Khazanah
Beranda » Berita » Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad: Mujaddid Abad Ke-12 H, Cahaya Hadramaut, dan Warisan Abadi Islam Nusantara

Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad: Mujaddid Abad Ke-12 H, Cahaya Hadramaut, dan Warisan Abadi Islam Nusantara

Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad, ulama Hadramaut, dengan cahaya fiqih yang menerangi Islam Nusantara.
Ilustrasi ini menggambarkan Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad sebagai sumber cahaya ilmu fiqih yang menembus batas geografis, dari Hadramaut hingga ke seluruh penjuru Nusantara.

Surau.co. Sejarah peradaban Islam membentangkan kisah para ulama besar yang gigih menyebarkan syiar agama, salah satunya adalah Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad. Beliau lahir pada abad ke-12 Hijriah di Hadramaut, sebuah wilayah yang masyhur melahirkan cendekiawan Muslim berpengaruh. Imam al-Haddad tidak hanya berjuang pada zamannya, tetapi juga mewariskan pengaruh besar bagi Islam Nusantara melalui ajaran dan karya-karyanya yang tersebar hingga pelosok dunia Melayu.

Pada kesempatan ini, kita akan mengupas tuntas kontribusi beliau—khususnya dalam ranah kaidah fiqih—yang menjadi disiplin ilmu fundamental untuk memahami hukum-hukum syariat Islam. Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad menghadirkan pemahaman fiqih yang pragmatis dan relevan, sekaligus menjaga keseimbangan antara teks-teks klasik dan konteks sosial. Dengan demikian, kaidah-kaidah fiqih yang beliau ajarkan berhasil memberikan pedoman penting bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah dan muamalah sehari-hari.

Pemikiran fiqih beliau menekankan kemudahan, menghindari kesulitan, dan memprioritaskan kemaslahatan umum, sesuai dengan semangat ajaran Islam. Oleh karena itu, kita perlu menelusuri bagaimana prinsip-prinsip fiqih Imam al-Haddad menjelma menjadi cahaya yang terus menerangi kehidupan umat.

Fondasi Fiqih dalam Ajaran Imam al-Haddad

Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad selalu mengajarkan bahwa memahami fiqih merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang ingin mengamalkan syariat dengan benar. Beliau membangun dasar-dasar fiqih yang kokoh, berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta merujuk pada madzhab Syafi’i yang banyak dianut di Hadramaut dan Nusantara. Secara konsisten, beliau mengarahkan umat untuk mengamalkan hukum Islam dalam setiap aspek kehidupan.

Lebih jauh, beliau mengusung prinsip dasar fiqih yang menekankan aspek kemudahan dan kelapangan dalam beragama. Prinsip tersebut selaras dengan firman Allah:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Ayat ini menunjukkan bahwa beliau menegakkan pendekatan fiqih yang tidak memberatkan umat. Karena itu, beliau menganjurkan setiap Muslim untuk mencari solusi paling ringan dalam batas syariat agar ibadah dan muamalah menjadi jalan mendekatkan diri kepada Allah, bukan beban yang mengganggu ketenangan.

Kaidah Fiqih: Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir (Kesulitan Menarik Kemudahan)

Salah satu kaidah paling fundamental yang Imam al-Haddad ajarkan ialah “Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir”, yang bermakna kesulitan mendatangkan kemudahan. Beliau selalu menggunakan kaidah ini ketika memberikan solusi hukum kepada umat yang menghadapi kondisi sulit atau tidak biasa. Dengan demikian, beliau menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang realistis dan menghargai keterbatasan manusia.

Sebagai contoh, ketika seseorang tidak mampu berdiri saat shalat karena sakit, beliau mengarahkan umat untuk shalat sambil duduk, atau bahkan berbaring jika kondisinya tidak memungkinkan. Prinsip tersebut berlandaskan hadits Nabi ﷺ:

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka duduk, jika tidak mampu maka berbaring.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Melalui ajaran ini, Imam al-Haddad menegaskan bahwa umat harus menjalankan ibadah sesuai kemampuan tanpa terjebak pada sikap berlebihan—baik terlalu longgar maupun.

