SURAU.CO. Banjir bandang yang melanda Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh kembali membuka luka lama: negara gagal mengurus hutan dan gagal melindungi rakyatnya. Ratusan warga tewas dan hilang, sementara para pejabat sibuk saling menegur dan melempar tanggung jawab. Padahal akar persoalannya jelas—pembalakan liar, izin tambang yang longgar, dan hutan yang dibiarkan gundul bertahun-tahun. Di tengah kekacauan ini, ada salah seorang elit negara (baca:pejabat) mengingatkan satu pesan tegas untuk pejabat yang lain: pejabat harus ber-taubat nasuha.
Ini bukan retorika politik, melainkan panggilan moral. Amanah telah disia-siakan, dan rakyat menjadi korban. Pertanyaannya, seperti apa sebenarnya taubat nasuha yang dituntut Islam bagi para pemimpin negeri?
Memahami Esensi Taubat Nasuha
Al-Qur’an menyebut istilah taubat nasuha secara tegas dalam Surat At-Tahrim ayat 8, sebagai perintah bagi orang beriman untuk kembali dengan taubat yang benar-benar murni—taubat yang tidak menyisakan ruang untuk mengulangi kesalahan. Nabi Muhammad SAW kemudian memperjelas maknanya melalui banyak hadis. Dalam riwayat Ibn Majah dan al-Hakim, beliau bersabda, “Penyesalan adalah taubat.” Hadis lain menegaskan bahwa pintu ampunan selalu terbuka selama nyawa belum berada di kerongkongan.
Berangkat dari dalil-dalil ini, para ulama merumuskan empat pilar taubat nasuha, terutama bagi mereka yang memegang amanah publik: penyesalan mendalam atas kesalahan, berhenti total dari maksiat, tekad kuat untuk tidak mengulanginya, serta mengembalikan hak atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Empat langkah inilah yang menjadikan taubat bukan sekadar ucapan, tetapi perubahan nyata.
4 Syarat Mutlak Taubat Nasuha bagi Pejabat
Seorang pejabat tidak bisa hanya mengucapkan kata maaf di bibir saja. Pejabat diminta taubat nasuha melalui tindakan nyata yang terukur. Berikut adalah empat tahapan yang wajib mereka lalui:
1. An-Nadam (Penyesalan Mendalam)
Langkah pertama adalah rasa sesal yang jujur. Taubat tidak memiliki makna tanpa adanya guncangan dalam hati. Pejabat tersebut harus menyadari bobot kesalahannya. Penyesalan ini bukan sekadar tangisan di depan kamera wartawan tetapi rasa kepedihan batin karena telah mengkhianati sumpah jabatannya sendiri.
2. Al-Iqla’ ‘anidz Dzanb (Berhenti Total dari Dosa)
Nabi menegaskan sebuah prinsip penting. Seseorang tidak bisa kita sebut bertaubat jika ia masih melakukan dosa tersebut. Pejabat yang ingin bertaubat wajib berhenti total dari segala praktik kotor. Ia harus menghentikan korupsi detik itu juga dan juga setop memanipulasi data atau menyalahgunakan kekuasaan.
3. Al-‘Azmu ‘alla Ya’ud (Tekad Tidak Mengulangi)
Taubat yang tulus selalu berorientasi ke masa depan. Pelaku harus memiliki tekad baja dalam hati dengan berjanji kepada Allah Swt untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tekad ini harus terlihat dalam kinerjanya. Ia harus mengubah pola kerja, memperbaiki etika, dan menjauhi lingkungan yang memicu korupsi.
4. Raddul Mazhalim (Mengembalikan Hak Rakyat)
Inilah syarat paling berat bagi seorang pemimpin—inti dari keadilan sosial. Kesalahan pejabat berbeda dengan kesalahan pribadi; dampaknya merembet luas, merugikan rakyat, bahkan generasi berikutnya. Karena itu, taubat pemimpin harus nyata: mengembalikan uang negara, membatalkan kebijakan yang menyengsarakan, memperbaiki bencana sosial, dan bila perlu, mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban tertinggi.
Taubat pejabat bukan ritual semata, melainkan keberanian moral untuk menata kerusakan yang telah ditinggalkan. Keadilan tidak akan lahir dari tangan yang masih menggenggam hak orang lain. Inilah panggilan nurani bagi siapa pun yang diberi amanah mengelola negeri.
Taubat Nasuha dalam Dimensi Vertikal dan Horizontal
Kita bisa menyimpulkan bahwa taubat nasuha bagi pejabat memiliki dua dimensi sekaligus:
- Dimensi Vertikal: Hubungan pribadi dengan Allah Swt. Ini meliputi penyesalan, berhenti berbuat dosa, dan janji tidak mengulanginya.
- Dimensi Horizontal: Hubungan dengan manusia atau rakyat. Ini meliputi pemulihan hak-hak publik dan perbaikan sistem yang rusak.
Refleksi ini juga berlaku bagi kita sebagai rakyat. Kita sering menuntut pemimpin berubah, tetapi lupa bahwa mereka adalah cermin masyarakatnya. Jika budaya jujur dan adil tidak kita bangun di level paling kecil, mustahil melahirkan pemimpin yang bersih.
Karena itu, seruan taubat nasuha bagi pejabat adalah ajakan memperbaiki bangsa dari dua arah: dari pemimpin yang harus kembali pada amanah, dan dari rakyat yang harus menjaga kejujuran. Taubat bukan sekadar ritual, tetapi energi moral untuk memulihkan negeri—dari bencana alam hingga bencana etika. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
