Dunia maya saat ini banjir dengan informasi kesehatan yang simpang siur. Banyak pihak tidak bertanggung jawab menyebarkan klaim medis tanpa dasar. Mereka sering kali menempelkan label agama untuk meyakinkan pembaca. Fenomena ini memunculkan kerancuan antara metode medis modern dan Pengobatan Nabawi (Tibbun Nabawi). Masyarakat perlu memahami batasan dan aturan main dalam menerima informasi tersebut agar tidak terjebak.
Kita sering menjumpai pesan berantai di grup WhatsApp tentang ramuan herbal tertentu. Pengirim pesan mengklaim ramuan itu bisa menyembuhkan segala penyakit kronis. Mereka sering mencatut nama Rasulullah SAW untuk memperkuat argumen. Padahal, Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan validitas data. Kita harus mendudukkan perkara ini dengan bijak dan berlandaskan ilmu.
Bahaya Mengatasnamakan Agama untuk Hoaks
Menyebarkan berita bohong adalah tindakan tercela dalam Islam. Pelaku hoaks kesehatan sering kali memanipulasi dalil demi keuntungan pribadi. Hal ini sangat berbahaya bagi keselamatan nyawa seseorang. Pasien sering kali menghentikan pengobatan dokter karena termakan janji manis iklan herbal palsu. Akibatnya, kondisi penyakit mereka justru semakin parah.
Kitab Riyadus Shalihin karya Imam An-Nawawi membahas bab khusus tentang larangan berdusta. Bab ini menegaskan betapa beratnya dosa orang yang menyebarkan kebohongan. Mengaitkan kebohongan dengan kesehatan dan agama tentu memiliki konsekuensi dosa yang berlipat. Kita wajib berhati-hati sebelum menekan tombol “kirim” atau “bagikan”.
Rasulullah SAW bersabda:
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR. Muslim).
Kutipan ini menjadi tamparan keras bagi kita yang malas memverifikasi kebenaran. Kita harus melakukan tabayyun (cek dan ricek) setiap kali menerima info kesehatan. Jangan sampai niat baik menyebarkan informasi justru mencelakakan orang lain.
Memahami Hakikat Pengobatan Nabawi
Masyarakat sering salah kaprah dalam mendefinisikan Pengobatan Nabawi. Banyak orang mengira metode ini hanya sebatas meminum madu atau habbatussauda. Padahal, konsep Tibbun Nabawi mencakup spektrum yang jauh lebih luas. Konsep ini meliputi pola hidup sehat, menjaga kebersihan, dan manajemen stres spiritual.
Pengobatan ala Nabi juga tidak pernah menolak pengobatan empiris atau kedokteran modern. Rasulullah SAW sendiri pernah menyarankan sahabat untuk berobat ke dokter ahli di masa itu. Beliau menghargai kepakaran seseorang di bidangnya masing-masing. Ini membuktikan bahwa Islam sangat rasional dalam memandang masalah kesehatan fisik.
Imam Asy-Syafi’i pernah berkata:
“Tiada ilmu setelah ilmu halal dan haram, yang lebih mulia dari ilmu kedokteran.”
Perkataan ulama besar ini menunjukkan betapa tingginya posisi ilmu medis dalam Islam. Kita tidak boleh membenturkan sunnah dengan sains medis yang terbukti secara ilmiah. Keduanya justru saling melengkapi untuk kemaslahatan umat manusia.
Sinergi Antara Dokter dan Ulama
Dokter memiliki kompetensi untuk mendiagnosis penyakit berdasarkan data fisik dan laboratorium. Sementara itu, ulama memberikan panduan etika dan doa untuk kesembuhan batin. Kita harus menempatkan keduanya pada porsi yang tepat. Jangan meminta fatwa halal-haram kepada dokter yang tidak paham syariah. Sebaliknya, jangan meminta diagnosis medis detail kepada ustaz yang tidak belajar kedokteran.
Kesalahan fatal terjadi ketika seseorang menolak vaksin atau operasi karena dalil yang tidak pada tempatnya. Islam mewajibkan umatnya untuk menjaga nyawa (hifz an-nafs). Berobat kepada ahlinya adalah bentuk ikhtiar wajib untuk menjaga nyawa tersebut. Mengabaikan saran medis demi hoaks yang berkedok agama adalah tindakan zalim terhadap diri sendiri.
Langkah Cerdas Menghadapi Informasi Kesehatan
Masyarakat harus membangun filter yang kuat dalam menerima informasi. Pertama, periksa siapa sumber informasi tersebut. Pastikan informasi berasal dari jurnal ilmiah atau pakar kesehatan yang kredibel. Kedua, jangan mudah tergiur dengan klaim “sembuh instan” atau “obat segala penyakit”. Penyakit medis membutuhkan proses penyembuhan yang logis dan bertahap.
Ketiga, konsultasikan keraguan Anda kepada tenaga medis terdekat. Dokter akan memberikan penjelasan berdasarkan fakta, bukan asumsi. Kita perlu mengedukasi keluarga agar tidak mudah termakan isu Pengobatan Nabawi palsu. Edukasi ini penting untuk melindungi generasi mendatang dari kebodohan berbalut agama.
Kesimpulan
Menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah. Kita harus merawat tubuh ini dengan cara yang benar dan ilmiah. Pengobatan Nabawi yang sejati tidak akan bertentangan dengan akal sehat dan fakta medis. Mari kita kembali merujuk pada semangat Riyadus Shalihin untuk selalu jujur dan teliti. Gunakanlah ilmu sebagai pelita dalam mengambil keputusan kesehatan. Jangan biarkan hoaks merusak akidah dan kesehatan kita secara bersamaan. Jadilah Muslim yang cerdas, kritis, dan sehat walafiat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
