Kalam
Beranda » Berita » Mengenal Ratib al-Haddad: Sejarah, Susunan Wirid, dan Keutamaannya

Mengenal Ratib al-Haddad: Sejarah, Susunan Wirid, dan Keutamaannya

SURAU.CO. Suara dzikir kerap bergema di berbagai pelosok Nusantara—dari masjid perkotaan hingga surau kecil di pesisir Jawa. Jamaah melantunkannya dengan khusyuk dan teratur. Bacaan populer itu adalah Ratib al-Haddad, susunan wirid yang indah namun sederhana. Atmosfer teduh segera terasa saat ia dibaca bersama-sama, seolah mengajak jiwa yang lelah untuk pulang kepada Sang Pencipta.

Keistimewaannya semakin kuat karena penyusunnya adalah Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad, ulama besar Hadhramaut yang memiliki pengaruh luas di dunia Islam.

Profil Penyusun: Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad

Dunia Islam mengenal Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad sebagai wali yang sangat karismatik. Lahir pada 1044 H dan wafat pada 1132 H, ulama asal Tarim, Yaman ini menyandang gelar Quthb al-Da’wah wa al-Irsyad, tanda bahwa beliau menjadi poros dakwah dan pembimbing umat.

Pengaruh dakwahnya melampaui batas geografis—menyentuh Afrika Timur, India, hingga Indonesia, yang jejaknya dapat kita temukan di banyak pesantren dan majelis taklim. Salah satu keistimewaan beliau adalah kebutaan yang dialami sejak usia muda. Namun Allah mengganti keterbatasan itu dengan ketajaman mata batin. Justru dalam kondisi tersebut, beliau menjadi sangat produktif melahirkan karya tulis dan susunan dzikir yang terus hidup hingga hari ini.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Latar Belakang Sejarah Penyusunan Ratib

Ratib al-Haddad tidak muncul begitu saja. Imam al-Haddad menyusunnya sebagai jawaban atas tantangan zaman. Saat itu, masyarakat Tarim mengalami krisis spiritual: semangat ibadah menurun, kecemasan sosial meningkat, dan ketidakstabilan politik membuat hati banyak orang gelisah.

Para pemuda dan masyarakat pun meminta solusi—sebuah amalan yang ringkas namun padat, yang dapat menjaga iman sekaligus membersihkan hati. Menanggapi kebutuhan itu, Imam al-Haddad merangkai dzikir-dzikir pilihan pada suatu malam, bersumber langsung dari Al-Qur’an dan hadis Nabi. Dari sinilah Ratib al-Haddad lahir sebagai pedoman rohani yang sederhana namun sangat kuat.

Struktur Bacaan dan Kandungan Makna

Kesederhanaan menjadi kekuatan utama wirid ini. Siapa saja bisa mengikutinya dengan mudah. Struktur Ratib al-Haddad memiliki alur yang menuntun hati secara bertahap. Pembaca memulainya dengan isti‘āżah dan basmalah.

Berikut adalah urutan pokok dalam bacaan tersebut:

  • Membaca Ayat Kursi.
  • Membaca tiga surat pelindung: al-Ikhlāṣ, al-Falaq, dan an-Nās.
  • Melantunkan Istighfar (biasanya 3 atau 100 kali).
  • Membaca Shalawat kepada Nabi.
  • Mengucap kalimat Tahlil dan Tahmid.
  • Membaca dzikir perlindungan seperti “ḥasbunallāh wa ni‘mal wakīl”.
  • Membaca “lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh”.
  • Menutup dengan doa permohonan keselamatan dunia akhirat.

5 Keutamaan Membaca Ratib al-Haddad

Ulama menyebut ratib ini sebagai “perisai rohani”. Sebutan ini muncul karena banyaknya manfaat nyata bagi para pengamalnya. Berikut adalah lima keutamaan utama yang sering dirasakan oleh pembaca setia:

Riyadus Shalihin: Buku Panduan Kecerdasan Emosional (EQ) Tertua Dunia

1. Benteng Perlindungan Diri dan Keluarga

Banyak orang merasakan perubahan positif di rumah mereka—suasananya lebih adem, tenang, dan terasa terlindungi. Gangguan non-medis pun sering menjauh. Dzikir seperti al-Mu‘awwidzat memang menjadi benteng gaib yang kuat, tempat Allah menjaga para pembacanya dari berbagai kejahatan makhluk.

2. Membangun Kedisiplinan Ibadah

Durasi pembacaan wirid ini sangat singkat—kurang dari 10 menit. Justru karena singkat, ia mudah diamalkan secara istiqamah, dan dari kebiasaan kecil inilah terbentuk karakter disiplin seorang muslim.

3. Mempererat Ikatan dengan Rasulullah

Fenomena Flexing Sedekah di Medsos: Antara Riya dan Syiar Dakwah

Setiap bait shalawat dalam ratib ini menjadi tali penyambung antara pembaca dan Nabi Muhammad SAW. Kita seakan sedang menyapa beliau, hingga hati pun terasa lebih dekat. Shalawat memang menjadi kunci pembuka cahaya hati dan pintu menuju cinta ilahi.

4. Terapi Ketenangan Jiwa

Kehidupan modern kerap memicu stres dan kecemasan, namun dzikir tahlil dan kalimat hasbunallah menghadirkan ketenangan yang dalam. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa hati hanya akan tenang dengan mengingat Allah. Karena itulah Ratib al-Haddad menjadi tempat “pulang” bagi jiwa yang lelah oleh hiruk-pikuk dunia.

5. Penguat Niat dan Langkah Hidup

Doa-doa di akhir ratib sangat indah, berisi permohonan rezeki, kesehatan, hingga husnul khotimah. Ia merangkum kebutuhan dasar manusia dalam bahasa langit. Karenanya, pembacanya merasa lebih optimis menjalani hari dan yakin bahwa Allah menyertai setiap langkah mereka.

Mengapa Wirid Ini Tetap Relevan?

Zaman boleh berubah menjadi serba digital, tetapi kebutuhan jiwa tetap sama: kita merindukan kedamaian batin. Ratib al-Haddad hadir menjawab kerinduan itu dengan amalan sederhana yang tidak menuntut ritual rumit, hanya keikhlasan hati.

Karena itu, majelis dzikir di kota maupun desa terus melestarikannya dan menjadikannya ritme hidup. Pesan yang dibawanya jelas—ketenangan sejati lahir dari amalan kecil yang dilakukan dengan tulus. Ratib ini bukan sekadar bacaan, melainkan warisan rohani yang terus menghidupkan hati. (kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement