya hati.” (Muttafaq ‘alaih)

Perjalanan yang Tak Kembali: Menghisab Diri Sebelum Dihisab dalam Kitab Madarijus-Salikin

Kutipan tersebut menampar logika manusia modern yang selalu merasa kurang. Orang yang hedonis tidak akan pernah merasa cukup meskipun hartanya melimpah. Mereka terus mengejar pengakuan publik melalui simbol-simbol kemewahan. Sebaliknya, kitab ini menekankan bahwa kekayaan sejati terletak pada mentalitas dan ketenangan jiwa.

Konsep Zuhud: Solusi Melawan Hedonisme

Kritik sosial dalam Riyadus Shalihin menawarkan solusi konkret melalui konsep Zuhud. Banyak orang salah memahami Zuhud sebagai hidup miskin dan kumuh. Pemahaman ini keliru besar. Zuhud adalah kondisi hati yang tidak terikat pada harta duniawi meskipun memilikinya. Seorang muslim boleh menjadi kaya raya. Namun, kekayaan tersebut tidak boleh menguasai hatinya hingga melupakan kewajiban sosial dan agama.

Penerapan Zuhud di era digital sangat krusial untuk mengerem nafsu belanja impulsif. Kita bisa melihat bagaimana algoritma media sosial memicu sifat konsumtif. Ajaran dalam kitab ini menjadi benteng pertahanan mental. Kita belajar membedakan antara kebutuhan primer dan keinginan semu belaka. Imam An-Nawawi mengingatkan pembaca agar tidak tertipu oleh keindahan dunia yang fatamorgana.

Membangun Budaya Qana’ah

Selain ZuhudRiyadus Shalihin juga mempromosikan sikap Qana’ah atau merasa cukup. Sikap ini menjadi obat mujarab bagi penyakit sosial berupa rasa iri dan dengki. Hedonisme sering kali muncul karena seseorang merasa kalah saing dengan tetangga atau teman dunia mayanya. Qana’ah memutus rantai perbandingan sosial yang tidak sehat tersebut.

Orang yang memiliki sifat Qana’ah akan selalu bersyukur atas apa yang ia miliki saat ini. Ia tidak akan memaksakan diri membeli barang mewah hanya demi validasi orang lain. Kritik sosial ini sangat relevan untuk menyelamatkan kesehatan mental generasi muda. Mereka kini rentan mengalami depresi akibat tekanan gaya hidup yang tinggi.

Paradoks Waktu: Mengapa Umur Pendek Bisa Berkah?

Kesimpulan

Kehadiran Riyadus Shalihin sebagai kritik sosial membuktikan bahwa ajaran Islam bersifat universal dan tak lekang waktu. Kitab ini menegur perilaku menyimpang masyarakat yang terlalu mendewakan materi. Kita perlu kembali menggali mutiara hikmah dari Imam An-Nawawi untuk menyeimbangkan kehidupan. Meninggalkan gaya hidup hedonis bukan berarti hidup menderita. Justru, melepaskan ketergantungan pada kemewahan akan membawa kedamaian hakiki. Mari kita jadikan Riyadus Shalihin sebagai pedoman dalam menata hati dan perilaku di tengah gempuran zaman.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement