Umat Islam di seluruh dunia pasti mengenal kitab legendaris Riyadus Shalihin. Karya agung Imam An-Nawawi ini menjadi rujukan utama di berbagai pesantren dan majelis taklim Indonesia. Namun, diskusi mengenai Riyadus Shalihin dan pemberdayaan perempuan sering kali memicu perdebatan hangat. Sebagian kalangan menilai teks klasik cenderung membatasi gerak wanita. Padahal, pembacaan yang lebih teliti justru mengungkapkan fakta sebaliknya. Kita perlu melakukan pembacaan ulang terhadap hadis-hadis wanita dengan perspektif yang lebih proporsional dan adil.
Imam An-Nawawi menyusun kitab ini dengan sistematika yang sangat rapi dan penuh hikmah. Beliau tidak bermaksud memojokkan kaum hawa melalui hadis-hadis pilihannya. Ulama besar ini justru menempatkan perempuan pada posisi yang sangat mulia dalam bab-bab khusus. Pembaca modern harus memahami konteks sosial saat hadis tersebut muncul. Kita tidak boleh menelan mentah-mentah terjemahan tekstual tanpa melihat asbabul wurud atau sebab turunya hadis.
Menepis Anggapan Misoginis dalam Kitab Klasik
Banyak kritikus sering menuduh literatur Islam klasik melanggengkan budaya patriarki. Tuduhan ini sering kali tidak berdasar jika kita menelaah Riyadus Shalihin secara mendalam. Imam An-Nawawi secara spesifik memasukkan bab tentang berbuat baik kepada kaum wanita. Beliau mengutip hadis-hadis yang memerintahkan laki-laki untuk menghormati ibu, istri, dan anak perempuan.
Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu hadis yang dikutip Imam An-Nawawi:
“Aku berwasiat kepada kalian supaya berbuat baik kepada kaum wanita.”
Kutipan ini membuktikan bahwa perlindungan terhadap perempuan adalah prioritas utama dalam ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW hadir untuk mengangkat derajat wanita yang hancur pada masa Jahiliyah. Semangat pembebasan inilah yang terekam jelas dalam Riyadus Shalihin. Penulis kitab ingin menegaskan bahwa memuliakan perempuan adalah tanda kesalehan seorang muslim.
Peran Perempuan dalam Pendidikan dan Ranah Publik
Isu lain yang sering muncul adalah mengenai peran domestik dan publik perempuan. Riyadus Shalihin dan pemberdayaan perempuan memiliki korelasi erat dalam aspek pendidikan. Kitab ini memuat banyak sekali riwayat yang bersumber dari Aisyah RA. Fakta ini merupakan pengakuan valid terhadap kecerdasan intelektual perempuan.
Aisyah RA menjadi guru bagi banyak sahabat laki-laki dan rujukan utama dalam masalah hukum. Imam An-Nawawi tidak pernah menyembunyikan peran sentral perempuan dalam periwayatan hadis. Hal ini memberikan sinyal kuat bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk menuntut ilmu. Mereka berhak menjadi cendekiawan dan berkontribusi bagi peradaban. Narasi yang melarang perempuan untuk pintar jelas bertentangan dengan semangat kitab ini.
Kontekstualisasi Hadis yang Tampak Kontroversial
Kita memang akan menemukan beberapa hadis yang sekilas tampak membatasi perempuan. Contohnya adalah hadis tentang kepemimpinan atau kewajiban taat kepada suami. Pembaca perlu menggunakan pisau analisis yang tepat dalam memahami teks tersebut. Para ulama kontemporer mengajak kita untuk membedakan antara ajaran normatif dan konteks budaya Arab masa lalu.
Pembacaan ulang membantu kita melihat esensi dari larangan atau perintah tersebut. Tujuannya sering kali berkaitan dengan perlindungan keamanan dan keharmonisan keluarga. Bukan untuk mengekang kebebasan perempuan secara mutlak. Pemberdayaan perempuan dalam Islam tetap berjalan dalam koridor syariat yang menjaga kehormatan.
Berikut adalah salah satu kutipan hadis populer dalam kitab tersebut:
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Hadis ini menempatkan wanita sebagai makhluk paling berharga di dunia. Istilah “perhiasan” di sini bermakna sesuatu yang harus dijaga, dihargai, dan tidak boleh disia-siakan. Ini adalah bentuk pemberdayaan spiritual yang sangat tinggi.
Membangun Kesetaraan yang Proporsional
Membahas Riyadus Shalihin dan pemberdayaan perempuan berarti mencari titik temu antara teks dan realitas zaman. Islam menawarkan konsep kesetaraan yang berkeadilan, bukan kesamaan fisik yang dipaksakan. Laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda namun setara di hadapan Allah SWT.
Imam An-Nawawi menekankan aspek ubudiyah atau penghambaan yang sama bagi kedua gender. Perempuan bisa mencapai derajat kewalian dan kesalehan tertinggi sama seperti laki-laki. Tidak ada diskriminasi pahala berdasarkan jenis kelamin dalam Riyadus Shalihin.
Sebagai penutup, kita wajib terus menggali khazanah kitab kuning dengan kacamata yang jernih. Riyadus Shalihin bukanlah buku yang anti-perempuan. Justru, kitab ini adalah panduan moral untuk memanusiakan manusia, termasuk perempuan. Upaya membaca ulang hadis wanita akan membuka wawasan kita tentang betapa progresifnya Islam dalam memandang perempuan. Mari kita jadikan kitab ini sebagai inspirasi untuk terus mendorong kemajuan kaum perempuan di era modern.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
