Kalam
Beranda » Berita » Melawan Cancel Culture dengan Adab Memaafkan dalam Riyadus Shalihin

Melawan Cancel Culture dengan Adab Memaafkan dalam Riyadus Shalihin

Media sosial kini berubah menjadi arena pengadilan yang kejam. Netizen sering kali bertindak sebagai hakim tanpa palu. Mereka memvonis kesalahan seseorang hanya berdasarkan potongan video atau tangkapan layar. Fenomena ini populer dengan sebutan cancel culture. Publik memboikot seseorang hingga reputasi dan kariernya hancur lebur. Budaya ini seolah tidak memberi ruang bagi pendosa untuk memperbaiki diri.

Islam memandang kesalahan manusia dengan kacamata yang berbeda. Agama ini menawarkan konsep perbaikan diri dan pintu maaf yang luas. Kita dapat menemukan panduan lengkap mengenai hal ini dalam kitab legendaris karya Imam An-Nawawi. Mari kita mengupas cara melawan kerasnya cancel culture dengan adab memaafkan dalam Riyadus Shalihin.

Bahaya Menghakimi Tanpa Tabayyun

Budaya memboikot sosial sering kali bermula dari amarah yang meledak-ledak. Orang-orang merasa paling benar dan berhak menghukum orang lain. Padahal, Imam An-Nawawi dalam Riyadus Shalihin menempatkan bab tentang kesabaran dan memaafkan pada posisi vital.

Menghakimi orang lain secara massal justru memperkeruh suasana. Tindakan ini memicu kebencian yang lebih luas. Kita sering lupa bahwa manusia tempatnya salah dan lupa. Islam mengajarkan kita untuk mengedepankan prasangka baik sebelum melontarkan tuduhan.

Perintah Memaafkan dalam Al-Qur’an

Imam An-Nawawi mengutip banyak dalil kuat tentang keutamaan memaafkan. Salah satu landasan utama terdapat dalam Al-Qur’an yang beliau cantumkan dalam bab memaafkan. Allah SWT berfirman:

Kekuatan Sederhana: Menghapus Kasta Sosial dengan Salam dan Senyum Tulus

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Ayat ini memerintahkan kita untuk mengambil jalan maaf. Kita harus memilih opsi memaafkan daripada membalas dendam. Cancel culture justru mengambil jalan sebaliknya. Budaya ini menuntut pembalasan instan dan hukuman sosial yang berat. Mengamalkan ayat ini berarti kita melawan arus kebencian dengan kelembutan hati.

Kemuliaan bagi Pemaaf

Banyak orang berpikir bahwa memaafkan adalah tanda kelemahan. Netizen sering menganggap orang yang tidak membalas serangan sebagai pengecut. Namun, Rasulullah SAW membantah anggapan tersebut dengan tegas. Imam An-Nawawi mencantumkan hadis riwayat Abu Hurairah RA dalam Riyadus Shalihin.

Rasulullah SAW bersabda:

Menelaah Kitab Riyadus Shalihin sebagai Kritik Sosial terhadap Gaya Hidup Hedonis di Era Modern

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakannya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim)

Hadis ini memberikan perspektif yang luar biasa. Allah justru akan menambah kemuliaan bagi mereka yang mau memaafkan. Melawan cancel culture dengan adab memaafkan dalam Riyadus Shalihin justru mengangkat derajat kita. Kita tidak menjadi hina karena berhenti menghujat. Kita justru menjadi mulia karena mampu mengendalikan emosi.

Menutup Aib, Bukan Mengumbar Aib

Salah satu ciri utama cancel culture adalah semangat mengumbar aib masa lalu. Jejak digital seseorang yang terjadi bertahun-tahun lalu sering kali naik kembali ke permukaan. Tujuannya semata-mata untuk mempermalukan orang tersebut di masa kini.

Imam An-Nawawi juga menekankan pentingnya menutup aib sesama muslim. Riyadus Shalihin memuat hadis tentang perlindungan Allah bagi mereka yang melindungi kehormatan saudaranya. Jika kita menutup aib saudara kita di dunia, Allah akan menutup aib kita di akhirat.

Solidaritas Bencana: Menggerakkan Relawan Melalui Semangat Ta’awun yang Kokoh

Semangat ini sangat bertolak belakang dengan budaya viral hari ini. Kita berlomba-lomba mencari kesalahan orang lain. Kita merasa puas jika aib orang lain terbongkar. Padahal, kita sendiri pasti memiliki aib yang Allah tutupi. Bayangkan jika Allah membuka aib kita sebagaimana kita membuka aib orang lain di media sosial.

Mengganti Hukuman dengan Nasihat

Melawan budaya cancel bukan berarti membiarkan kemaksiatan merajalela. Kita tetap harus melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Namun, caranya harus sesuai dengan adab. Kita harus memberikan nasihat secara santun dan pribadi, bukan mempermalukan di ruang publik.

Menghancurkan reputasi seseorang tidak akan membuat orang tersebut bertaubat. Hal itu justru akan membuatnya putus asa atau semakin benci. Pendekatan Riyadus Shalihin mengajarkan kita untuk merangkul, bukan memukul. Kita mengajak pada kebaikan dengan cara yang baik.

Kesimpulan

Kita hidup di zaman yang penuh dengan amarah digital. Jari-jari netizen bisa lebih tajam daripada pedang. Kita perlu kembali membuka lembaran kitab para ulama untuk menemukan ketenangan. Imam An-Nawawi telah menyusun panduan indah bagi kita.

Menerapkan adab memaafkan dalam Riyadus Shalihin adalah solusi konkret. Kita bisa memutus rantai kebencian yang tak berujung. Mari kita mulai dari diri sendiri. Kita tahan jari kita dari mengetik komentar jahat. Kita buka hati kita untuk memaafkan kesalahan orang lain.

Dunia digital akan menjadi tempat yang lebih damai jika kita mengedepankan maaf. Biarlah orang lain sibuk mencari kesalahan. Kita sibukkan diri memperbaiki hati dan memaafkan sesama. Inilah jalan kemuliaan yang sesungguhnya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement