Khazanah
Beranda » Berita » Senioritas vs Meritokrasi dalam Islam: Siapa yang Lebih Berhak Didahulukan?

Senioritas vs Meritokrasi dalam Islam: Siapa yang Lebih Berhak Didahulukan?

Perdebatan antara mendahulukan yang lebih tua (senioritas) atau yang lebih ahli (meritokrasi) sering terjadi. Kita kerap menemukan dilema ini dalam organisasi, perusahaan, hingga kepengurusan masjid. Sebagian orang merasa wajib mendahulukan sosok senior demi menjaga adab dan etika. Namun, sebagian lain menuntut profesionalisme dengan memilih sosok kompeten tanpa memandang usia. Lantas, bagaimana Islam memberikan solusi atas persoalan senioritas vs meritokrasi dalam Islam ini?

Islam sebagai agama yang sempurna mengatur tatanan sosial dengan sangat rapi. Agama ini menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Nabi Muhammad SAW memberikan teladan nyata dalam menyeimbangkan penghormatan kepada orang tua dan penghargaan terhadap kompetensi. Kita perlu membedah persoalan ini menggunakan kacamata hadis dan sirah nabawiyah agar tidak salah langkah.

Keutamaan Kompetensi dalam Memegang Amanah

Islam sangat menjunjung tinggi profesionalisme. Rasulullah SAW sering kali memberikan jabatan strategis kepada sahabat yang memiliki keahlian khusus, bukan sekadar faktor usia. Sejarah mencatat pengangkatan Usamah bin Zaid sebagai panglima perang. Saat itu, usia Usamah baru menginjak 18 tahun.

Keputusan Nabi ini tentu mengejutkan sebagian kalangan. Pasukan tersebut berisikan sahabat-sahabat senior seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Namun, Nabi tetap teguh pada pendiriannya. Beliau melihat bakat kepemimpinan militer dan ketangkasan berkuda pada diri Usamah. Hal ini membuktikan bahwa dalam urusan teknis dan amanah pekerjaan, kemampuan adalah tolok ukur utama.

Rasulullah SAW memberikan peringatan keras bagi pemimpin yang mengabaikan kompetensi. Beliau bersabda mengenai bahaya menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya:

Perjalanan yang Tak Kembali: Menghisab Diri Sebelum Dihisab dalam Kitab Madarijus-Salikin

“Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana menyia-nyiakannya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Apabila perkara itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Bukhari).

Hadis ini menegaskan posisi meritokrasi. Kehancuran sebuah sistem akan terjadi jika pemimpin memilih pejabat hanya berdasarkan kedekatan atau usia semata. Kompetensi (keahlian) harus menjadi syarat mutlak dalam pembagian tugas (tasharruf).

Lebih tegas lagi, Nabi mengancam mereka yang melakukan nepotisme atau favoritisme tanpa dasar keahlian.

“Siapa yang memegang kuasa tentang sesuatu urusan kaum muslimin, lalu dia memberikan suatu tugas kepada seseorang, sedangkan dia mengetahui bahwa ada orang yang lebih baik daripada orang itu, dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin.” (Riwayat Al-Hakim).

Posisi Senioritas dan Adab dalam Islam

Meskipun Islam mendukung meritokrasi dalam urusan kerja, Islam tidak menafikan senioritas dalam ranah sosial. Menghormati orang yang lebih tua merupakan kewajiban moral setiap muslim. Adab ini mengatur interaksi sosial sehari-hari, tata krama berbicara, dan urutan dalam majelis ilmu.

Paradoks Waktu: Mengapa Umur Pendek Bisa Berkah?

Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya memuliakan mereka yang beruban dalam Islam. Beliau bersabda:

“Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak menghormati orang tua kami.” (HR. Tirmidzi).

Penghormatan ini berlaku dalam konteks pemuliaan, bukan penyerahan tugas yang membutuhkan skill khusus. Kita mendahulukan orang tua dalam antrean makan, mempersilakan duduk, atau mendengarkan nasihat mereka. Namun, rasa hormat ini tidak boleh menjadi alasan menyerahkan tanggung jawab berat kepada orang tua yang tidak memiliki kapabilitas.

Mengharmonisasikan Dua Kutub

Kunci memahami senioritas vs meritokrasi dalam Islam terletak pada penempatan konteks. Kita harus membedakan antara “penghormatan sosial” dan “tanggung jawab profesional”.

Para ulama memberikan panduan menarik tentang hal ini. Ibnu Abbas r.a., meski masih sangat muda, sering duduk dalam majelis syura para senior Badar di masa Umar bin Khattab. Umar memilih Ibnu Abbas karena kedalaman ilmunya dalam tafsir Al-Qur’an. Di sini, ilmu (meritokrasi) mengalahkan usia.

Guru Sebagai Pewaris Nabi: Memuliakan Pendidik di Tengah Ironi Zaman

Namun, dalam situasi yang setara, faktor usia bisa menjadi penentu. Misalnya dalam memilih imam salat. Jika dua orang memiliki kualitas bacaan dan hafalan yang sama persis, maka yang lebih tua usianya berhak maju.

Rasulullah SAW bersabda:

“Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling pandai (aqra’) terhadap Kitab Allah. Jika bacaan mereka sama, maka yang paling mengetahui tentang sunnah. Jika pengetahuan mereka tentang sunnah sama, maka yang paling dahulu hijrahnya. Jika hijrahnya sama, maka yang paling tua usianya.” (HR. Muslim).

Urutan prioritas dalam hadis tersebut sangat jelas. Kualitas (bacaan dan ilmu) menempati urutan pertama dan kedua. Faktor senioritas (usia) baru menjadi pertimbangan ketika faktor kualitas sudah setara.

Kesimpulan

Islam tidak mempertentangkan senioritas dan meritokrasi secara kaku. Keduanya berjalan beriringan pada jalurnya masing-masing. Dalam urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, efisiensi kerja, dan strategi perang, Islam memilih sistem meritokrasi. Pemimpin wajib menunjuk orang yang paling ahli (Ahlul Ikhtisas).

Sebaliknya, dalam urusan tata krama, pergaulan sosial, dan keberkahan majelis, Islam mendahulukan senioritas. Kita tetap mencium tangan orang yang lebih tua sebagai bentuk takzim. Namun, kita menyerahkan kemudi organisasi kepada mereka yang muda, kuat, dan berilmu. Inilah bentuk keadilan Islam yang menempatkan sesuatu pada tempatnya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement