SURAU.CO. Obrolan warung kopi sering mengangkat topik yang menggelitik. Salah satu topik favorit adalah fenomena suami takut istri. Banyak orang tertawa saat mendengar istilah tersebut. Sebagian orang menganggapnya sebagai lelucon belaka. Namun, kita perlu melihat lebih dalam ke balik candaan itu. Makna frasa ini ternyata sangat luas.
Rasa takut di sini tidak selalu berarti nyali yang ciut. Hal ini bisa berarti rasa segan atau hormat. Suami sering memilih diam demi menjaga kedamaian rumah tangga. Mereka mungkin menuruti keinginan istri untuk mendekorasi rumah. Suami juga kerap mengalah saat istri sedang marah. Tindakan mengalah ini bukanlah tanda kelemahan tapi sebuah strategi cerdas dalam menjaga keutuhan keluarga.
Belajar dari Kesabaran Nabi Ayyub
Sejarah Islam mencatat banyak kisah inspiratif tentang hubungan suami istri. Kita bisa menengok kisah Nabi Ayyub AS. Beliau adalah rasul dengan ujian sangat berat. Penyakit parah menggerogoti tubuhnya dalam waktu lama. Sang istri tetap setia mendampingi beliau melewati masa sulit itu.
Suatu hari, sebuah kejadian menguji kesabaran Nabi Ayyub AS. Istrinya memotong rambut beliau saat sedang tertidur. Namun, Nabi Ayyub AS tidak meluapkan amarahnya. Beliau memilih jalan kesabaran. Sikap ini mengajarkan satu hal penting. Menghargai pasangan lebih utama daripada menuruti ego pribadi dan menciptakan armoni rumah tangga adalah prioritas di atas segalanya.
Kisah Sayidina Umar dan Tamu yang Batal Bertamu
Kisah lain datang dari sosok yang terkenal tegas. Sayidina Umar bin Khattab adalah khalifah yang disegani kawan maupun lawan. Namun, beliau memiliki sisi lembut di dalam rumahnya. Seorang tamu pernah datang ingin menemui Umar. Tamu tersebut mendengar istri Umar sedang memarahi sang Khalifah dengan suara keras.
Tamu itu berniat membatalkan niatnya. Ia berpikir seorang Khalifah saja dimarahi istrinya, apalagi rakyat biasa. Umar kemudian memanggil tamu tersebut dan memberikan penjelasan. Beliau tidak marah balik kepada istrinya namun menyadari beban berat sang istri dalam mengurus rumah. Istrinya telah memasak, mencuci, dan merawat anak-anak mereka.
Umar memandang omelan istri sebagai hal wajar. Itu adalah bagian dinamika kehidupan rumah tangga. Kita perlu menjaga dinamika ini dengan cinta dan tanggung jawab. Sikap diam Umar bukan karena takut dalam arti negatif. Ia diam karena menghargai pengorbanan pasangannya.
Pandangan Ulama tentang Keharmonisan
Para ulama besar juga memberikan pandangan menyejukkan. Imam Nawawi membahas hal ini dalam kitabnya. Beliau menulis dalam Kitab Uqudullujain sebuah prinsip penting. Suami hendaknya menundukkan dan menyenangkan hati istri dengan menuruti kehendaknya selama berupa kebaikan. Rumah tangga yang kokoh lahir dari ketakwaan kepada Allah Swt dan dominasi atau bahkan pertengkaran tidak akan membawa kebahagiaan.
Sahabat Nabi lainnya, Abu Hurairah, juga mencontohkan sikap serupa. Beliau menahan diri dari perdebatan yang tidak perlu. Abu Hurairah lebih memilih memaafkan kesalahan kecil istrinya. Imam al-Ghazali juga menekankan pentingnya kelembutan suami. Beliau menulis hal ini dalam Ihya Ulumuddin. Membentak atau bersikap keras justru merusak keharmonisan. Fenomena suami takut istri dalam konteks ini adalah kemampuan mengendalikan ego.
Perspektif Psikologi yang Sehat
Psikologi modern memandang fenomena ini dari sudut pandang positif. Rasa takut atau segan yang sehat berfungsi sebagai kontrol diri. Suami yang bijak akan menanyakan pendapat istri sebelum mengambil keputusan. Hal ini berlaku untuk keputusan besar seperti membeli rumah atau memilih sekolah anak.
Sikap ini menandakan adanya komunikasi terbuka di mana suami dan istri saling menghargai pendapat satu sama lain. Ikatan emosional akan semakin kuat dengan cara ini. Sebaliknya, rasa takut yang berlebihan tentu tidak baik. Suami tidak boleh kehilangan suara sama sekali sampai pada kondisi tertekan akan berdampak menimbulkan frustrasi. Kuncinya adalah keseimbangan antara hormat dan tanggung jawab.
Mengubah Segan Menjadi Harmoni
Kita bisa mewujudkan rasa segan dalam tindakan sederhana sehari-hari. Suami bisa mendengarkan keinginan istri dengan seksama. Jangan langsung menolak permintaan pasangan tanpa alasan jelas. Bisa dengan mendiskusikan segala sesuatu berkepala dingin dan menyelesaikan pendapat diselesaikan dengan santun.
Jangan biarkan rasa segan berubah menjadi ketakutan yang menekan. Suami tetap memegang kendali sebagai nakhoda dengan cara yang bijak. Yang jelas komunikasi sehat jauh lebih penting daripada sekadar guyonan fenomena suami takut istri. Kita membangun keluarga tentu saja dalam rangka untuk mencari ketenangan, bukan ketegangan.
Kesimpulannya, fenomena ini bukan tanda kelemahan lelaki. Ini adalah cerminan kedewasaan emosional seseorang. Sejarah mengajarkan kita bahwa segan kepada pasangan adalah akhlak mulia. Kita bisa meniru teladan Nabi Ayyub dan Umar bin Khattab. Jadikan rasa “takut” sebagai kekuatan positif dengan terus membangun rumah tangga yang damai dan penuh kasih sayang.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
