SURAU.CO. Umat Islam tentu sangat akrab dengan nama Abu Hurairah. Kita sering mendengar para ustaz menyebut namanya saat menyampaikan ceramah. Hampir setiap kajian ilmu mengutip riwayat darinya. Namun, tidak banyak orang menyelami kisah hidup sang tokoh secara mendalam.
Mengapa seorang ulama besar justru terkenal dengan julukan sederhana? Julukan tersebut memiliki arti “ayah kucing kecil“. Tersimpan perjalanan panjang di balik nama unik itu. Ia adalah sahabat Nabi yang memiliki hati lembut. Ia juga memiliki otak cerdas dan iman yang kokoh.
Abu Hurairah: Dari Abdus-Syams ke Abdurrahman
Abu Hurairah memiliki nama asli Abdus-Syams sebelum memeluk Islam. Nama ini berarti “hamba matahari”. Nama tersebut sangat kental dengan nuansa budaya Jahiliyah. Nabi Saw kemudian mengganti namanya setelah ia masuk Islam.
Rasulullah memberinya nama baru, yaitu Abdurrahman ibn Ṣakhr. Ulama besar seperti Ibn Hajar dan Al-Dzahabi mengakui kebenaran nama ini. Beliau lahir di kabilah Bani Daws, Yaman. Kelahirannya terjadi sekitar 20 tahun sebelum masa hijrah.
Masa kecilnya penuh dengan tantangan berat. Ia sudah menjadi yatim sejak usia dini. Ia harus bekerja keras sebagai penggembala kambing untuk bertahan hidup. Kesederhanaan hidup justru melahirkan kebiasaan unik pada dirinya. Ia sangat mencintai seekor anak kucing.
Imam at-Tirmidzi mencatat kisah ini dalam sebuah riwayat. Abu Hurairah selalu membawa kucing kecil di dalam sakunya saat menggembala. Ia meletakkan kucing itu di dahan pohon saat malam tiba. Teman-temannya lantas memanggilnya “Abu Hurairah”. Nama panggilan ini akhirnya abadi menembus sejarah.
Cahaya Hidayah dan Doa Sang Ibu
Thufail bin Amru ad-Dausi mengajak kaumnya untuk memeluk Islam. Namun, sebagian besar kaumnya menolak ajakan tersebut. Abu Hurairah termasuk dalam kelompok kecil yang menerima kebenaran itu. Ia memegang teguh iman barunya dengan kuat.
Ia kemudian memutuskan hijrah ke Madinah. Saat itu, ibunya belum menerima Islam. Ia meminta Nabi Saw untuk mendoakan ibunya. Kemudian Allah Swt menjawab doa tersebut dengan indah. Sang ibu akhirnya bersyahadat dan masuk Islam.
Abu Hurairah kembali menghadap Nabi Saw dengan wajah penuh syukur. Rasulullah Saw kemudian memanjatkan doa khusus bagi mereka:
“Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini dan ibunya dicintai oleh hamba-hamba-Mu yang beriman.”
Kita bisa melihat bukti terkabulnya doa itu sekarang. Umat Islam di seluruh dunia sangat mencintai nama Abu Hurairah hingga hari ini.
Perjuangan Menuntut Ilmu di Suffah
Abu Hurairah memilih jalan sunyi saat tiba di Madinah. Ia tinggal di serambi Masjid Nabawi bersama Ahl al-Suffah. Mereka adalah kelompok fakir miskin yang mendedikasikan hidup untuk ilmu.
Ia sering menahan rasa lapar yang sangat perih. Ia bahkan mengikatkan batu di perutnya untuk menahan gejolak lambung. Namun, rasa lapar tidak menghalanginya untuk terus belajar. Ia selalu siap siaga mendengarkan sabda Nabi. Ia pernah mengungkapkan kondisinya melalui sebuah perkataan:
“Kaum Muhajirin sibuk berdagang, kaum Anshar sibuk dengan ladang mereka, sementara aku tinggal bersama Rasulullah Saw dengan perut kosong.” (HR. Bukhari).
Pengorbanan ini membuahkan hasil yang luar biasa. Ia menjadi sahabat dengan riwayat hadis terbanyak. Jumlahnya mencapai lebih dari 5.000 hadis. Ia pernah mengeluhkan daya hafalnya yang lemah kepada Nabi. Rasulullah Saw lantas mendoakannya agar memiliki ingatan kuat. Hafalannya menjadi tak terkalahkan setelah peristiwa itu.
Warisan Abadi Sang Penjaga Hadis
Kecerdasan Abu Hurairah bukanlah isapan jempol belaka. Marwan bin Hakam pernah menguji hafalan beliau. Abu Hurairah diminta mengulang hadis-hadis yang pernah ia sampaikan setahun sebelumnya. Ia berhasil membacakannya kembali tanpa kesalahan satu huruf pun.
Muridnya yang bernama Hammam ibn Munabbih mencatat hadis darinya. Catatan tersebut terhimpun dalam Shahifah as-Sahihah. Ini merupakan dokumen hadis tertua yang masih ada hingga kini.
Abu Hurairah wafat sekitar tahun 57–59 Hijriah. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Jannatul Baqi. Ia meninggalkan warisan cahaya ilmu yang tak ternilai harganya.
Hikmah dari Abu Hurairah Sang Pemilik Kucing
Kisah Abu Hurairah mengajarkan banyak hal kepada kita. Keagungan seseorang tidak lahir dari harta atau nasab tinggi namun kemuliaan muncul dari hati yang lembut dan ilmu yang bermanfaat.
Ia memulai hidup sebagai penggembala yatim yang miskin. Namun, ia berakhir sebagai bintang terang dalam sejarah Islam. Julukan “pemilik kucing kecil” menjadi simbol kasih sayang. Sosoknya mengajarkan bahwa ketulusan dan iman dapat mengubah nasib siapa saja.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
