SURAU.CO – Ada satu kenyataan yang kerap luput dari perhatian kita: kepada teman-teman seprofesi, kita sering mengalir begitu banyak cerita, berbagi rindu, bercakap panjang tentang penugasan, tantangan, bahkan hal-hal kecil yang membuat hari terasa lebih ringan. Namun kepada keluarga—orang-orang yang paling dekat dengan kita—kita sering justru sunyi. Seolah rumah adalah tempat untuk diam, bukan tempat untuk membuka isi hati.
Padahal, dalam diam mereka selalu ikut letih bersama langkah kita, meski tak mengenakan seragam yang sama, tak menghadiri rapat yang sama, dan tak mendengarkan keluhan yang sama. Mereka adalah orang-orang yang setiap paginya mengiringi kita dengan doa, dan setiap malamnya menunggu kepulangan kita dengan harap.
“Kepada teman-teman seprofesi, kita sering berbagi cerita dan rindu. Namun kepada keluarga, kita kadang sunyi. Padahal merekalah yang diam-diam mengirimkan doa paling tulus untuk setiap langkah kita.”
Kalimat sederhana ini sesungguhnya adalah cermin yang memantulkan ulang siapa kita dalam kehidupan sehari-hari.
Kesibukan yang Menggerus Komunikasi
Sebagai manusia yang bekerja di tengah masyarakat, apalagi dalam profesi pelayanan, pendidikan, atau dakwah—kita terbiasa menjadi pendengar dan penyelesai masalah. Setiap hari kita menyerap cerita begitu banyak orang. Energi emosional terserap perlahan-lahan, sampai akhirnya kita pulang ke rumah dalam keadaan penat.
Di sinilah titik ujian itu datang. Bukannya membaik, komunikasi keluarga justru mulai menipis. Kita merasa keluarga akan selalu memahami, sehingga jarang mengabarkan beban, jarang mengungkap syukur, bahkan jarang sekadar bertanya bagaimana kabar mereka selain “sudah makan?”.
Padahal tugas terberat bukanlah memahami masyarakat, tetapi tetap bisa hadir utuh untuk keluarga di tengah padatnya pengabdian.
Islam mengajarkan bahwa keluarga adalah amanah terbesar. Nabi ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
Jika kebaikan kita terasa begitu luas bagi orang lain tetapi sempit bagi keluarga, barangkali ada sesuatu yang perlu dibenahi dalam alur hidup kita.
Ketika Rumah Menjadi Tempat untuk Beristirahat, Bukan untuk Berbagi
Kebanyakan dari kita menyangka bahwa rasa letih harus disimpan di rumah. Akibatnya, rumah menjadi tempat pulang bagi tubuh, tetapi bukan tempat kembali bagi hati.
Tidak sedikit istri, suami, anak, atau orang tua yang sebenarnya ingin mendengar cerita kita, tetapi mereka tak tahu harus memulai dari mana. Mereka memperhatikan bahasa tubuh kita: apakah kita terlihat lelah, apakah kita tampak kesal, atau apakah kita ingin sendiri.
Sementara itu, kita berasumsi bahwa mereka tidak ingin tahu. Padahal, keluarga bukan menunggu cerita yang sempurna. Mereka hanya ingin dilibatkan dalam hidup kita, meski sekadar dalam porsi kecil.
Inilah mengapa diam kepada keluarga sering kali melukai tanpa sengaja. Mereka tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin tahu bahwa kita percaya kepada mereka.
Doa yang Mengiringi Langkah, Walau Tanpa Kata
Ada banyak bentuk cinta dalam kehidupan, tetapi cinta keluarga sering kali hadir dalam bentuk doa yang sunyi. Tidak diumumkan, tidak dituliskan, tidak diceritakan kepada siapa pun.
Seorang istri yang menunggu suaminya pulang dari tugas lapangan menyebut nama suaminya dalam sujud terakhir.
Seorang suami yang berangkat bekerja di pagi gelap menyebut keluarganya dalam doa naik kendaraan.
Seorang anak yang mendengar dentingan sendok di dapur mengingat ibunya yang selalu bangun lebih dulu untuk menyiapkan sarapan. Seorang orang tua yang rambutnya mulai memutih selalu menambahkan satu permintaan sederhana dalam setiap munajat: “Ya Allah, jagalah anakku.”
