Khazanah
Beranda » Berita » Menata Kota yang Manusiawi: Refleksi Adab di Jalan Raya dari Riyadus Shalihin

Menata Kota yang Manusiawi: Refleksi Adab di Jalan Raya dari Riyadus Shalihin

Pembangunan kota modern sering kali terjebak pada estetika fisik semata. Banyak perancang kota melupakan unsur terpenting dalam sebuah lingkungan. Unsur tersebut adalah manusia itu sendiri. Kita membutuhkan konsep tata kota yang lebih manusiawi dan beradab. Islam sebenarnya telah menawarkan panduan luar biasa mengenai hal ini. Kita bisa menemukannya dalam kitab Riyadus Shalihin karya Imam An-Nawawi. Kitab ini memuat bab khusus tentang adab di jalan raya. Nilai-nilai ini sangat relevan untuk kita terapkan dalam perencanaan kota masa kini.

Fondasi Spiritual Ruang Publik

Imam An-Nawawi menempatkan pembahasan hak jalan sebagai bagian penting etika sosial. Jalan raya bukan sekadar aspal atau beton bisu. Jalan raya merupakan ruang interaksi antarmanusia yang dinamis. Rasulullah SAW memberikan perhatian besar terhadap keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan. Beliau menekankan bahwa jalan memiliki hak yang harus kita tunaikan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Jauhilah duduk-duduk di pinggir jalan!” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak punya tempat lain untuk berbincang-bincang selain di sana.” Beliau bersabda, “Jika kalian memang harus duduk-duduk di sana, maka berikanlah hak jalan.” Mereka bertanya, “Apa hak jalan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menahan diri dari berbuat yang menyakiti, menjawab salam, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah yang mungkar.” (Muttafaq ‘alaih)

Hadis ini menjadi landasan filosofis yang kuat. Kita dapat menerjemahkan poin-poin tersebut ke dalam kebijakan tata kota modern.

Perjalanan yang Tak Kembali: Menghisab Diri Sebelum Dihisab dalam Kitab Madarijus-Salikin

Mencegah Bahaya Melalui Infrastruktur Aman

Poin penting dalam adab di jalan raya Riyadus Shalihin adalah kafful adza atau menahan diri dari menyakiti. Dalam konteks modern, ini berbicara tentang keselamatan infrastruktur. Pemerintah kota wajib menyediakan fasilitas yang tidak mencelakakan warga. Lubang di jalan merupakan bentuk gangguan yang nyata. Trotoar yang licin atau sempit juga termasuk gangguan bagi pejalan kaki.

Perencana kota harus memastikan desain jalan meminimalisir risiko kecelakaan. Kita harus menyingkirkan segala bentuk “gangguan” fisik. Hal ini termasuk papan reklame yang menghalangi pandangan. Selain itu, drainase buruk yang menyebabkan banjir juga harus kita perbaiki. Prinsip Islam ini menuntut jaminan keamanan bagi setiap pengguna jalan. Kota yang manusiawi melindungi warganya dari bahaya fisik.

Menciptakan Ruang Interaksi Sosial

Rasulullah SAW menyebutkan kewajiban menjawab salam. Hal ini mengindikasikan bahwa jalan raya adalah ruang sosial. Kota yang baik memfasilitasi interaksi positif antarwarganya. Desain kota tidak boleh mengisolasi individu. Kita membutuhkan ruang terbuka hijau yang nyaman. Taman kota berfungsi sebagai tempat warga saling menyapa dan bertukar kabar.

Trotoar yang lebar memungkinkan orang berjalan sambil berinteraksi tanpa hambatan. Budaya sapa-menyapa akan tumbuh subur di lingkungan yang kondusif. Kota yang padat kendaraan sering kali mematikan interaksi ini. Suara bising dan polusi membuat orang enggan membuka kaca jendela. Oleh karena itu, prioritas pada transportasi umum dan pejalan kaki menjadi sangat Islami. Ini mendukung terciptanya ukhuwah atau persaudaraan sesama warga kota.

Aksesibilitas bagi Semua Kalangan

Dalam riwayat lain yang relevan, Rasulullah juga menyebutkan tentang menolong orang yang tersesat.

Paradoks Waktu: Mengapa Umur Pendek Bisa Berkah?

“Dan menunjuki orang yang tersesat.” (HR. Abu Dawud)

Prinsip ini sangat relevan dengan konsep aksesibilitas universal. Kota yang manusiawi harus ramah bagi pendatang maupun penyandang disabilitas. Kita membutuhkan penunjuk jalan yang jelas dan mudah dipahami. Sistem transportasi harus terintegrasi untuk memudahkan mobilitas warga.

Penyandang tunanetra membutuhkan guiding block di trotoar. Pengguna kursi roda memerlukan bidang miring yang landai. Membantu orang yang “tersesat” atau kesulitan di jalan adalah kewajiban kolektif. Infrastruktur kota harus hadir sebagai solusi atas kesulitan tersebut. Pemerintah kota memegang amanah besar dalam hal ini. Mengabaikan aksesibilitas berarti mengabaikan hak jalan yang Nabi perintahkan.

Penegakan Hukum dan Ketertiban

Poin terakhir adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Ini berkaitan dengan penegakan hukum dan ketertiban umum. Polisi lalu lintas dan petugas kota memiliki peran vital. Mereka memastikan tidak ada pelanggaran yang merugikan orang lain. Menerobos lampu merah adalah bentuk kemungkaran di jalan raya. Memarkir kendaraan di trotoar juga merampas hak pejalan kaki.

Masyarakat juga memiliki peran aktif. Kita harus berani menegur pelanggaran dengan cara yang santun. Sistem pengawasan kota atau CCTV dapat membantu menegakkan aturan ini. Ketertiban menciptakan rasa aman dan nyaman bagi semua. Sebuah kota baru bisa kita sebut manusiawi jika hukum berjalan tegak. Tidak boleh ada tirani kendaraan bermotor atas pejalan kaki.

Guru Sebagai Pewaris Nabi: Memuliakan Pendidik di Tengah Ironi Zaman

Kesimpulan

Konsep adab di jalan raya Riyadus Shalihin melampaui sekadar etika sopan santun. Hadis tersebut menyimpan cetak biru pembangunan kota yang beradab. Kita belajar tentang keselamatan, interaksi sosial, aksesibilitas, dan ketertiban hukum. Menata kota dengan inspirasi nabawi akan menghasilkan lingkungan yang berkah. Kota bukan hanya tempat mencari nafkah. Kota adalah rumah bersama yang harus memanusiakan penghuninya. Mari kita wujudkan kota yang aman, ramah, dan penuh empati.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement