Khazanah
Beranda » Berita » Dari Kesadaran Menuju Kehadiran: Tahapan Spiritual dalam Madarijus-Salikin

Dari Kesadaran Menuju Kehadiran: Tahapan Spiritual dalam Madarijus-Salikin

Ilustrasi hamba yang menyucikan diri dengan berdzikir.
Ilustrasi hamba yang menyucikan diri dengan berdzikir.

SURAU.CO–  Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in  menerangkan bahwa para penempuh jalan spiritual (salikin) mensifati persinggahan (maqamat) dalam perjalanan menuju Allah ini dengan jumlah yang bervariasi, mulai dari seribu, seratus, hingga lebih atau kurang. Setiap orang menggambarkan persinggahan ini berdasarkan pengalaman perjalanan yang telah Dia lalui.

Al-Yaqzhah (Kesadaran)

Yang pertama adalah al-yaqzhah, yang kita pahami sebagai kegalauan hati setelah kita terjaga dari tidur kelalaian yang lelap. Fase ini memegang peran yang sangat penting dan membantu kita dalam membenahi perilaku. Siapa pun yang merasakan kesadaran ini, berarti dia telah meraih satu keberuntungan. Jika tidak, maka kelalaian akan terus mencengkeramnya.

Al-Azm (Tekad Bulat)

Setelah perjalanan spiritual kita mulai, hati beralih ke persinggahan al-azm, yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan. Tekad ini mengharuskan kita siap menghadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkan kita ke tujuan. Dengan demikian, seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka sejauh itu pula tekadnya akan terbentuk. Dan, seberapa jauh tekad yang dia miliki, maka sejauh itu pula persiapan yang dia lakukan.

Al-Fikrah (Pemikiran Mendalam)

Jika seseorang sudah terjaga, maka dia memiliki al-fikrah.  Yaitu pandangan hati yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak kita cari, sekalipun dia belum memiliki gambaran jalan yang akan menghantarkannya ke sana.

Apabila fikrah-nya sudah benar, tentu dia akan memiliki al-bashirah, yaitu cahaya di dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, serta apa yang telah Allah janjikan terhadap para wali dan musuh-Nya. Melalui bashirah ini, kita seakan-akan melihat apa yang terjadi pada hari akhirat: semua orang Allah bangkitkan dari kuburnya, para malaikat didatangkan, para nabi, syuhada, dan shalihin dihadirkan, jembatan dibentangkan, musuh-musuh dikumpulkan, dan api neraka berkobar. Di dalam hatinya seakan-akan ada mata yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga melihat bagaimana keduniaan ini begitu cepat berlalu.

Detoks Digital: Menemukan Kembali Makna Uzlah Imam Nawawi di Era Modern

Al-Bashirah (Mata Hati)

Al-Bashirah merupakan cahaya yang Allah susupkan ke dalam hati, sehingga seseorang bisa melihat hakikat pengabaran para rasul, seakan-akan dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dengan begitu, dia bisa mengambil manfaat dari seruan para rasul dan melihat adanya bahaya yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.

Al-Bashirah berdasar pada tiga derajat. Siapa pun yang dapat menyempurnakan tiga derajat ini, berarti dia dapat menyempurnakan bashirah-nya:

Pertama, bashirah tentang Asma’ dan Sifat: Iman kita tidak terpengaruhi syubhat yang bertentangan dengan sifat-sifat yang Allah berikan kepada Diri-Nya sendiri dan yang disifati Rasul-Nya. Sebab, syubhat dalam hal ini sama dengan keragu-raguan tentang wujud Allah.  Kedua, bashirah tentang perintah dan larangan: Kita membebaskan hati dari penentangan yang disebabkan oleh takwil, taklid, atau mengikuti hawa nafsu. Dengan demikian, di dalam hati tidak ada syubhat yang bertentangan dengan ilmu tentang perintah dan larangan Allah, tidak pula Dikuasai nafsu yang menghalanginya untuk melaksanakan perintah dan larangan itu, dan tidak pula mengikuti taklid yang membuatnya merasa tidak perlu berusaha menggali hukum dari nash (teks).

Terakhir, bashirah tentang janji dan ancaman: Kita mempersaksikan penanganan Allah terhadap apa pun yang  manusia lakukan, yang baik maupun yang buruk, di dunia maupun di akhirat. Hal ini merupakan konsekuensi Ilahiyah dan Rububiyah-Nya, keadilan dan hikmah-Nya.

Al-Iradah (Maksud dan Kehendak) dan Tekad yang Bulat

Jika seseorang sudah sadar dan memiliki bashirah, maka dia akan mengambil maksud dan kehendak yang tulus. Dia menghimpun maksud dan niat untuk melakukan perjalanan kepada Allah. Setelah tahu dan yakin tentang hal ini, maka dia mulai melakukan perjalanan, membawa bekal menuju hari datangnya pembalasan, dan membebaskan diri dari rintangan yang menghambat perjalanannya.

Mengenal Matan al-Ajurumiyah: Kitab Nahwu Sepanjang Masa

Apabila maksud sudah kuat, maka ia berubah menjadi tekad yang bulat (al-azm), lalu mengharuskan kita memulai perjalanan berbekal tawakal kepada Allah.

Firman-Nya: “Kemudian apabila kamu sudah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (Ali Imran: 159).

Al-Azm artinya maksud yang bulat dan yang mendorong munculnya aksi. Tekad ini merupakan kekuatan kehendak yang sudah berhimpun untuk mengadakan aksi. Penting untuk membedakan persinggahan ini dari persinggahan fisik. Persinggahan spiritual harus selalu menyertai kita. Sebagai contoh, al-yaqzhah (kesadaran), al-bashirah, al-iradah, al-azm, maupun at-taubah tidak dapat kita tinggalkan di mana pun kita berada. Meskipun taubat sering kita sebut di akhir, ia juga harus ada di permulaan, bahkan ia harus ada di mana-mana.St.Diyar)

Referensi: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in.

Menjadi “Influencer” Kebaikan: Tafsir Bab Menunjukkan Jalan Kebenaran dalam Riyadus Shalihin

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement