Khazanah
Beranda » Berita » Antara Hak Hamba dan Hak Allah: Menata Ubudiyah Menurut Madarijus-Salikin

Antara Hak Hamba dan Hak Allah: Menata Ubudiyah Menurut Madarijus-Salikin

Ilustrasi seorang muslim yang bemunajat kepada Allah.
Ilustrasi seorang muslim yang bemunajat kepada Allah.

SURAU.CO–  Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in  menjelaskan bahwa kita harus memilah antara hak-hak yang harus kita penuhi, seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan, dan menjauhi kedurhakaan, dan hak yang menjadi bagian kita. Apa yang menjadi bagian kita adalah mubah (boleh) menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajiban kita harus kita penuhi. Kemudian yang harus kita berikan hak kepada siapa pun yang berhak menerimanya.

Jangan Mencampuradukkan antara Kewajiban dan Hak

Banyak orang yang mencampuradukkan antara kewajiban dan haknya, sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti orang yang rajin beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh dia kerjakan, seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bahwa hal itu tidak boleh dia kerjakan.

Begitu pula sebaliknya, orang yang rajin beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya harus ia tinggalkan. Karena dia mengira hal itu merupakan haknya. Contoh dari yang pertama adalah orang yang rajin beribadah dengan tidak mau menikah, tidak mau memakan daging, buah-buahan, makanan yang lezat, dan pakaian yang bagus. Karena kebodohannya, dia mengira bahwa semua itu merupakan larangan baginya, sehingga dia harus meninggalkannya, atau dia berpendapat bahwa dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya bertambah afdhal. Dalam Ash-Shahih, terkisahkan  pengingkaran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap beberapa shahabat yang tidak mau menikahi wanita, terus-menerus berpuasa, dan shalat malam. Contoh yang kedua adalah orang yang rajin beribadah, namun melakukan bid’ah. Dia melihat cara ibadahnya itu benar, karena itulah yang banyak orang lakukan.

Tidak Ridha terhadap Ketaatan yang Dilakukan

Kita harus tahu bahwa setiap ketaatan yang kita ridhai akan menjadi beban dosa bagi kita, dan setiap kedurhakaan yang  saudara kita tuduhkan kepada kita. Maka terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa memang itulah yang benar. Sebab, keridhaan seorang hamba terhadap ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri. Kemudian kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah (penghambaan) serta tidak tahu apa yang  Allah tuntut darinya. Hal ini lalu melahirkan takabur dan ujub, yang dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum khamr, lari dari medan peperangan, dan lain-lainnya.

Orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan. Karena mereka menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga memerintahkan agar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa memohon ampunan dalam setiap kesempatan dan sehabis melaksanakan tugas-tugas risalah atau setelah melaksanakan suatu ibadah.

Perjalanan yang Tak Kembali: Menghisab Diri Sebelum Dihisab dalam Kitab Madarijus-Salikin

Dalam surat terakhir yang Allah turunkan, Allah juga tetap memerintahkan beliau untuk memohon ampunan:

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.” (An-Nashr: 1-3).

Oleh sebab itu, Umar bin Al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya surat ini sebagai isyarat telah dekatnya ajal beliau. Seakan-akan Allah hendak memberitahukan hal ini kepada beliau, dengan memerintahkan agar beliau memohon ampunan sehabis mengerjakan setiap tugas. Dengan kata lain, surat ini semacam pemberitahuan: Engkau telah rampung mengerjakan kewajibanmu. Dan tidak ada lagi kewajiban yang menyisa setelah itu. Maka jadikanlah istighfar sebagai kesudahannya.(St.Diyar)

Referensi: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’i

Mendidik Generasi Alpha dengan Kurikulum Adab Imam Nawawi: Solusi Krisis Karakter di Era Digital

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement