Khazanah
Beranda » Berita » Utang Piutang dan Gadaian Harga Diri: Menelusuri Peringatan Keras Imam Nawawi

Utang Piutang dan Gadaian Harga Diri: Menelusuri Peringatan Keras Imam Nawawi

Fenomena berutang kini seolah menjadi gaya hidup yang lumrah di tengah masyarakat modern. Kemudahan akses pinjaman membuat banyak orang gelap mata demi memenuhi hasrat konsumtif semata. Kita sering melihat seseorang memamerkan kemewahan di media sosial, namun ternyata menyimpan tumpukan tagihan. Perilaku ini sangat bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dalam Islam. Para ulama terdahulu telah memberikan rambu-rambu tegas mengenai masalah finansial ini. Salah satu peringatan paling keras datang dari ulama besar Mazhab Syafi’i, Imam An-Nawawi.

Beliau menyoroti masalah utang piutang bukan sekadar transaksi ekonomi biasa. Utang memiliki dimensi akhirat yang sangat berat dan dapat menjadi penghalang seseorang menuju surga. Imam Nawawi menjelaskan hal ini secara rinci dalam kitab syarahnya terhadap Shahih Muslim. Kita perlu merenungi kembali nasihat beliau agar tidak terjerumus dalam kehinaan.

Utang Bukan Sekadar Angka

Banyak orang menganggap remeh kewajiban membayar utang. Mereka berpikir bahwa utang akan lunas atau selesai begitu saja saat ajal menjemput. Padahal, urusan hak sesama manusia (Hablum Minannas) tidak akan gugur meskipun seseorang mati syahid. Allah SWT mengampuni semua dosa orang yang mati syahid, kecuali satu hal, yaitu utang.

Imam Nawawi memberikan komentar mendalam terkait hadis Nabi Muhammad SAW mengenai masalah ini. Beliau menegaskan bahwa utang adalah perkara yang sangat serius dan tidak boleh kita abaikan.

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Shahih Muslim:

Riyadus Shalihin: Mata Air yang Tak Pernah Kering di Gurun Modernitas

“Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kecuali utang’, di dalamnya terdapat peringatan akan beratnya masalah utang piutang. Dan utang tidak bisa ditebus dengan kematian di jalan Allah (mati syahid).”

Kutipan tersebut menjadi tamparan keras bagi siapa saja yang gemar berutang tanpa alasan mendesak. Seseorang yang telah mengorbankan nyawanya untuk agama saja masih tertahan langkahnya karena utang. Bagaimana nasib kita yang amalannya biasa saja namun membawa beban utang menumpuk?

Menggadaikan Harga Diri

Utang sejatinya adalah bentuk lain dari “menggadaikan harga diri” dan kebebasan seorang manusia. Seseorang yang terlilit utang akan kehilangan ketenangan hidupnya. Ia akan merasa cemas di malam hari dan merasa terhina di siang hari. Utang menjadikan seseorang budak dari orang yang memberinya pinjaman sampai ia melunasinya.

Imam Nawawi mengingatkan kita untuk tidak bermudah-mudahan dalam mengambil pinjaman. Beliau menekankan pentingnya niat saat terpaksa berutang. Seseorang harus memiliki tekad kuat untuk segera melunasi kewajibannya tersebut.

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

Riyadus Shalihin: Warisan Peradaban yang Menyelamatkan Kemanusiaan

“Barangsiapa yang mengambil harta manusia (berutang), dengan niat ingin melunasinya, niscaya Allah akan melunaskan baginya. Dan barangsiapa yang mengambilnya dengan niat ingin menghilangkannya (tidak membayar), niscaya Allah akan membinasakannya.”

Tanpa niat bayar yang tulus, utang akan menjadi belenggu yang menghancurkan martabat seseorang. Harga diri kita tergadai, dan kepercayaan orang lain pun sirna. Kita menjadi sosok yang tidak bisa dipercaya (amanah) di mata masyarakat.

Bahaya Menunda Pembayaran

Peringatan Imam Nawawi tentang utang juga mencakup perilaku menunda-nunda pembayaran. Banyak orang mampu membayar, namun sengaja mengulur waktu dengan berbagai alasan. Perilaku ini termasuk dalam kategori kezaliman yang nyata.

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menempatkan hadis tentang penundaan bayar utang pada bab khusus. Beliau mengutip sabda Nabi SAW:

“Penundaan (pembayaran utang) dari seorang yang kaya (mampu) adalah sebuah kezaliman.” (Muttafaq ‘alaih)

Membedah Kitab Riyadus Shalihin dalam Pluralisme dan Toleransi: Batasan Serta Anjuran Islam

Kezaliman ini akan menjadi kegelapan pada hari kiamat nanti. Orang yang mampu tetapi menunda pembayaran sama saja mencoreng harga dirinya sendiri. Ia menukar kehormatan dirinya dengan kenikmatan duniawi sesaat.

Jiwa yang Terkatung-katung

Dampak paling mengerikan dari utang yang tidak terbayar adalah nasib jiwa setelah kematian. Imam Nawawi menjelaskan bahwa status seorang mukmin akan “menggantung” sampai utangnya lunas. Tidak ada kepastian baginya, apakah ia akan selamat atau celaka, sebelum urusan utangnya selesai.

Rasulullah SAW bersabda:

“Jiwa seorang mukmin itu terganjal oleh utangnya sampai utangnya itu dilunasi.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Imam Nawawi menjelaskan maksud hadis ini dalam Tuhfatul Ahwadzi. Beliau menyatakan bahwa orang tersebut tertahan untuk masuk surga. Statusnya menjadi tidak jelas dan nasibnya terombang-ambing. Ini adalah kondisi yang sangat menakutkan bagi setiap orang beriman.

Hidup Qanaah adalah Kunci

Solusi terbaik untuk menghindari jeratan utang dan gadaian harga diri adalah menerapkan sifat Qanaah. Kita harus merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Imam Nawawi sering menekankan pentingnya zuhud dan kesederhanaan dalam karya-karyanya.

Jangan memaksakan gaya hidup yang tidak sesuai dengan kemampuan finansial. Membeli barang mewah dengan cara berutang hanya akan memberikan kebahagiaan semu. Pada akhirnya, kita harus membayar harga mahal berupa hilangnya ketenangan batin.

Mari kita jadikan peringatan Imam Nawawi tentang utang ini sebagai rem dalam kehidupan sehari-hari. Jagalah harga diri kita dengan tidak mudah berutang. Jika terpaksa, segera lunasi saat mampu. Jangan biarkan utang menjadi penghalang kita menuju surga-Nya.



Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement