Kalam
Beranda » Berita » Hifzhul Lisan di Era Digital: Menggali Seni Diam dari Kitab Riyadhus Shalihin

Hifzhul Lisan di Era Digital: Menggali Seni Diam dari Kitab Riyadhus Shalihin

Kita hidup di zaman yang penuh dengan kebisingan. Bukan hanya suara kendaraan, tetapi juga kebisingan informasi. Setiap detik, notifikasi ponsel menuntut perhatian kita. Media sosial membanjiri kita dengan berita, opini, dan perdebatan. Kita sering merasa harus merespons segalanya. Jari-jari kita gatal untuk mengetik komentar atau membagikan ulang sebuah tautan. Padahal, kita belum tentu memahami kebenaran informasi tersebut. Fenomena ini menciptakan kecemasan dan konflik yang tidak perlu.

Di tengah hiruk-pikuk ini, ajaran Islam menawarkan sebuah solusi menenangkan. Solusi ini bernama “Hifzhul Lisan” atau menjaga lisan. Imam An-Nawawi membahas topik ini secara mendalam dalam kitab legendarisnya, Riyadhus Shalihin. Bab ini terasa semakin relevan saat ini. Lisan kita kini telah bertransformasi menjadi jemari di atas layar sentuh.

Hifzhul Lisan: Sebuah Konsep Abadi

Imam An-Nawawi menempatkan bab tentang menjaga lisan sebagai peringatan keras bagi umat Islam. Beliau memahami bahwa kehancuran seseorang sering bermula dari kata-katanya. Dalam konteks modern, status media sosial adalah representasi dari lisan kita. Jejak digital merekam segalanya. Sebuah komentar pedas bisa menghancurkan reputasi seseorang dalam sekejap.

Konsep Hifzhul Lisan mengajarkan kita untuk berpikir sebelum berbicara. Kita harus menimbang manfaat dan mudharat dari setiap ucapan. Jika tidak ada kebaikan di dalamnya, diam adalah pilihan emas. Ini bukan berarti kita menjadi pasif. Justru, ini adalah bentuk pengendalian diri yang aktif dan cerdas.

Relevansi Riyadhus Shalihin di Dunia Maya

Kitab Riyadhus Shalihin memuat hadis-hadis pilihan yang sangat kontekstual dengan perilaku netizen saat ini. Imam An-Nawawi mengutip firman Allah dan sabda Nabi untuk mengingatkan kita akan tanggung jawab kata-kata.

Solidaritas Bencana: Menggerakkan Relawan Melalui Semangat Ta’awun yang Kokoh

Mari kita renungkan sebuah hadis populer yang menjadi landasan bab ini.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (Muttafaq ‘alaih)

Hadis ini sangat singkat namun padat makna. Rasulullah SAW mengaitkan kualitas iman seseorang dengan cara ia berbicara. Di era digital, hadis ini bisa kita artikan ulang. “Barangsiapa beriman, hendaklah ia memposting kebaikan atau menahan jarinya.”

Banyak orang mudah menyebarkan berita bohong atau hoaks. Mereka tidak memverifikasi sumbernya terlebih dahulu. Padahal, Islam melarang keras perilaku tersebut. Menyebarkan berita tanpa tabayyun termasuk dosa lisan yang serius.

Bahaya Lisan yang Tak Bertulang

Imam An-Nawawi juga menyoroti bahaya menggunjing (ghibah) dan mengadu domba (namimah). Platform digital sering menjadi sarang bagi kedua dosa ini. Grup percakapan sering kali berisi pembicaraan tentang aib orang lain. Kolom komentar penuh dengan ujaran kebencian.

Senioritas vs Meritokrasi dalam Islam: Siapa yang Lebih Berhak Didahulukan?

Kita sering lupa bahwa malaikat mencatat setiap ketikan kita. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran yang juga dikutip dalam Riyadhus Shalihin:

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)

Ayat ini menegaskan adanya akuntabilitas total. Tidak ada satu pun tweet, status, atau pesan instan yang luput dari pengawasan Ilahi. Kesadaran ini seharusnya membuat kita gemetar sebelum menekan tombol “kirim”.

Seni Diam: Kunci Ketenangan Jiwa

Menerapkan Hifzhul Lisan memberikan dampak psikologis yang positif. Menahan lisan dari perdebatan sia-sia akan menjaga hati tetap tenang. Kita tidak akan terjebak dalam drama media sosial yang melelahkan. Energi kita akan tersalurkan untuk hal-hal yang lebih produktif.

Orang yang mampu menjaga lisan biasanya memiliki wibawa yang lebih tinggi. Kata-katanya lebih berbobot dan didengar orang lain. Sebaliknya, orang yang terlalu banyak bicara sering kali tergelincir lidahnya.

Budaya Antre dan Disiplin: Refleksi Bab Ketertiban dalam Riyadhus Shalihin

Berikut adalah beberapa langkah praktis menerapkan Hifzhul Lisan di era digital:

  1. Baca ulang ketikan Anda sebelum mengirimnya.

  2. Tanyakan pada diri sendiri: apakah ini benar? apakah ini bermanfaat?

  3. Hindari merespons komentar negatif dengan emosi.

  4. Tinggalkan grup percakapan yang penuh dengan ghibah.

  5. Gunakan media sosial untuk menyebarkan ilmu dan motivasi.

Kesimpulan

Bab “Hifzhul Lisan” dalam Riyadhus Shalihin bukanlah aturan kuno. Ia adalah pedoman hidup yang sangat modern dan relevan. Menjaga lisan di era kebisingan informasi adalah sebuah seni. Seni ini menyelamatkan kita di dunia dan akhirat.

Imam An-Nawawi telah mewariskan permata berharga bagi kita. Tugas kita sekarang adalah mengamalkannya. Jadikan diam sebagai perisai, dan ucapan baik sebagai pedang dalam melawan keburukan. Mari kita bijak berselancar di dunia maya dengan memegang teguh etika Islam.



Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement