SURAU.CO – Dalam hidup ini, ada jenis cinta yang tidak memilih keramaian sebagai tempat tumbuhnya. Ia tidak membutuhkan tepuk tangan, tidak menagih pengakuan, dan tidak menjerit untuk didengar. Ia tumbuh pelan, seperti embun yang muncul tanpa suara di ujung pagi. Cinta itu ada di hati seorang perempuan bernama Sa’diyah—nama yang berarti kebahagiaan, tetapi perjalanan hatinya justru dipenuhi latihan panjang tentang kesabaran.
Sa’diyah bukan perempuan yang mudah tertarik, dan bukan pula perempuan yang mudah bercerita. Dunia batinnya adalah ruang yang dijaga rapat. Di dalam ruang itu, ada sebuah rasa yang ia simpan dengan sangat berhati-hati—rasa yang bahkan tidak pernah ia ucapkan pada siapa pun.
Cinta dalam diam.
Cinta yang Tidak Tergesa
Sa’diyah tahu betul bahwa banyak luka dimulai dari tergesa-gesa. Ada orang yang jatuh cinta hari ini, lalu berharap dimiliki besok. Ada yang baru tersenyum, sudah mengira itu tanda balasan rasa. Tetapi Sa’diyah memilih jalan berbeda.
Baginya, cinta tidak boleh mendahului takdir. Ia tidak ingin perasaannya terbang terlalu tinggi, sementara sayap imannya belum cukup kuat untuk menahan badai. Ia memilih diam bukan karena takut ditolak atau tidak percaya diri, tetapi karena ia tahu bahwa hati adalah amanah. Dan amanah harus dijaga dengan penuh kehati-hatian.
Diamnya adalah penjagaan diri. Diamnya adalah bentuk ketaatan.
Ia takut cinta yang tergesa justru mengantarkannya pada hal-hal yang tidak Allah sukai—pandangan yang berlebihan, harap yang tak terjaga, atau khayalan yang pada akhirnya mencuri ketenangan. Maka Sa’diyah menahan langkahnya, mengatur degupnya, dan menyimpan rapat perasaannya dalam ruang terdalam hatinya.
Cinta yang Dipelihara dengan Doa
Bagi Sa’diyah, cinta bukan tempat untuk menuntut. Cinta adalah tempat untuk kembali—kembali kepada Allah, meminta arah dan petunjuk. Itulah sebabnya, setiap kali rindu datang, ia tidak mencarinya dalam pesan singkat atau panggilan telepon. Ia mencari jawabannya dalam doa.
Rindu yang paling indah adalah rindu yang ditumpahkan kepada Allah.
Harap yang paling mulia adalah harap yang diserahkan penuh kepada-Nya.
Sa’diyah selalu berbisik lirih dalam sujudnya:
“Ya Allah, jika dia baik untuk agamaku, dunia dan akhiratku, maka dekatkanlah.
Jika tidak, maka jauhkanlah dengan cara yang paling lembut,
dan lapangkanlah hatiku untuk menerima ketetapan-Mu.”
Doa itu bukan sekadar permohonan. Itu adalah cara Sa’diyah menjaga harga dirinya, menjaga kebersihan hatinya, dan menjaga kehormatan laki-laki yang ia cintai dalam diam. Ia tidak ingin perasaannya menjadi fitnah bagi dirinya maupun orang lain. Ia ingin cintanya tetap berada dalam ruang yang paling suci: sujud.
Dalam diam, Sa’diyah memelihara cintanya seperti seseorang merawat bunga tanpa diketahui siapa pun—diam, tapi penuh perhatian; sederhana, tapi sangat tulus.
Karena Cinta Tidak Selalu Harus Dimiliki
Ada kalimat yang telah lama Sa’diyah pahami:
“Dalam Islam, cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang menjaga diri dari dosa.”
Banyak orang terjebak dalam rasa memiliki, padahal belum ada ikatan apa pun. Mereka sibuk menuntut balasan, padahal takdir belum tentu sejalan. Tetapi Sa’diyah belajar untuk tidak seperti itu.
Ia mencintai seseorang bukan untuk mengikatnya, bukan untuk menuntut kepastian, dan bukan untuk memaksa Allah mengubah takdir. Cinta dalam diam membebaskannya dari semua itu.
Ia tidak meminta balasan.
>Ia tidak menuntut perhatian.
>Ia tidak menginginkan dunia tahu.
Ia hanya berharap cintanya tidak menjadi dosa.
Ketika hati manusia mudah goyah, cinta dalam diam justru kokoh. Ia berdiri pada pondasi amanah dan ibadah. Itulah sebabnya cinta yang tidak diumbar sering lebih kuat daripada cinta yang diceritakan ke mana-mana.
