Era digital membawa tantangan baru bagi keimanan seseorang. Kita hidup di masa ketika “like”, komentar, dan jumlah pengikut menjadi tolak ukur kesuksesan. Banyak orang berlomba memamerkan kebaikan demi pengakuan sosial. Fenomena ini menciptakan ketergantungan pada validasi manusia. Padahal, Islam mengajarkan konsep berbeda. Imam An-Nawawi telah mengingatkan hal ini ratusan tahun lalu. Beliau menempatkan Bab Ikhlas dalam Riyadus Shalihin sebagai pembuka kitab legendarisnya.
Jebakan Validasi Manusia di Era Modern
Manusia memiliki kecenderungan alami untuk mencari apresiasi. Psikolog menyebut ini sebagai kebutuhan akan pengakuan. Namun, bahaya muncul ketika apresiasi menjadi tujuan utama ibadah. Anda mungkin bersedekah lalu memotretnya untuk media sosial. Anda mungkin beribadah agar terlihat saleh oleh calon pasangan. Ini adalah bentuk pencarian validasi manusia. Validasi semacam ini sangat rapuh dan sementara.
Seseorang akan merasa kecewa saat orang lain tidak memuji perbuatannya. Hati menjadi gelisah karena standar penilaian bergantung pada makhluk. Imam An-Nawawi memahami penyakit hati ini dengan sangat baik. Itulah sebabnya beliau membahas niat dan keikhlasan pada bab paling awal. Beliau ingin pembaca meluruskan hati sebelum melangkah lebih jauh.
Urgensi Bab Ikhlas dalam Riyadus Shalihin
Imam An-Nawawi memulai kitab Riyadus Shalihin dengan bab tentang keikhlasan dan niat. Penempatan ini bukan tanpa alasan. Ulama besar ini ingin menegaskan satu hal penting. Segala amal perbuatan bergantung pada fondasinya. Fondasi tersebut adalah niat yang tulus (Ikhlas). Tanpa keikhlasan, amal hanyalah gerakan fisik tanpa makna spiritual.
Validasi Tuhan atau ridha Allah harus menjadi satu-satunya tujuan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an mengenai kewajiban memurnikan ketaatan ini. Anda bisa merenungkan firman Allah berikut:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Ayat ini menjadi landasan kuat. Kita harus melepaskan diri dari pandangan manusia menuju pandangan Allah semata.
Hadits Niat: Barometer Amal Seorang Hamba
Dalam Bab Ikhlas dalam Riyadus Shalihin, Imam An-Nawawi mencantumkan hadits yang sangat populer. Hadits ini berasal dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya, dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu kepada apa yang karenanya ia berhijrah.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits ini menohok realitas kita saat ini. Rasulullah memberikan perbandingan kontras. Ada orang yang melakukan perjalanan jauh (hijrah) demi Allah. Ada pula yang melakukannya demi dunia atau pasangan. Secara fisik, mereka melakukan perjalanan yang sama. Namun, di mata Tuhan, nilainya jauh berbeda.
Orang yang mengejar validasi Tuhan akan mendapatkan pahala abadi. Sebaliknya, pemburu validasi manusia hanya akan mendapat lelah. Mereka mungkin mendapatkan dunia, tetapi kehilangan akhirat.
Mengapa Validasi Tuhan Memberi Ketenangan?
Beralih fokus dari manusia ke Tuhan membawa dampak psikologis positif. Anda tidak lagi cemas memikirkan pendapat orang lain. Anda akan tetap beramal baik meski tidak ada yang melihat. Hati menjadi tenang karena Allah Maha Mengetahui segalanya.
Berikut adalah manfaat mengutamakan validasi Tuhan berdasarkan konsep Ikhlas:
-
Stabilitas Emosi: Anda tidak mudah kecewa saat orang lain mencela atau mengabaikan kebaikan Anda.
-
Konsistensi Amal: Anda akan tetap rajin beribadah dalam kondisi ramai maupun sepi.
-
Penerimaan Amal: Syarat mutlak diterimanya ibadah adalah keikhlasan. Tanpa ini, ibadah tertolak.
Melatih Diri Menuju Ikhlas
Mencapai derajat ikhlas memang berat. Nafsu selalu ingin tampil dan mendapat pujian. Namun, kita bisa melatihnya secara bertahap. Anda bisa mulai dengan menyembunyikan amal-amal sunnah. Cobalah bersedekah tanpa menyebut nama. Lakukan shalat malam saat orang lain tertidur.
Imam An-Nawawi mengajak kita merenung lewat kitabnya. Bab Ikhlas dalam Riyadus Shalihin adalah cermin bagi jiwa. Kita harus sering bercermin di sana. Tanyakan pada diri sendiri setiap hari. Untuk siapa saya bekerja? Untuk siapa saya berhijab? Untuk siapa saya menolong orang lain?
Jika jawabannya masih bercampur dengan keinginan dipuji, segera perbaiki niat (Tajdidun Niyat).
Kesimpulan
Validasi manusia adalah racun yang manis namun mematikan. Ia bisa menghancurkan nilai pahala dalam sekejap. Sebaliknya, validasi Tuhan adalah kunci keselamatan abadi. Imam An-Nawawi mengajarkan kita untuk memprioritaskan pandangan Allah di atas segalanya.
Mari kita kembali membuka Bab Ikhlas dalam Riyadus Shalihin. Jadikan keikhlasan sebagai gaya hidup, bukan sekadar teori. Biarkan Allah yang menilai, dan biarkan manusia dengan persepsinya masing-masing. Cukup Allah sebagai saksi atas segala amal kita.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
