Kalam
Beranda » Berita » Adab Mengirim Pesan dalam Islam: Refleksi Riyadush Shalihin di Era Digital

Adab Mengirim Pesan dalam Islam: Refleksi Riyadush Shalihin di Era Digital

Kemajuan teknologi telah mengubah cara manusia berkomunikasi. Kita kini hidup di masa yang serba cepat. Fitur Direct Message (DM) atau pesan instan memudahkan kita menghubungi siapa saja. Jarak bukan lagi penghalang. Namun, kemudahan ini sering melalaikan kita dari etika. Banyak orang lupa menerapkan sopan santun saat mengirim pesan.

Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur segala aspek kehidupan, termasuk cara berinteraksi. Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadush Shalihin menulis bab khusus tentang hal ini. Beliau membahas Bab Adab Meminta Izin (Isti’dzan). Prinsip-prinsip dalam bab ini sangat relevan untuk kita terapkan di media sosial. Mengirim DM pada hakikatnya sama dengan bertamu ke rumah seseorang. Kita memasuki ruang pribadi mereka melalui layar ponsel.

Larangan Melakukan “Spam”

Salah satu kebiasaan buruk netizen adalah melakukan spam. Mereka mengirim pesan beruntun tanpa jeda. Tujuannya agar penerima segera membalas. Padahal, hal ini sangat mengganggu. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk meminta izin dengan batasan tertentu.

Mari kita simak hadits berikut ini:

“Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Minta izin itu tiga kali, jika diizinkan maka masuklah, jika tidak, maka pulanglah.’” (Muttafaq ‘alaih).

Kekuatan Sederhana: Menghapus Kasta Sosial dengan Salam dan Senyum Tulus

Hadits ini mengajarkan kesabaran. Kita harus menahan diri. Dalam konteks chatting, kirimlah salam atau pesan pembuka. Tunggulah balasan mereka. Jangan memberondong dengan panggilan “P” berkali-kali. Jika mereka tidak membalas setelah tiga kali percobaan wajar, berhentilah. Mungkin mereka sedang sibuk. Mungkin mereka sedang istirahat. Kita wajib menghormati privasi mereka. Memaksa orang lain membalas pesan adalah tindakan tidak terpuji.

Jelas dalam Memperkenalkan Diri

Seringkali kita menerima pesan dari nomor asing. Pengirim hanya menulis “Assalamualaikum” atau “Halo”. Kita tentu bingung menebak siapa pengirimnya. Hal ini menimbulkan rasa was-was. Dalam Riyadush Shalihin, terdapat riwayat menarik tentang pentingnya identitas yang jelas.

“Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan utang yang ada pada ayahku. Maka aku mengetuk pintu. Beliau bertanya: ‘Siapakah itu?’ Aku menjawab: ‘Saya.’ Beliau menjawab: ‘Saya, saya,’ seakan-akan beliau membencinya.” (Muttafaq ‘alaih).

Rasulullah SAW tidak menyukai jawaban yang ambigu. Kata “Saya” tidak menjelaskan identitas apa pun. Kita harus menerapkan adab ini saat mengirim DM. Perkenalkan diri Anda dengan lengkap. Sebutkan nama dan keperluan Anda secara jelas.

Hindari memulai percakapan dengan teka-teki. Jangan biarkan penerima pesan menebak-nebak. Langsung sampaikan maksud dan tujuan Anda. “Saya Fulan, ingin menanyakan perihal pekerjaan,” jauh lebih sopan. Kejelasan identitas menunjukkan integritas pengirim pesan.

Menelaah Kitab Riyadus Shalihin sebagai Kritik Sosial terhadap Gaya Hidup Hedonis di Era Modern

Memperhatikan Waktu Pengiriman

Bertamu memiliki aturan waktu. Kita tidak boleh bertamu di tengah malam. Kita juga harus menghindari waktu istirahat tuan rumah. Begitu pula dengan mengirim pesan. Mentang-mentang online 24 jam, bukan berarti kita bebas mengirim pesan kapan saja.

Allah SWT menyinggung tentang waktu privasi dalam Al-Quran. Imam An-Nawawi memasukkan ayat-ayat tersebut sebagai landasan bab ini. Kita harus peka terhadap waktu istirahat orang lain. Mengirim pesan pekerjaan di jam 2 pagi tentu tidak etis. Hal itu bisa mengganggu ketenangan tidur seseorang.

Status “Online” di WhatsApp tidak selalu berarti “Siap membalas”. Bisa jadi mereka sedang membuka aplikasi untuk keperluan mendesak lain. Jangan baper atau marah jika pesan Anda belum terbalas. Berikan uzur atau prasangka baik kepada saudara kita.

Menjaga Pandangan dan Privasi

Masuk ke kolom DM seseorang berarti kita mengintip sedikit kehidupan mereka. Terkadang profil mereka terbuka. Namun, kita tetap harus menjaga pandangan (ghadhul bashar). Jangan menggunakan DM untuk tujuan maksiat. Jangan pula menggunakannya untuk menguntit (stalking) yang berlebihan.

Tujuan utama izin adalah demi menjaga pandangan.

Solidaritas Bencana: Menggerakkan Relawan Melalui Semangat Ta’awun yang Kokoh

“Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya disyariatkan minta izin itu adalah karena untuk menjaga pandangan.’” (Muttafaq ‘alaih).

Di era digital, “pandangan” ini bisa berupa informasi pribadi. Hormati data privasi lawan bicara. Jangan menyebarkan isi chat pribadi tanpa izin (tangkapan layar). Itu adalah amanah yang harus Anda jaga.

Kesimpulan

Teknologi boleh berubah, namun adab tetap abadi. Riyadush Shalihin memberikan panduan abadi bagi kita. Menerapkan adab mengirim pesan dalam Islam akan menciptakan suasana digital yang damai. Kita akan terhindar dari kesalahpahaman. Hubungan persaudaraan (ukhuwah) pun akan tetap terjaga.

Mulailah dari diri sendiri. Ketuklah “pintu” DM orang lain dengan sopan. Perkenalkan diri dengan jelas. Perhatikan waktu pengiriman. Dengan begitu, kita telah mengamalkan sunnah Nabi di dalam genggaman tangan kita. Mari kita jadikan media sosial ladang pahala, bukan ladang dosa.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement