Zaman terus berubah dengan sangat cepat. Kita kini hidup di era modern yang serba instan dan terbuka. Kemudahan akses informasi dan transaksi sering kali membawa dampak lain. Batasan antara hal halal dan haram menjadi semakin tipis. Kondisi ini sering kita sebut sebagai syubhat atau kesamaran. Umat Islam kini menghadapi tantangan besar dalam menjaga kesucian diri. Kita membutuhkan sebuah perisai spiritual yang kuat. Perisai tersebut bernama sikap wara.
Banyak orang mulai melupakan esensi dari kehati-hatian ini. Mereka sering meremehkan perkara kecil yang belum jelas hukumnya. Padahal, Islam mengajarkan kita untuk selalu waspada. Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya tentang bahaya perkara syubhat. Kita harus kembali menggali makna wara agar selamat dunia akhirat.
Memahami Hakikat Sikap Wara
Para ulama memiliki pandangan mendalam mengenai definisi wara. Secara bahasa, wara berarti menahan diri atau berhati-hati. Namun, maknanya jauh lebih luas dalam konteks ibadah. Wara adalah sikap meninggalkan hal yang berpotensi membahayakan akhirat. Seorang muslim tidak hanya meninggalkan yang haram. Ia juga meninggalkan hal mubah yang berlebihan. Tujuannya adalah menjaga hati agar tetap bersih.
Imam Al-Ghazali menempatkan wara sebagai tingkatan penting dalam tasawuf. Seseorang tidak akan mencapai derajat takwa tanpa wara. Kita harus selektif dalam memilih makanan, pakaian, dan tontonan. Sikap wara menuntut kita untuk selalu bertanya sebelum bertindak. Apakah ini diridhai Allah? Apakah sumber harta ini bersih? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi rem bagi hawa nafsu.
Tantangan Halal-Haram di Era Digital
Dunia digital memperparah kaburnya batasan syariat. Kita melihat berbagai model transaksi keuangan baru muncul setiap hari. Banyak orang terjebak dalam riba berkedok investasi. Mereka tergiur keuntungan besar tanpa memeriksa akadnya. Begitu pula dengan industri makanan olahan. Kita sering tidak tahu asal-usul bahan bakunya. Kode-kode bahan makanan sering kali membingungkan konsumen muslim.
Sikap wara menuntut kita untuk lebih kritis. Kita tidak boleh memakan sesuatu yang meragukan. Rasulullah SAW bersabda:
“Maka barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa terjerumus dalam syubhat, berarti ia telah terjerumus dalam yang haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kutipan di atas menegaskan posisi penting wara. Orang yang wara akan memilih mundur jika ragu. Ia lebih memilih kehilangan keuntungan duniawi daripada merusak agamanya. Prinsip ini sangat langka di zaman materialistis ini. Kebanyakan orang lebih takut miskin daripada takut memakan yang haram.
Tingkatan Wara bagi Seorang Mukmin
Para ulama membagi wara menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan pertama adalah wara orang awam. Ini adalah sikap meninggalkan hal yang jelas-jelas haram. Semua muslim wajib memiliki sikap ini. Tingkatan kedua adalah wara orang saleh. Mereka meninggalkan hal syubhat yang belum jelas hukumnya. Mereka takut jika hal itu ternyata haram di sisi Allah.
Tingkatan tertinggi adalah wara para shiddiqin. Mereka meninggalkan hal halal yang tidak perlu. Mereka khawatir hal tersebut melalaikan diri dari mengingat Allah. Kita mungkin belum bisa mencapai tahap tertinggi. Namun, kita bisa memulai dari tahap dasar. Mulailah dengan menghindari hal yang meragukan hati.
Dampak Positif Wara bagi Ketenangan Jiwa
Menerapkan sikap wara memberikan dampak luar biasa bagi jiwa. Hati akan terasa lebih tenang dan tentram. Kita tidak dihantui rasa bersalah atau was-was. Doa seorang yang wara juga lebih mudah terkabul. Allah menyukai hamba yang menjaga kebersihan dirinya. Sebaliknya, tubuh yang tumbuh dari yang haram akan sulit menerima hidayah.
Ibadah kita juga akan terasa lebih nikmat. Kekhusyukan sering kali hilang karena makanan syubhat yang masuk ke tubuh. Sikap wara membersihkan penghalang antara hamba dan Tuhannya. Kita akan merasakan manisnya iman saat mampu menahan diri. Ini adalah kenikmatan yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Langkah Praktis Menumbuhkan Kehati-hatian
Kita bisa melatih sikap wara mulai hari ini. Cek kembali sumber penghasilan kita setiap bulan. Pastikan tidak ada unsur penipuan atau kezaliman di dalamnya. Periksa label halal pada setiap makanan kemasan. Jangan mudah ikut-ikutan tren yang belum jelas manfaatnya. Jaga lisan dan jari di media sosial. Komentar yang menyakiti orang lain juga termasuk hal yang harus kita hindari.
Lingkungan pergaulan juga sangat berpengaruh. Berkumpullah dengan orang-orang yang juga menjaga diri. Mereka akan mengingatkan kita saat lupa. Saling menasihati adalah kunci menjaga istiqamah. Kita tidak bisa berjalan sendiri di zaman penuh fitnah ini.
Kesimpulan
Menghidupkan kembali sikap wara adalah sebuah keharusan. Ini bukan sekadar pilihan gaya hidup, melainkan tuntutan iman. Kita hidup di zaman yang penuh dengan kesamaran. Hanya kehati-hatian yang mampu menyelamatkan agama kita. Mari kita mulai bersikap kritis terhadap apa yang kita konsumsi dan lakukan. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk tetap berada di jalan yang lurus dan jelas.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