Menjaga Hati Lebih Penting daripada Mengungkapkan Rasa
Hati adalah pusat dari segala keputusan. Jika hati baik, maka baiklah seluruh perilaku. Jika hati rusak, maka rusaklah semuanya. Sa’diyah memahami ini benar-benar.
Ia tahu bahwa hati perempuan sangat mudah tergelincir dalam khayalan. Sedikit perhatian saja bisa disalahartikan, satu senyuman bisa menjadi harapan panjang yang tak berujung. Karena itu, ia menahan dirinya dari banyak hal. Ia menahan pandangannya, menjaga ucapannya, mengatur jaraknya.
Sa’diyah bukan tidak bisa menyampaikan cintanya. Ia mampu. Bahkan ia tahu, jika ia mau, ucapannya bisa membuka jalan untuk sebuah pertemuan atau bahkan perasaan yang timbal balik. Tetapi Sa’diyah memilih untuk tidak membuka pintu itu.
Ia lebih memilih hati yang terjaga daripada hubungan yang tidak pasti.
Ia lebih mengutamakan ridha Allah daripada kebutuhan emosinya sendiri.
Diamnya bukan tanda pengecut.
Diamnya adalah tanda kedewasaan.
Ia tahu bahwa cinta yang benar akan datang dengan sendirinya melalui jalan yang halal. Dan jika tidak, maka ia akan berlalu tanpa merusak apa pun di dalam dirinya.
Jika Takdir Menyapa, Ia Akan Datang dengan Cara yang Paling Mulia
Sa’diyah percaya sepenuhnya pada takdir. Ia tahu bahwa apa yang dituliskan untuknya tidak akan pernah salah alamat.
Jika laki-laki yang ia cintai dalam diam memang ditakdirkan menjadi imamnya, maka ia akan datang dengan cara yang mulia—tanpa drama, tanpa permainan perasaan, tanpa menyakiti, tanpa memancing rasa yang belum waktunya.
Ia tidak perlu mengejar.
Ia tidak perlu memaksa.
Ia hanya perlu memperbaiki diri.
Sa’diyah percaya bahwa jodoh adalah cermin. Jika ia memperbaiki hatinya, maka Allah akan memantulkan seseorang yang hatinya juga baik. Jika ia menjaga kesuciannya, maka Allah akan memuliakan jalan pertemuan itu.
Dan jika cinta itu bukan takdirnya, maka Allah akan menggantinya dengan seseorang yang lebih baik untuk dunia dan akhiratnya. Tidak ada cinta yang sia-sia jika ditanamkan dalam ibadah. Bahkan cinta yang tidak terbalas sekalipun bisa menjadi pahala jika dijaga dengan benar.
Jika Bukan Dia, Allah Pasti Menggantikan dengan yang Lebih Baik
Setiap cinta dalam diam pasti pernah mengundang air mata. Sa’diyah pun demikian. Pernah suatu malam, setelah berdoa panjang, ia merasa hatinya sangat sesak. Bukan karena kecewa, tetapi karena ia sadar bahwa mungkin rasa itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Namun air mata itu jatuh bukan karena penyesalan, melainkan karena keikhlasan. Oleh karena itu, Sa’diyah yakin: Allah tidak pernah mengambil sesuatu kecuali untuk mengganti dengan yang lebih baik.
Jika nanti ia tidak berjodoh dengan laki-laki yang ia cintai dalam diam itu, maka dari itu ia yakin Allah akan mengirim seseorang yang lebih memahami dirinya, lebih membimbingnya, lebih menenangkan hatinya, lebih memuliakannya, dan lebih cocok menjadi imam dalam hidupnya.
Jadi, Sa’diyah percaya, cinta yang dijaga Allah akan kembali dalam bentuk yang lebih indah.
Penutup: Cinta yang Tidak Pernah Sia-Sia
Sa’diyah mungkin tidak pernah menyampaikan perasaannya kepada siapa pun. Namun, Allah tahu. Allah mendengar setiap doa yang ia bisikkan di sepertiga malam. Dan Allah melihat setiap langkah kecil yang ia ambil untuk menjauh dari dosa. Maka, Allah menilai setiap usaha yang ia lakukan untuk menjaga perasaannya tetap suci.
Cinta dalam diam bukan kelemahan—itu adalah kekuatan yang hanya dimiliki oleh hati yang pernah belajar kehilangan, pernah belajar berharap, dan akhirnya memilih untuk menyerahkan segalanya kepada Allah.
Dengan demikian, di situlah letak kebahagiaan sejati: bukan saat cinta dimiliki,
tetapi saat cinta membuat seseorang semakin dekat kepada-Nya. (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