Doa-doa ini tidak pernah terdengar telinga kita, tetapi Allah menggenggamnya dengan lembut. Doa keluarga adalah penjaga yang tak pernah libur. Bahkan ketika kita lupa berdoa untuk diri sendiri, mereka tetap mendoakan kita.
Al-Qur’an mengabadikan bentuk kasih sayang keluarga dalam doa:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan-pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata…”
(QS. Al-Furqan: 74)
Doa itu tidak tiba-tiba hadir; ia tumbuh dari cinta dan harapan yang tidak pernah menuntut balasan.
Profesi yang Menuntut, tetapi Keluarga yang Menopang
Tidak ada profesi yang benar-benar ringan. Semua pekerjaan punya tekanan. Kita terkadang merasa bahwa beban kerja hanya ditanggung oleh diri sendiri, padahal keluarga ikut memikulnya dalam cara mereka masing-masing.
Mereka memikul beban psikologis dari ketidakhadiran kita, dari kesibukan kita, dari kelelahan wajah kita.
lass=”yoast-text-mark” />>Mereka memahami, meski tidak selalu mengerti detailnya.
>Mereka bertahan, karena cinta adalah bagian dari ibadah.
Sementara kita, sering kali memberikan versi terbaik dari diri kita kepada dunia, tetapi versi yang paling letih kepada keluarga.
Ini bukan tentang siapa yang salah dan benar. Ini tentang kenyataan bahwa kita perlu berhenti sejenak untuk menyadari: mereka adalah alasan terbesar kita bertahan, bukan beban tambahan dalam hidup.
Belajar Kembali untuk Hadir
Hadir dalam keluarga bukan berarti selalu berada dalam satu ruangan. Bukan pula tentang menyediakan materi atau fasilitas.
Hadir berarti memberikan waktu yang berkualitas, menyediakan hati yang mau mendengar, dan menciptakan suasana di mana setiap anggota keluarga merasa dihargai.
Mulailah dari hal-hal sederhana:
Menyampaikan satu kalimat sayang sebelum berangkat kerja.
Menanyakan bagaimana hari pasangan atau anak.
Duduk 10 menit tanpa memegang gawai.
Mengajak berdoa bersama meskipun singkat.
Mengucapkan terima kasih atas hal-hal kecil.
Kecil, tetapi dampaknya besar bagi stabilitas emosi keluarga.
Keluarga: Tempat Pulang yang Tidak Menuntut
Walau kita kadang sunyi, keluarga tidak pernah benar-benar menutup pintu bagi kita. Mereka menunggu, memaafkan, dan memeluk kita kembali.
Kita tidak perlu sempurna untuk dicintai oleh keluarga. Mereka menerima versi kita yang paling jujur—bahkan yang paling rumit dan tidak rapi sekalipun.
Allah menjadikan keluarga sebagai sakinah, tempat bagi hati yang lelah untuk menemukan ketenangan. Jika dunia di luar penuh riuh, rumah seharusnya menjadi tempat pulang yang teduh.
Mengembalikan Ruang Cerita kepada Orang Terdekat
Mungkin inilah saatnya kita kembali membuka ruang cerita bersama keluarga. Cerita yang kecil, sederhana, tetapi mempererat.
Mari ingat kembali bahwa kehangatan keluarga tidak dibangun oleh cerita besar, melainkan oleh percakapan kecil yang ditanam setiap hari.
Kepada teman seprofesi, berbagi cerita adalah hal wajar. Tetapi kepada keluarga, berbagi cerita adalah ibadah—sebab kita sedang merawat amanah Allah.
Penutup: Doa yang Tidak Pernah Gagal Mencari Kita
Setiap kali kita melangkah keluar rumah, mungkin kita tidak membawa banyak hal, tetapi kita selalu membawa satu hal yang tidak pernah lepas: doa keluarga.
Doa yang menjadi pagar penjaga.
>Doa yang menjadi penerang jalan.
>Doa yang menjadi alasan kita kembali pulang.
Maka jangan biarkan keluarga menjadi tempat yang paling jarang kita ajak bicara, padahal merekalah yang paling sering menyebut nama kita dalam doa.
Semoga Allah menjaga keluarga kita, meluaskan cinta di antara kita, dan menjadikan rumah kita benar-benar menjadi tempat pulang yang penuh keberkahan. (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