Keyakinan Tidak Hilang karena Keraguan

Selain itu, Imam al-Haddad juga menekankan pentingnya kaidah “Al-Yaqin La Yuzalu bi Asy-Syakk”, yang berarti keyakinan tidak hilang karena keraguan. Kaidah ini sangat penting untuk menjaga ketenangan batin umat dalam ibadah maupun muamalah.

Syaikh Muhammad Hasbullah Asy-Syafi‘i dalam Riyādhul Badi‘ah menjelaskan:

الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ، وَالشَّكُّ لَا يَزَالُ بِالشَّكِّ
“Keyakinan tidak dihilangkan oleh keraguan, dan keraguan tidak dihilangkan oleh keraguan.”

Imam al-Haddad menggunakan kaidah ini untuk menghindarkan umat dari was-was berlebihan yang dapat mengganggu konsentrasi ibadah. Dengan demikian, beliau membantu umat agar tetap stabil secara hukum dan mental saat beragama.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Kaidah Fiqih: Al-Adah Muhakkamah (Adat Kebiasaan Menjadi Hukum)

Selanjutnya, Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad memahami pentingnya adat dalam penetapan hukum syariat. Beliau menerapkan kaidah “Al-Adah Muhakkamah”, yang menyatakan bahwa adat atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat dapat menjadi dasar hukum.

الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan itu menjadi hukum.”

Kaidah ini memperlihatkan keluasan pemikiran beliau yang mampu mengharmonikan hukum Islam dengan tradisi masyarakat. Penerapannya sangat terlihat di Nusantara, di mana banyak tradisi lokal dapat selaras dengan syariat tanpa harus dihapus. Misalnya, dalam transaksi jual beli, beliau mengarahkan umat untuk mengikuti kebiasaan masyarakat setempat selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Menolak Kerusakan Didahulukan daripada Meraih Manfaat

Imam al-Haddad juga selalu mengajarkan prinsip penting dalam fiqih: “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ala Jalbil Mashalih”, yang bermakna mencegah kerusakan lebih utama daripada meraih kemaslahatan. Ketika umat menghadapi dua pilihan, beliau mengarahkan mereka untuk memprioritaskan pencegahan kerusakan.

Hadits Nabi ﷺ menjadi landasan kuat prinsip ini:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah)

Sebagai contoh, dalam situasi pandemi, beliau akan menekankan pentingnya mencegah penyebaran penyakit meskipun itu mengurangi aktivitas sosial. Dengan demikian, beliau mengajarkan umat untuk sensitif terhadap dampak sosial setiap tindakan.

Warisan Fiqih Imam al-Haddad di Nusantara

Pengaruh Imam al-Haddad di Nusantara sangat besar. Karya beliau seperti Ratib al-Haddad dan berbagai kitab fiqih-tasawuf terus dipelajari di pesantren Indonesia, Malaysia, Brunei, hingga Thailand Selatan. Para ulama Nusantara seperti Syaikh Nawawi al-Bantani banyak merujuk pemikiran beliau, sehingga jejaring keilmuan antara Hadramaut dan Nusantara semakin kuat.

Karena pendekatan beliau bersifat luwes, kontekstual, dan moderat, masyarakat Nusantara merasa mudah menerima dan mengamalkan ajarannya. Warisan beliau tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang melalui para habaib dan keturunan beliau yang terus menyebarkan ajaran mulia tersebut.

Menjaga Cahaya Fiqih al-Haddad di Era Modern

Di era modern, ajaran Imam al-Haddad tetap relevan. Beliau mengingatkan kita untuk tidak terpaku pada teks semata, tetapi juga memahami ruh syariat yang menghendaki kemudahan, keadilan, dan kemaslahatan umat. Kaidah-kaidah fiqih yang beliau rumuskan dapat menjadi alat analisis untuk menghadapi problem kontemporer—mulai dari persoalan ibadah, sosial, hingga persoalan global.

Oleh sebab itu, kita memikul tanggung jawab untuk terus mempelajari, memahami, dan mengamalkan ajaran fiqih beliau. Dengan begitu, cahaya yang Imam al-Haddad pancarkan dari Hadramaut akan terus menerangi jalan umat Islam di Nusantara dan membimbing mereka menuju kehidupan yang damai, berkah, serta berlandaskan syariat.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement