Kehidupan sosial masyarakat modern menuntut kita untuk berinteraksi dengan beragam latar belakang. Perbedaan agama, suku, dan budaya menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa kita hindari. Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin memiliki panduan lengkap mengenai hal ini. Kita dapat merujuk pada kitab legendaris karya Imam An-Nawawi untuk menemukan jawabannya. Pembahasan Riyadus Shalihin dalam pluralisme dan toleransi memberikan wawasan mendalam tentang etika sosial seorang muslim.
Imam An-Nawawi menyusun kitab ini dengan sistematika yang luar biasa rapi. Beliau tidak hanya membahas masalah ibadah vertikal kepada Allah. Beliau juga memasukkan banyak bab tentang adab dan muamalah sesama manusia. Hal ini menunjukkan bahwa kesalehan sosial sama pentingnya dengan kesalehan ritual.
Anjuran Berbuat Baik Kepada Sesama
Islam memerintahkan umatnya untuk menebar kedamaian di muka bumi. Kita harus memahami bahwa perbedaan keyakinan tidak menghalangi kita untuk berbuat baik dalam urusan duniawi. Kitab Riyadus Shalihin memuat banyak hadis yang menekankan pentingnya akhlak mulia.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).
Hadis ini menjadi landasan utama kita dalam berinteraksi dengan siapa saja. Seorang muslim harus menampilkan wajah Islam yang ramah dan santun. Kita wajib membantu tetangga yang kesulitan tanpa memandang agama mereka. Kita juga harus menjunjung tinggi nilai keadilan dalam setiap transaksi sosial.
Hak Tetangga dalam Perspektif Riyadus Shalihin
Salah satu aspek toleransi yang paling nyata terdapat dalam bab tentang hak tetangga. Imam An-Nawawi menulis bab khusus berjudul Bab Haqqul Juar (Bab Hak Tetangga) dan Bab Al-Washiyyah bil Jar (Bab Wasiat Berbuat Baik pada Tetangga).
Rasulullah SAW memberikan perhatian sangat besar terhadap tetangga. Beliau bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
“Jibril senantiasa menasihatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa ia akan menjadikannya sebagai ahli waris.” (Muttafaq ‘alaih).
Para ulama menjelaskan bahwa hadis ini berlaku umum. Kita memiliki kewajiban untuk tidak menyakiti tetangga, baik mereka muslim maupun non-muslim. Kita harus menjaga ketenangan lingkungan dan berbagi kebahagiaan dengan mereka. Tindakan ini merupakan bentuk toleransi aktif yang diajarkan oleh Nabi.
Batasan Toleransi: Akidah Tetap Terjaga
Meskipun Islam menganjurkan kebaikan sosial, kita tetap memiliki batasan yang tegas. Pembahasan Riyadus Shalihin dalam pluralisme menekankan bahwa toleransi bukan berarti membenarkan semua ajaran agama. Toleransi dalam Islam adalah membiarkan umat lain beribadah tanpa gangguan, bukan ikut serta dalam ritual mereka.
Kita harus membedakan antara toleransi sosial (muamalah) dan toleransi teologis (akidah). Islam melarang keras umatnya mencampuradukkan ajaran agama. Prinsip ini tertuang jelas dalam Al-Quran surah Al-Kafirun ayat 6:
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
Imam An-Nawawi juga memasukkan bab tentang larangan melakukan bid’ah dan perkara yang mengada-ada dalam agama. Hal ini menjadi pengingat agar kita menjaga kemurnian tauhid. Kita boleh bekerja sama membangun jalan desa atau menjaga keamanan lingkungan. Namun, kita harus berhenti ketika masuk ranah ritual peribadatan agama lain.
Menghindari Kezaliman Terhadap Siapapun
Islam sangat membenci perilaku zalim atau menindas orang lain. Imam An-Nawawi mencantumkan Bab Tahrimud Dhulm (Bab Haramnya Kezaliman) dalam kitabnya. Allah SWT mengharamkan kezaliman atas diri-Nya dan melarang hamba-Nya saling menzalimi.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis Qudsi:
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim).
Larangan ini bersifat universal. Kita tidak boleh mengambil hak orang lain hanya karena mereka berbeda keyakinan. Seorang muslim sejati adalah orang yang mampu memberikan rasa aman kepada orang di sekitarnya.
Kesimpulan
Kitab Riyadus Shalihin mengajarkan keseimbangan yang indah. Kita belajar untuk menjadi pribadi yang inklusif dalam pergaulan sosial namun tetap eksklusif dalam keyakinan. Penerapan Riyadus Shalihin dalam pluralisme mengajarkan kita untuk menghormati perbedaan tanpa kehilangan jati diri. Mari kita amalkan ajaran ini untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
